²©²ÊÍøÕ¾

Penasaran Kenapa Tuyul Tak Curi Uang di Bank? Ini Penjelasannya

M. Fakhriansyah & Rosseno Aji Nugroho, ²©²ÊÍøÕ¾
07 January 2024 16:15
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (²©²ÊÍøÕ¾/ Muhammad Sabki)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tuyul menjadi salah satu makhluk halus yang paling populer di Indonesia. Dalam film dan sinetron, makhluk ini kerap digambarkan sebagai anak kecil berkepala botak yang suka mencuri uang.

Uang-uang yang dikumpulkan itu lalu diberikan kepada sang tuan yang sedang melakukan ritual pesugihan untuk mencari kekayaan.

Namun, pernahkan Anda terpikir kenapa tuyul hanya mencuri di rumah-rumah warga? Kenapa tuyul tidak sekalian mencuri uang di bank yang pasti jumlahnya lebih banyak? Lalu, kenapa tuyul tidak mencuri saldo e-money Anda? Apakah karena tuyul tidak paham teknologi?

Jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap dibahas di berbagai forum internet. Ada yang menyebut tuyul takut kepada logam yang merupakan bahan utama pembuatan brankas bank. Ada pula yang menyebut bank memelihara makhluk halus lain untuk menjaga uang-uangnya.

Ya, semua jawaban itu memang terdengar seperti mitos. Dan tuyul memang lahir dari cerita rakyat. Sebagai cerita rakyat, 'kelahiran' tuyul diduga terjadi bersamaan dengan perubahan sosial-ekonomi besar-besaran masyarakat Indonesia pada 1870.

Ketika itu pemerintah kolonial Belanda baru saja menerapkan kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia yang dulu disebut Hindia Belanda. Sistem ekonomi liberal ini diterapkan sebagai pengganti sistem tanam paksa.

Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), menjelaskan liberalisasi ekonomi kemudian melahirkan rezim kolonial baru. Perkebunan rakyat diambil alih untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula. Kehidupan petani kecil di Jawa semakin terpuruk karena sudah tak lagi memiliki lahan untuk ditanami.

Sebaliknya, lewat sistem ini muncul pula kelas sosial baru di kalangan masyarakat pribumi dan Tionghoa. Kelas sosial baru ini adalah kaum pedagang. Pedagang adalah salah satu kelompok yang paling diuntungkan dengan terbukanya tanah Hindia Belanda, sehingga mereka muncul menjadi orang-orang kaya baru.

Fenomena munculnya orang-orang kaya baru lewat bisnis perdagangan ini sulit dipahami oleh kaum tani yang hidupnya makin susah karena liberalisasi ekonomi. Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2019) menyebut saat itu petani menganut sistem subsisten. Artinya, seluruh kegiatan tani mereka hanya dilakukan untuk memenuhi hidup sehari-hari.

Para petani tidak memahami konsep penumpukan kekayaan yang dilakukan oleh pedagang. Untuk para kaum tani, bekerja artinya mencangkul dan mengolah sawah. Sementara, usaha perdagangan relatif lebih sedikit membutuhkan kerja fisik. Perbedaan konsep bekerja inilah yang membuat pera petani bertanya-tanya mengenai asal-usul kekayaan para pedagang. Melebarnya kesenjangan ekonomi di masyarakat ini kemudian juga menimbulkan kecemburuan sosial antara kelas pedagang dan petani.

George Quinn dalam An Excursion to Java's Get Rich Quck Tree (2009), menyebut para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus dipertanggungjawabkan. Maka ketika orang kaya gagal menjelaskan asal-usul kekayaannya, para petani menuduh uang itu hasil pencurian.

Fenomena sosial-ekonomi kemudian bercampur dengan tradisi masyarakat yang kental dengan pandangan mistik. Ketika petani kesulitan mencari jawaban tentang asal-usul harta orang-orang kaya baru tersebut, maka terpilihlah jawaban bahwa mereka bekerja sama dengan makhluk halus untuk mengumpulkan harta. Tuyul menjadi salah satu makhluk halus yang 'diproduksi' untuk memberikan jawaban, sekaligus kritik dari kaum miskin terhadap kesenjangan ekonomi yang terjadi.

Ong Hok Ham dalam buku Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong (2002) mengatakan kepercayaan soal lelembut ini sukses membuat pengusaha kehilangan status sosial mereka di masyarakat. Mereka dianggap hina karena memupuk kekayaan dari cara haram bersekutu dengan setan. Padahal ini semua terjadi akibat perubahan kebijakan kolonial Belanda yang membuat pengusaha tertimpa durian runtuh.

Kepercayaan terhadap keberadaan tuyul tidak hanya berdampak pada hubungan sosial. Transaksi barang di antara golongan orang kaya juga ikut berubah. Mereka cenderung menghindari pembelian aset berupa tanah atau rumah, karena takut diketahui dan dituduh memelihara tuyul. Para orang kaya jaman itu, cenderung menyembunyikan kekayaannya dengan membeli barang berharga yang berukuran kecil, seperti emas.

Tuyul berhasil menjaga eksistensinya karena masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia hingga sekarang. Berawal dari mitos tuyul, apakah kebiasaan orang-orang kaya Indonesia untuk 'menyembunyikan' hartanya juga masih bertahan?


(luc/luc) Next Article Kenapa Tuyul Tak Mencuri Uang di Bank? Begini Penjelasannya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular