
Kenapa Tuyul Tak Curi Uang di Bank? Ini Jawabannya

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tuyul merupakan makhluk halus yang cukup populer di Indonesia. Dalam berbagai produk film dan sinetron, makhluk halus ini digambarkan sebagai sosok anak kecil berkepala gundul.
Tuyul memiliki satu pekerjaan, yaitu mencuri uang dari orang lain untuk memperkaya tuan yang memeliharanya. Namun, mengapa tuyul tidak pernah mencuri dari bank yang jelas-jelas menyimpan banyak uang?
Jawaban atas pertanyaan itu sudah pernah dibahas dalam berbagai forum di internet. Ada netizen yang menjawab tuyul itu takut dengan logam, sehingga tak bisa mencuri dari brankas. Ada pula yang mengatakan bank juga memelihara makhluk halus untuk menghalau kedatangan tuyul.
Semua jawaban itu dan keberadaan tuyul memang soal percaya atau tidak percaya. Namun yang pasti cerita mengenai tuyul memiliki akar sejarah yang panjang di kalangan masyarakat Indonesia.
Apabila merujuk pada sejarah, 'kelahiran' tuyul diduga terjadi bersamaan dengan perubahan sosial-ekonomi masyarakat Nusantara pada 1870. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda baru saja menerapkan kebijakan baru yang kerap disebut liberalisasi ekonomi.
Sistem ekonomi liberal ini diterapkan sebagai pengganti tanam paksa. Kegiatan ekonomi yang tadinya berpusat pada pemerintah, kini dialihkan kepada swasta.
Jan Luiten van Zanden, serta Daan Marks dalam bukunya Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), menjabarkan penerapan ekonomi liberal telah melahirkan rezim kolonial baru. Perusahaan besar mengambil alih kebun-kebun milik rakyat. Aksi serobot itu membuat para petani kehilangan penghasilannya.
Penerapan sistem ini juga memunculkan kelas sosial baru di tengah masyarakat. Kelas itu bernama pedagang. Terbukanya tanah Hindia Belanda untuk kaum swasta, menyuburkan keberadaan para pedagang sebagai pihak perantara. Mereka kemudian muncul sebagai orang kaya baru.
Fenomena munculnya orang kaya baru lewat bisnis perdagangan ini sulit dipahami kaum tani yang hidupnya serba pas-pasan. Sejarawan Ong Ok Ham dalam bukunya: Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2019) berkata kegiatan ekonomi petani berpusat pada tindakan subsistensi. Artinya, para petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Mereka tidak memahami konsep penumpukan kekayaan, seperti yang dilakukan oleh kaum pedagang. Untuk para petani, bekerja adalah mencangkul dan mengolah sawah. Sementara, usaha perdagangan yang relatif tidak menampakkan kerja fisik adalah sesuatu yang asing.
Perbedaan konsep mengenai bekerja ini membuat petani bertanya-tanya tentang asal-usul harta para juragannya.
George Quinn dalam bukunya An Excursion to Java's Get Rich Quck Tree" (2009) menyebut para petani memiliki kepercayaan bahwa kekayaan harus selalu bisa dipertanggungjawabkan. Maka, ketika orang kaya gagal menjelaskan asal-usul hartanya, maka itu pasti berasal dari mencuri.
Fenomena sosial-ekonomi kemudian bercampur dengan kepercayaan masyarakat yang kental dengan pandangan mistik. Ketika kaum tani tak menemukan penjelasan tentang asal-usul harta para orang kaya, maka kerja sama dengan setan adalah jawabannya. Cerita mengenai tuyul diproduksi untuk memberikan penjelasan yang 'masuk akal' dari kebingungan para kaum tani itu.
'Kelahiran' tuyul juga merupakan bentuk kritik sosial atas kesenjangan ekonomi masyarakat. Ong Hok Ham dalam buku 'Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong (2002)' mengatakan kepercayaan soal lelembut ini sukses membuat pengusaha kehilangan status sosial mereka. Mereka dianggap hina karena memupuk kekayaan dari cara haram bersekutu dengan hantu.
Kepercayaan terhadap keberadaan tuyul tidak hanya berdampak pada hubungan sosial. Transaksi barang di antara golongan orang kaya juga ikut berubah. Mereka cenderung menghindari pembelian aset berupa tanah atau rumah, karena takut diketahui dan dituduh memelihara tuyul. Para orang kaya jaman itu, cenderung menyembunyikan kekayaannya dengan membeli barang berharga yang berukuran kecil, seperti emas. Kepercayaan itulah yang kini tetap bertahan di sebagian kalangan masyarakat Indonesia.
(haa/haa) Next Article Alasan Tuyul Tak Curi Uang di Bank, Padahal Berlimpah