
Pekan Ini, IHSG Jadi yang Terburuk di Asia
Anthony Kevin, ²©²ÊÍøÕ¾
19 May 2018 11:29

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pekan ini merupakan periode kelam bagi IHSG. Dalam 5 hari perdagangan, IHSG merosot hingga 2,91%.
Walaupun mayoritas bursa saham lainnya di kawasan Asia juga terkoreksi, tapi IHSG tetap yang terburuk.
Sepanjang pekan ini, indeks Nifty 50 (India) melemah 1,94%, indeks PSEi (Filipina) melemah 1,03%, indeks SET (Thailand) melemah 0,67%, dan indeks VNI (Vietnam) melemah 0,41%. Sementara itu, indeks Shanghai (China) dan KLCI (Malaysia) masing-masing menguat sebesar 0,95% dan 0,43%.
Faktor eksternal dan domestik bersatu padu mengandaskan laju IHSG.
Dari sisi eksternal, terdapat pesimisme bahwa negosiasi perdagangan AS-China yang dilakukan di Washington tak akan membuahkan hasil yang manis, sama dengan yang kita lihat pada pertemuan ronde 1 pada awal Mei silam. Benar saja adanya. Mengutip South China Morning Post, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengungkapkan bahwa saat ini belum ada kesepakatan yang terjalin antar kedua negara, walaupun China disebutnya sudah menyetujui permintaan - permintaan dari pihak AS.
"Mereka memenuhi banyak permintaan kami," jelas Kudlow yang merupakan mantan anchor dari ²©²ÊÍøÕ¾ tersebut.
"Untuk memastikan, belum ada kesepakatan sampai dengan saat ini dan mungkin itu akan memerlukan waktu, namun hal tersebut akan datang. Saya percaya mereka (China) ingin membuat kesepakatan" terangnya lebih lanjut.
Jika kesepakatan tak kunjung tercapai, maka perang dagang antar dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut sangat mungkin untuk benar-benar terealisasi. Pada akhirnya, laju perekonomian global yang menjadi taruhannya. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar saham.
Tak hanya China, Jepang kini sudah ikut-ikutan dalam mengambil langkah yang tegas kepada AS. Negeri Sakura tengah mempertimbangkan pengenaan tarif bagi senilai US$ 409 juta (Rp 5,7 triliun) barang-barang ekspor asal AS sebagai balasan terhadap pengenaan tarif bea impor baja dan aluminium yang diberlakukan Negeri Paman Sam, papar media lokal NHK pada hari Kamis (17/5/2018), seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia tersebut merupakan satu-satunya sekutu besar AS yang tidak menerima pengecualian dari keputusan tarif Trump. Hal itu mengejutkan banyak pengambil kebijakan karena Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memiliki relasi yang kuat dengan Trump.
Kemudian, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang terus merangkak naik ikut menekan laju bursa saham domestik. Terhitung sejak 15 Mei sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (18/5/2018), imbal hasil dengan tenang berada di kisaran 3%.
Sebagai catatan, kali terakhir imbal hasil obligasi berada di atas 3% sebelum tahun ini adalah pada tahun 2013 silam. Imbal hasil yang tinggi ini mendorong investor untuk melepas kepemilikannya atas instrumen-instrumen berisiko seperti saham dan mengalihkannya ke dolar AS, sembari menunggu saat yang tepat untuk berbelanja obligasi.
Sepanjang minggu ini, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang dunia lainnya menguat hingga 1,2%. Di sisi lain, rupiah melemah hingga 1,47%.
Tepatkah kenaikan suku bunga?
Dari dalam negeri, kenaikan suku bunga acuan sebanyak 25 bps oleh Bank Indonesia (BI) masih belum ampuh untuk menenangkan pasar keuangan. Pada akhir perdagangan, rupiah justru melemah hingga 0,73% ke level Rp 14.150/dolar AS.
Seperti yang kami utarakan sebelumnya, kenaikan suku bunga acuan sesungguhnya tak baik bagi ekonomi Indonesia dan pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ikut naik. Jika para perusahaan menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan.
Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang. Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh ²©²ÊÍøÕ¾ sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Jika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian mustahil untuk dicapai.
Kemudian, timbul persepsi akan adanya lagi kenaikan suku bunga acuan, seiring dengan rupiah yang justru bergerak melemah. Apalagi, sinyal mengenai hal ini juga sudah diberikan kemarin oleh pimpinan bank sentral.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus DW Martowardojo.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, ekonomi Indonesia bisa semakin tertekan.
(ray/ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Walaupun mayoritas bursa saham lainnya di kawasan Asia juga terkoreksi, tapi IHSG tetap yang terburuk.
Sepanjang pekan ini, indeks Nifty 50 (India) melemah 1,94%, indeks PSEi (Filipina) melemah 1,03%, indeks SET (Thailand) melemah 0,67%, dan indeks VNI (Vietnam) melemah 0,41%. Sementara itu, indeks Shanghai (China) dan KLCI (Malaysia) masing-masing menguat sebesar 0,95% dan 0,43%.
Dari sisi eksternal, terdapat pesimisme bahwa negosiasi perdagangan AS-China yang dilakukan di Washington tak akan membuahkan hasil yang manis, sama dengan yang kita lihat pada pertemuan ronde 1 pada awal Mei silam. Benar saja adanya. Mengutip South China Morning Post, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengungkapkan bahwa saat ini belum ada kesepakatan yang terjalin antar kedua negara, walaupun China disebutnya sudah menyetujui permintaan - permintaan dari pihak AS.
"Mereka memenuhi banyak permintaan kami," jelas Kudlow yang merupakan mantan anchor dari ²©²ÊÍøÕ¾ tersebut.
"Untuk memastikan, belum ada kesepakatan sampai dengan saat ini dan mungkin itu akan memerlukan waktu, namun hal tersebut akan datang. Saya percaya mereka (China) ingin membuat kesepakatan" terangnya lebih lanjut.
Jika kesepakatan tak kunjung tercapai, maka perang dagang antar dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut sangat mungkin untuk benar-benar terealisasi. Pada akhirnya, laju perekonomian global yang menjadi taruhannya. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar saham.
Tak hanya China, Jepang kini sudah ikut-ikutan dalam mengambil langkah yang tegas kepada AS. Negeri Sakura tengah mempertimbangkan pengenaan tarif bagi senilai US$ 409 juta (Rp 5,7 triliun) barang-barang ekspor asal AS sebagai balasan terhadap pengenaan tarif bea impor baja dan aluminium yang diberlakukan Negeri Paman Sam, papar media lokal NHK pada hari Kamis (17/5/2018), seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia tersebut merupakan satu-satunya sekutu besar AS yang tidak menerima pengecualian dari keputusan tarif Trump. Hal itu mengejutkan banyak pengambil kebijakan karena Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memiliki relasi yang kuat dengan Trump.
Kemudian, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun yang terus merangkak naik ikut menekan laju bursa saham domestik. Terhitung sejak 15 Mei sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (18/5/2018), imbal hasil dengan tenang berada di kisaran 3%.
Sebagai catatan, kali terakhir imbal hasil obligasi berada di atas 3% sebelum tahun ini adalah pada tahun 2013 silam. Imbal hasil yang tinggi ini mendorong investor untuk melepas kepemilikannya atas instrumen-instrumen berisiko seperti saham dan mengalihkannya ke dolar AS, sembari menunggu saat yang tepat untuk berbelanja obligasi.
Sepanjang minggu ini, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang dunia lainnya menguat hingga 1,2%. Di sisi lain, rupiah melemah hingga 1,47%.
Tepatkah kenaikan suku bunga?
Dari dalam negeri, kenaikan suku bunga acuan sebanyak 25 bps oleh Bank Indonesia (BI) masih belum ampuh untuk menenangkan pasar keuangan. Pada akhir perdagangan, rupiah justru melemah hingga 0,73% ke level Rp 14.150/dolar AS.
Seperti yang kami utarakan sebelumnya, kenaikan suku bunga acuan sesungguhnya tak baik bagi ekonomi Indonesia dan pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ikut naik. Jika para perusahaan menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan.
Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang. Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh ²©²ÊÍøÕ¾ sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Jika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian mustahil untuk dicapai.
Kemudian, timbul persepsi akan adanya lagi kenaikan suku bunga acuan, seiring dengan rupiah yang justru bergerak melemah. Apalagi, sinyal mengenai hal ini juga sudah diberikan kemarin oleh pimpinan bank sentral.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus DW Martowardojo.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, ekonomi Indonesia bisa semakin tertekan.
(ray/ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular