
IHSG Anjlok: "Sell in May and Go Away" Benarkah Fenomena Ini?
Anthony Kevin, ²©²ÊÍøÕ¾
03 May 2018 12:04

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Memasuki bulan Mei, investor ditakutkan dengan sebuah fenomena yaitu 'Sell in May and Go Away'. Apa maksudnya? Investor sering salah kaprah mengenai hal ini.
Sell in May and Go Away diartikan bahwa bursa saham akan terkoreksi sepanjang bulan Mei dan kembali naik pada bulan Juni. Lantas, investor berpikir bahwa Mei merupakan waktunya melepas saham, sebelum akhirnya masuk kembali pada bulan Juni.
[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]
Sebenarnya, istilah tersebut tak digunakan untuk menggambarkan pergerakan bulan Mei saja, melainkan pergerakan dari Mei sampai dengan Oktober.
Singkat cerita, bulan Mei sampai dengan Oktober merupakan periode dimana investor di Amerika Serikat (AS) banyak mengambil waktu cuti, seiring dengan adanya libur musim panas.
Banyaknya investor yang berhenti bertransaksi pada periode tersebut membuat imbal hasil yang diberikan bursa saham menjadi tak maksimal.
Apakah Terbukti?
Pertanyaannya, apakah 'Sell in May and Go Away' benar-benar terbukti kebenarannya? Atau justru hal tersebut merupakan mitos semata?
Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), indeks S&P 500 yang merupakan salah satu indeks saham utama di AS memberikan imbal hasil sebesar 5,6% sepanjang periode Mei-Oktober.
Sementara itu, rata-rata imbal hasil diluar periode 'Sell in May and Go Away' (November-April) tercatat jauh lebih tinggi yaitu senilai 7%. Jadi, fenomena 'Sell in May and Go Away' di AS memang benar terbukti kebenarannya.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Seiring adanya korelasi positif antara bursa saham AS dan Indonesia, fenomena ini juga terjadi di tanah air. Bahkan, kondisinya lebih ekstrim.
Sepanjang Mei-Oktober, rata-rata imbal hasil IHSG sangat tipis, yaitu sebesar 0,01%. Sementara pada periode November-April, imbal hasilnya meroket hingga 7,3%.
Apakah Karena Fenomena Itu Saja?
Selain karena fenomena tersebut, ada juga faktor dalam negeri yang menekan kinerja IHSG. Memasuki bulan April, perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai merilis kinerja keuangan kuartal I.
Kinerja keuangan yang tak sesuai dengan estimasi para analis seringkali membuat investor melakukan aksi jual, sehingga IHSG menjadi tertekan.
Tak hanya perusahaan, pada bulan Mei pemerintah juga melaporkan angka pertumbuhan ekonomi untuk kuartal-I. Lagi-lagi, capaian yang tak sesuai dengan ekspektasi seringkali menekan laju bursa saham dalam negeri.
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Sell in May and Go Away diartikan bahwa bursa saham akan terkoreksi sepanjang bulan Mei dan kembali naik pada bulan Juni. Lantas, investor berpikir bahwa Mei merupakan waktunya melepas saham, sebelum akhirnya masuk kembali pada bulan Juni.
[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]
Sebenarnya, istilah tersebut tak digunakan untuk menggambarkan pergerakan bulan Mei saja, melainkan pergerakan dari Mei sampai dengan Oktober.
Banyaknya investor yang berhenti bertransaksi pada periode tersebut membuat imbal hasil yang diberikan bursa saham menjadi tak maksimal.
Apakah Terbukti?
Pertanyaannya, apakah 'Sell in May and Go Away' benar-benar terbukti kebenarannya? Atau justru hal tersebut merupakan mitos semata?
Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), indeks S&P 500 yang merupakan salah satu indeks saham utama di AS memberikan imbal hasil sebesar 5,6% sepanjang periode Mei-Oktober.
Sementara itu, rata-rata imbal hasil diluar periode 'Sell in May and Go Away' (November-April) tercatat jauh lebih tinggi yaitu senilai 7%. Jadi, fenomena 'Sell in May and Go Away' di AS memang benar terbukti kebenarannya.
![]() |
Bagaimana Dengan Indonesia?
Seiring adanya korelasi positif antara bursa saham AS dan Indonesia, fenomena ini juga terjadi di tanah air. Bahkan, kondisinya lebih ekstrim.
Sepanjang Mei-Oktober, rata-rata imbal hasil IHSG sangat tipis, yaitu sebesar 0,01%. Sementara pada periode November-April, imbal hasilnya meroket hingga 7,3%.
![]() |
Apakah Karena Fenomena Itu Saja?
Selain karena fenomena tersebut, ada juga faktor dalam negeri yang menekan kinerja IHSG. Memasuki bulan April, perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai merilis kinerja keuangan kuartal I.
Kinerja keuangan yang tak sesuai dengan estimasi para analis seringkali membuat investor melakukan aksi jual, sehingga IHSG menjadi tertekan.
Tak hanya perusahaan, pada bulan Mei pemerintah juga melaporkan angka pertumbuhan ekonomi untuk kuartal-I. Lagi-lagi, capaian yang tak sesuai dengan ekspektasi seringkali menekan laju bursa saham dalam negeri.
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular