²©²ÊÍøÕ¾

Buah Simalakama Kenaikan Suku Bunga

Hidayat Setiaji, ²©²ÊÍøÕ¾
08 May 2018 15:52
Buah Simalakama Kenaikan Suku Bunga
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Hari ini, nilai tukar rupiah masih bergerak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Demi mencegah pelemahan rupiah lebih dalam, Bank Indonesia (BI) aktif melakukan intervensi di pasar.

Pada Selasa (8/5/2018), dolar AS akhirnya menembus level Rp 14.000. Kali terakhir greenback menyentuh kisaran tersebut adalah pada akhir 2015. Rupiah tidak kuasa membendung koreksi karena masifnya arus modal yang meninggalkan Indonesia.

Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing hingga pukul 14:15 WIB mencapai Rp 205,79 miliar. Sejak awal tahun, nilai jual bersih asing sudah sebesar Rp 36,67 triliun.

Salah satu faktor yang menyebabkan keluarnya dana asing adalah selisih suku bunga. Sebagai gambaran, BI masih menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%. BI masih mempertahankan sikap (stance) netral, di mana kebijakan moneter juga difungsikan untuk mendorong momentum pemulihan perekonomian domestik.

Di sisi lain, tren global saat ini adalah kebijakan moneter ketat. Diawali oleh Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang diperkirakan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Bahkan ada kemungkinan kenaikan suku bunga mencapai empat kali.

Tidak hanya AS, Inggris pun sudah memasang kuda-kuda untuk menaikkan suku bunga acuan. Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) akan mengadakan pertemuan pada 10 Mei mendatang, dan pelaku pasar memperkirakan hasilnya adalah kenaikan suku bunga.

Menurut konsensus pasar yang dihimpun Reuters, dari 76 ekonom hampir seluruhnya memperkirakan ada kenaikan suku bunga acuan di Negeri Ratu Elizabeth sebesar 25 basis poin menjadi 0,75% pada pertemuan BoE bulan ini. Para ekonom juga memperkirakan suku bunga acuan akan menjadi 1% pada akhir kuartal I-2019.

Selain di AS dan Eropa, Asia pun tidak ketinggalan mengetatkan kebijakan moneter. China, Korea Selatan, Malaysia, sampai terakhir Singapura sudah menempuh langkah ini.

Nampaknya tren suku bunga rendah sudah berakhir. Penyebabnya adalah pemulihan ekonomi global yang semakin nyata, sehingga menimbulkan tekanan inflasi. Dampaknya sudah terlihat dari harga minyak, di mana harga minyak jenis brent naik 12,88% sejak awal tahun. Penyebab utama kenaikan harga minyak adalah pertumbuhan permintaan akibat pemulihan ekonomi dunia.

Laju pertumbuhan ekonomi yang semakin kencang dan membawa dampak inflasi tentu harus dikendalikan. Caranya adalah pengetatan kebijakan moneter, kenaikan suku bunga acuan, agar ekspektasi inflasi terjangkar.

Tren kenaikan suku bunga global mulai menjangkiti Indonesia. Memang belum sampai pada taraf diterapkan, tetapi BI sudah membuka opsi untuk menaikkan suku bunga acuan apabila pelemahan rupiah sudah mengganggu pencapaian target inflasi dan stabilitas sektor keuangan.

Suara-suara agar BI menaikkan suku bunga acuan pun sudah berdatangan. Namun apakah hal ini siap untuk diterapkan dalam waktu dekat?

Menilik pernyataan BI, syarat pertama kenaikan suku bunga acuan adalah jika pencapaian target inflasi sudah mulai terganggu. Untuk tahun ini, BI menargetkan inflasi di kisaran 2,5-4,5%.

Setidaknya sampai April, tanda-tanda inflasi untuk melampaui target itu belum terlihat. Pada April, laju inflasi masih di 3,41% secara year-on-year (YoY).

Pemerintah juga berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM pada tahun ini. Tidak hanya mempengaruhi inflasi dari harga yang diatur pemerintah (administered price), tetapi hal ini juga mempengaruhi stabilitas harga bahan makanan bergejolak (volatile foods) karena tidak ada kenaikan biaya distribusi.

Kecuali jika kemudian harga minyak terus naik sehingga biaya pengadaan BBM membengkak dan pemerintah tidak punya opsi menaikkan harga demi menyelamatkan neraca Pertamina. Namun sejauh ini kemungkinan ke arah sana masih belum terlihat.

Namun perlu diwaspadai bahwa inflasi akibat impor (imported inflation) melonjak drastis. Indeks harga impor Indonesia pada Maret tercatat 143,78. Secara bulanan, terjadi kenaikan 0,42% sementara secara tahunan naik sampai 7,77%.

Jika BI melihat inflasi dari sisi impor ini sudah mengkhawatirkan dan bisa mengancam inflasi umum, maka justifikasi kenaikan suku bunga sudah terpenuhi. Namun jika inflasi umum diperkirakan masih ‘jinak’ (meski ada tekanan inflasi impor), maka belum ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan.

Buah Simalakama Kenaikan Suku BungaBPS

Sementara di sisi stabilitas sektor keuangan, sejauh ini juga masih stabil. Sampai Februari, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan masih tinggi di 23,1%. Sementara rasio likuiditas yang tercermin dari Alat Likuid Berbanding Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga memadai di 23%.

Kenaikan suku bunga acuan justru dikhawatirkan bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Pasalnya, pertumbuhan kredit masih rendah di satu digit, tepatnya 8,2%.

Jika suku bunga acuan naik, maka suku bunga deposito akan mengikuti dan kemudian disusul suku bunga kredit. Pertumbuhan kredit akan semakin tertekan jika suku bunga naik, dan dampaknya bisa berujung ke stagnasi atau bahkan kontraksi ekonomi.

Kenaikan suku bunga kredit juga dikhawatirkan bisa menyebabkan kenaikan kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL). Sejak tahun lalu perbankan sibuk melakukan konsolidasi untuk membersihkan NPL yang sempat melonjak akibat penurunan harga komoditas pada 2015. Kini NPL mulai sehat, berada di 2,9% (gross) atau 1,3% (net).

Jika suku bunga acuan naik, maka dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan cicilan yang harus dibayar debitur. Ini bisa membuat NPL kembali meningkat karena kesulitan debitur melunasi pinjaman yang naik akibat kenaikan bunga.

Oleh karena itu, dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap stabilitas sektor keuangan perlu dipikirkan masak-masak. Jangan sampai langkah ini justru menjadi kontraproduktif.

Kini semuanya tergantung BI. Apakah BI akan ‘menyerah’ menghadapi pelemahan rupiah dan memilih menaikkan suku bunga acuan, atau berjuang lebih keras agar menahan keluarnya arus modal asing.

Namun bila BI memilih berjuang lebih keras, konsekuensinya pun tidak ringan yaitu penurunan cadangan devisa, yang mungkin sangat signifikan. Bila cadangan devisa turun signifikan, maka justru bisa menjadi tambahan sentimen negatif karena Indonesia dinilai semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.

Pilihan yang tidak mudah bagi BI. Menaikkan atau tidak menaikkan, masing-masing pilihan ini mengandung risiko yang tidak kecil.

Bagai buah simalakama. Kalau dimakan ayah meninggal, tapi kalau tidak dimakan ibu yang meninggal...

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular