
3 Alasan Umum Karyawan Memilih Resign dan Pindah Kerja
Ester Christine Natalia, ²©²ÊÍøÕ¾
04 March 2018 13:46

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bagi perusahaan yang menghadapi tingginya jumlah karyawan yang keluar atau berpindah kerja, mudah saja untuk menyalahkan orang lain.
Tenaga kerja saat ini, khususnya para milenial, didefinisikan sebagai sosok yang resah dengan kecenderungan sering berpindah pekerjaan dan memiliki ekspektasi yang terus meningkat terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
Berdasarkan riset terbaru dari spesialis recruitment global Hays, 38% karyawan di Asia secara aktif mencari pekerjaan baru, sementara 42% yang lain terbuka untuk lowongan baru. Sementara di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, jumlah pencari pekerjaan aktif mendekati 60%, dilansir dari ²©²ÊÍøÕ¾ International.
Namun, menurut direktur pelaksana Hays untuk Asia, Richard Eardley, perusahaan sebenarnya harus mencari tahu letak kesalahannya dan bagaimana cara beradaptasi dengan perubahan perilaku tenaga kerja.
"Ini bukan sindrom rumput tetangga lebih hijau," kata Eardley kepada ²©²ÊÍøÕ¾ Make It. "Ini adalah tanda masa sekarang dan perusahaan tahu jika mereka tidak berubah, karyawan akan mulai melihat ke tetangga sebelah."
Tiga alasan paling umum digunakan karyawan yang sedang ingin berpindah pekerjaan adalah gaji dan tunjangan, perkembangan karir dan mencari tantangan baru.
Permintaan-permintaan tersebut sebenarnya bisa dipenuhi oleh perusahaan, tapi menurut Eardley, mereka bisa jadi terhalang oleh tiga kekurangan umum berikut ini.
1. Komunikasi yang buruk
Menurut penelitian Hays terhadap 3.000 perusahaan di Asia Pasifik, Eardly menyoroti komunikasi yang terputus antara karyawan dan perusahaan, terutama dalam hal kesadaran paket tunjangan.
Meski perusahaan berkata melakukan promosi dengan baik saat menawarkan pekerjaan, banyak karyawan mengklaim mereka tidak sadar tunjangan apa saja yang tersedia.
"Sangat jelas ada masalah komunikasi," kata Eardley. "Sebelum mengevaluasi kembali semua program tunjangan Anda, pastikan Anda mengomunikasikan apa yang telah Anda dapatkan."
Ia merekomendasikan perusahaan untuk menguraikan paket tunjangan di semua tahap proses perekrutan, lalu pada selang waktu yang reguler selama setahun untuk memastikan karyawan tahu keuntungan apa saja yang tersedia untuk mereka.
2. Kekakuan
Dengan datangnya berbagai pekerjaan paruh waktu (gig economy) dan meningkatnya popularitas budaya perusahaan rintisan (startup), karyawan semakin mencari perusahaan yang fleksibel dan akomodatif untuk kehidupan modern.
Contohnya, ketimbang mendapatkan penawaran yang seragam antara satu karyawan dan lainnya, Eardley merekomendasikan untuk berbicara dengan bagian HR (human resource) tentang bagaimana mereka bisa "personalisasikan program-program" agar sesuai dengan masing-masing individu.
Programnya bisa meliputi menciptakan pilihan tunjangan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan karyawan yang berbeda. Misalnya, karyawan muda lebih tertarik dengan keanggotaan gym dan diskon hiburan, sementara karyawan yang lebih tua memilih perawatan anak dan rencana tabungan.
"Bukan menerima semuanya," tapi "memberi dan menerima. Orang mau bekerja dari jarak jauh, bekerja dengan ponsel dan memeriksa surel di akhir pekan."
3. Prospek yang terbatas
Untuk karyawan, penting untuk mengetahui perkembangan karier apa yang tersedia dan bagaimana cara meraihnya, kata Eardley.
"Karyawan mencari perusahaan untuk berinvestasi ke perkembangan mereka," katanya. "Karyawan tahu bahwa mereka mungkin tidak mendapatkan program pengembangan tradisional yang tersusun di sebuah startup, tapi mereka mampu terlibat di level dan departemen yang berbeda."
Eardley mengatakan perusahaan harus membantu karyawan muda untuk memvisualisasikan potensi jalan karier mereka dan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapainya. Caranya adalah dengan menunjukkan contoh-contoh perkembangan orang lain di dalam bisnis tersebut.
Menangkap bakat baru
Eardley juga menyoroti pekerjaan yang harus dilakukan perusahaan untuk menarik bakat baru ke organisasinya.
Untuk tetap berada di atas kurva, ia mengatakan, bisnis perlu memastikan bahwa mereka hadir di komunitas tempat bakat baru bertumbuh, seperti universitas, pusat teknologi, dan jaringan startup.
Eardley menyebutkan perusahaan akuntansi Big Four di antara beragam perusahaan multi-nasional yang sudah mendirikan kantor satelit dan pusat teknologi untuk membuktikan hubungannya dengan generasi karyawan yang selanjutnya.
Ia menambahkan bahwa perusahaan harus fokus untuk mempekerjakan orang dengan keterampilan yang mudah beradaptasi, ketimbang mereka yang merespon permintaan segera.
"Kekurangan keterampilan di teknologi diperburuk dengan evolusi teknologi yang konstan dan susah untuk mencari orang dengan keterampilan mutakhir," kata Eardley.
"Perusahaan lebih baik berpikir tentang bagaimana mereka bisa mempekerjakan seseorang dengan keterampilan A sekarang dan bagaimana mereka selanjutnya beradaptasi dengan keterampilan B dan C di masa mendatang."
(prm) Next Article Halo Milenial! Ini Lho Masalah Kesehatan yang Mengintai Kamu
Tenaga kerja saat ini, khususnya para milenial, didefinisikan sebagai sosok yang resah dengan kecenderungan sering berpindah pekerjaan dan memiliki ekspektasi yang terus meningkat terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
Berdasarkan riset terbaru dari spesialis recruitment global Hays, 38% karyawan di Asia secara aktif mencari pekerjaan baru, sementara 42% yang lain terbuka untuk lowongan baru. Sementara di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, jumlah pencari pekerjaan aktif mendekati 60%, dilansir dari ²©²ÊÍøÕ¾ International.
"Ini bukan sindrom rumput tetangga lebih hijau," kata Eardley kepada ²©²ÊÍøÕ¾ Make It. "Ini adalah tanda masa sekarang dan perusahaan tahu jika mereka tidak berubah, karyawan akan mulai melihat ke tetangga sebelah."
Tiga alasan paling umum digunakan karyawan yang sedang ingin berpindah pekerjaan adalah gaji dan tunjangan, perkembangan karir dan mencari tantangan baru.
Permintaan-permintaan tersebut sebenarnya bisa dipenuhi oleh perusahaan, tapi menurut Eardley, mereka bisa jadi terhalang oleh tiga kekurangan umum berikut ini.
1. Komunikasi yang buruk
Menurut penelitian Hays terhadap 3.000 perusahaan di Asia Pasifik, Eardly menyoroti komunikasi yang terputus antara karyawan dan perusahaan, terutama dalam hal kesadaran paket tunjangan.
Meski perusahaan berkata melakukan promosi dengan baik saat menawarkan pekerjaan, banyak karyawan mengklaim mereka tidak sadar tunjangan apa saja yang tersedia.
"Sangat jelas ada masalah komunikasi," kata Eardley. "Sebelum mengevaluasi kembali semua program tunjangan Anda, pastikan Anda mengomunikasikan apa yang telah Anda dapatkan."
Ia merekomendasikan perusahaan untuk menguraikan paket tunjangan di semua tahap proses perekrutan, lalu pada selang waktu yang reguler selama setahun untuk memastikan karyawan tahu keuntungan apa saja yang tersedia untuk mereka.
2. Kekakuan
Dengan datangnya berbagai pekerjaan paruh waktu (gig economy) dan meningkatnya popularitas budaya perusahaan rintisan (startup), karyawan semakin mencari perusahaan yang fleksibel dan akomodatif untuk kehidupan modern.
Contohnya, ketimbang mendapatkan penawaran yang seragam antara satu karyawan dan lainnya, Eardley merekomendasikan untuk berbicara dengan bagian HR (human resource) tentang bagaimana mereka bisa "personalisasikan program-program" agar sesuai dengan masing-masing individu.
Programnya bisa meliputi menciptakan pilihan tunjangan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan karyawan yang berbeda. Misalnya, karyawan muda lebih tertarik dengan keanggotaan gym dan diskon hiburan, sementara karyawan yang lebih tua memilih perawatan anak dan rencana tabungan.
"Bukan menerima semuanya," tapi "memberi dan menerima. Orang mau bekerja dari jarak jauh, bekerja dengan ponsel dan memeriksa surel di akhir pekan."
3. Prospek yang terbatas
Untuk karyawan, penting untuk mengetahui perkembangan karier apa yang tersedia dan bagaimana cara meraihnya, kata Eardley.
"Karyawan mencari perusahaan untuk berinvestasi ke perkembangan mereka," katanya. "Karyawan tahu bahwa mereka mungkin tidak mendapatkan program pengembangan tradisional yang tersusun di sebuah startup, tapi mereka mampu terlibat di level dan departemen yang berbeda."
Eardley mengatakan perusahaan harus membantu karyawan muda untuk memvisualisasikan potensi jalan karier mereka dan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapainya. Caranya adalah dengan menunjukkan contoh-contoh perkembangan orang lain di dalam bisnis tersebut.
Menangkap bakat baru
Eardley juga menyoroti pekerjaan yang harus dilakukan perusahaan untuk menarik bakat baru ke organisasinya.
Untuk tetap berada di atas kurva, ia mengatakan, bisnis perlu memastikan bahwa mereka hadir di komunitas tempat bakat baru bertumbuh, seperti universitas, pusat teknologi, dan jaringan startup.
Eardley menyebutkan perusahaan akuntansi Big Four di antara beragam perusahaan multi-nasional yang sudah mendirikan kantor satelit dan pusat teknologi untuk membuktikan hubungannya dengan generasi karyawan yang selanjutnya.
Ia menambahkan bahwa perusahaan harus fokus untuk mempekerjakan orang dengan keterampilan yang mudah beradaptasi, ketimbang mereka yang merespon permintaan segera.
"Kekurangan keterampilan di teknologi diperburuk dengan evolusi teknologi yang konstan dan susah untuk mencari orang dengan keterampilan mutakhir," kata Eardley.
"Perusahaan lebih baik berpikir tentang bagaimana mereka bisa mempekerjakan seseorang dengan keterampilan A sekarang dan bagaimana mereka selanjutnya beradaptasi dengan keterampilan B dan C di masa mendatang."
(prm) Next Article Halo Milenial! Ini Lho Masalah Kesehatan yang Mengintai Kamu
Most Popular