
3 Bentuk Bullying Calon Dokter yang Bikin Menkes Kaget

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Menteri Kesehatan (Menkes RI), Budi Gunadi Sadikin, mengaku terkejut dengan ulah para senior yang melakukan bullying (perundungan) kepada juniornya dalam program pendidikan dokter spesialis. Budi mengatakan, 'tradisi' toksik tersebut kerap terjadi pada pendidikan dokter umum, internship, dan dokter spesialis.
Dalam beberapa kasus, para calon dokter spesialis 'diperas' habis-habisan secara fisik, mental, hingga finansial oleh para senior.
Putri (bukan nama sebenarnya), calon dokter spesialis yang tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas negeri di Pulau Jawa, membeberkan fakta perundungan dan penindasan yang dilakukan seniornya.Â
Putri mengatakan, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) baru disebut sebagai senior jika telah memasuki semester empat. Dengan demikian, mahasiswa semester satu sampai tiga adalah 'sasaran empuk' bullying para senior.
"Kalau di tempat saya, senior enggak mau berteman sama junior," kata Putri kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Kamis (20/7/2023).
Berikut rangkuman kasus bullying oleh senior yang diungkapkan Putri.
1. Junior Jadi 'ATM Berjalan'Â
Putri mengatakan, para calon dokter spesialis di tempatnya menempuh pendidikan selalu mengadakan kegiatan olahraga bersama setiap satu pekan sekali. Sebelum kegiatan, biasanya senior selalu meminta para junior untuk menyiapkan seluruh kebutuhan, termasuk konsumsi dan permintaan khusus lainnya dari kelompok senior.
"Nah, nanti yang bayar lapangan, makan, minum, buah, dan permintaan senior lainnya junior," ungkap Putri.
"Misalnya, kita mau ada olahraga mingguan [yang ada pelatih]. Nanti instruktur, misalnya instruktur senam, itu yang bayar, ya, mahasiswa [PPDS] semester satu," lanjutnya.
Tidak hanya olahraga, Putri juga menyebut bahwa mahasiswa PPDS semester bawah menjadi 'ATM berjalan' untuk acara lainnya, seperti pertemuan ilmiah tahunan yang bersifat regional.
Biasanya, para junior 'dipaksa' untuk membayar kebutuhan penampilan seni pertemuan ilmiah tahunan tersebut, seperti pelatih tari, menyediakan konsumsi, hingga permintaan lainnya.
"[Biaya yang dikeluarkan] lebih dari Rp10 juta (per orang), tapi kalau junior-juniorku sekarang ini, Rp100 juta sampai Rp200 juta sebulan. Itu untuk semua acara," bebernya.
2. Menyediakan Mobil untuk Senior
Selain 'ATM berjalan', para junior juga dimanfaatkan oleh para senior untuk memenuhi kebutuhan akomodasi, seperti transportasi. Putri bercerita, tidak jarang para senior di RS-nya meminjam mobil junior tanpa alasan yang jelas.
"Kadang ada senior yang pinjam mobil, tapi di mobilnya minta disediakan makanan dan minuman. Jadi, kayak misalnya 'Mobilmu apa? Aku pinjam mobil, ya. Sediain' gitu," ujar Putri.
"Namanya juga junior, enggak berani nanya [alasan pinjam mobil]. Nanti aku bisa dirujak," lanjut Putri.
3. Membelikan HP untuk Pegawai Rumah Sakit
Tidak hanya oleh senior dan dosen, para mahasiswa PPDS semester awal juga 'diperas' oleh para pegawai RS. Putri mengatakan bahwa para mahasiswa PPDS harus siap mendengar gosip buruk jika tidak memenuhi 'palakan' pegawai RS.
"Sebenarnya, perundungan ini, tuh, enggak cuma antara dosen atau senior, tapi se-admin-adminnya suka minta juga. Kayak minta beliin handphone, sepatu, baju, atau apapun yang dia lagi butuh," papar Putri.
"Admin itu maksudnya karyawan departemen administrasi-nya. Jadi nanti kalau misalnya kita enggak nurutin, ya, dia bikin gosip yang enggak-enggak gitu. Jadi kita para PPDS selalu suka ngasih-ngasih," lanjutnya.
Depresi karena di-bully
Menurut Putri, tidak sedikit para mahasiswa PPDS cuti selama satu semester, mengalami depresi, hingga mengonsumsi obat antidepresan akibat tingginya tekanan mental selama pendidikan kedokteran spesialis.
"[Mahasiswa PPDS] yang sampai gangguan jiwa itu enggak cuma satu orang, sampai bener-bener minum obat-obatan anti-depresi. Ada junior-ku baru masuk, dia langsung minum obat-obatan anti-depresi," jelas Putri.
"Banyak juga yang setiap hari nangis saking enggak kuatnya," lanjutnya.
Langkah Kemenkes RI
Menanggapi tingginya kasus bullying di lingkungan RS pendidikan kedokteran spesialis, Budi menegaskan bahwa Kemenkes akan secara tegas memutus praktik yang telah terjadi selama puluhan tahun dan turun-menurun tersebut.
Menkes mengatakan bahwa Kemenkes telah menyediakan situs web dan saluran siaga (hotline) bagi para korban perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes.
Sistem laporan perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes dapat diakses melalui dan hotline 0812-9979-9777. Nantinya, data laporan yang masuk akan langsung diterima oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.
"Kita ada dua opsi. Kalau berani ngasih nama dan NIK, saya akan bilang ini hanya masuk ke tempat Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan. Enggak masuk ke yang lain," kata Budi.
"Jadi enggak usah khawatir nanti seniornya, rumah sakit, atau direktur rumah sakit lihat, tidak. Ini (laporan korban perundungan) masuk ke Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan," tegasnya.
Selain memberikan hukuman bagi pelaku, Kemenkes berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi korban perundungan hingga pendidikan selesai, yakni berupa perlindungan hukum dan psikologi bila dibutuhkan.
(hsy/hsy) Next Article Jurus Kemenkes Hapus Tradisi Bullying Calon Dokter Spesialis
