վ

Pelajaran dari Krisis 1998

Agar Tidak Terjebak Krisis, RI Perlu Cermati 8 Risiko Ini

Arif Gunawan, վ
23 May 2018 10:24
Agar Tidak Terjebak Krisis, RI Perlu Cermati 8 Risiko Ini
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, վ - Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga nilai tukar rupiah? Mengutip UOB, sampai dengan April Bank Indonesia (BI) telah menyedot cadangan devisa US$9 miliar (sekitar Rp 127 triliun) untuk dilepas ke pasar (ditukarkan dengan rupiah) guna mengerem pelemahan mata uang nasional.

Angka tersebut fantastis, tetapi masih relevan dibelanjakan demi melihat pergerakan ]rupiah akhir-akhir ini. Bagi perekonomian Indonesia yang strukturnya masih banyak ditopang aktivitas impor, penurunan mata uang jelas bukan kabar yang bagus karena nilai barang-barang yang dibeli Indonesia mulai dari kedelai, pakan ternak, hingga beras menjadi lebih mahal.

Demikian juga pembiayaan APBN juga sedikit-banyak disumbang utang dalam mata uang asing (dolar AS). Ketika rupiah melemah, maka kewajiban pemerintah membayar bunga dan pokok obligasi dalam mata uang asing menjadi semakin berat.Pemerintah harus mengumpulkan lebih banyak pajak atau devisa hasil ekspor untuk membayar kewajiban yang nilainya dalam dolar AS masih sama.

Pelajaran 1997 menunjukkan bahwa krisis Asia belum memukul ekonomi Indonesia sampai kemudian rupiah tersungkur 30% dalam dua bulan diiringi penarikan dana nasabah besar-besaran (bank rush). Anjloknya nilai rupiah ini mulai memukul sendi perekonomian ketika swasta kesulitan membayar kewajiban jangka pendeknya sehingga memicu PHK yang berujung pada problem sosial.

Rupiah sempat amblas dari Rp 11.000/US$ ke Rp 14.000/US$ pada semester I-1998. Tahun ini, kita melihat rupiah juga melemah hingga menyentuh level Rp 14.200/US$.

Meski sekilas terlihat mirip, kondisi keduanya sangat jauh berbeda mulai dari stabilitas perekonomian (meski laju pertumbuhannya sedikit melambat), kesehatan industri perbankan, hingga inflasi yang terkendali. Namun, ini tak memberi alasan bagi kita untuk terlena dan memilih menebarkan wacana betapa perekonomian bakal baik-baik saja.

Sikap naif demikian pernah kita pertontonkan pada 1996. Ekonom, mulai dari yang partikelir hingga profesional, di akhir 1996 memuja-muji ekonomi nasional. Semua surat kabar arus utama juga optimistis dengan nada pemberitaan riang. Lalu kita tahu, muka-muka riang mereka berubah jadi pucat ketika krisis ekonomimenyapu 2tahun kemudian.

Menurut hemat kami, dalam situasi normal kita harus bersikap skeptis dengan tak henti menyisir akar dan potensi risiko, serta menyiapkan ramuan solusinya. Sebaliknya dalam situasi krisis, optimisme harus dijaga dalam ikhtiar mencari celah dan jalan keluar.

Oleh karena itu, kami menyisir risiko-risiko yang membayangi rupiah dan mengusulkan solusi untuk mencegah situasi normal ini berubah menjadi "mimpi buruk" 1997. Berdasarkan proses sortingTim Riset վ, ada delapan risiko yang membayangi dan berpeluang memukul rupiah.

Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin mini krisis bakal terjadi.

Early warning dalam semangat rasionalitas-hal yang kian langka jelang tahun politik dan masyarakat yang terbelah-adalah semangat yang mengalasdasari kajian ini agar semua pihak bisa mengambil langkah antisipatif lebih dini.

Perlu kami ingatkan, variabel dalam skenario ini bisa berubah, dan bahkan bisa jadi terhindarkan, sehingga tak ada alasan untuk merasa ditakut-takuti terutama jika kita bersikap terbuka dengan fokus mengkaji solusi ke depan.

Di antara berbagai skenario yang membayangi perekonomian nasional tahun ini, menurut hemat kami ada dua yang paling mungkin terjadi di depan mata dan paling memengaruhi rupiah. Di dunia internasional, kita bakal melihat sikap brutal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam mengibarkan panji ‘America First’ dan kebijakan proteksionisnya.

Sementara itu di dalam negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berubah menjadi kian populis dan menciptakan langkah mundur atas reformasi ekonomi yang menjadi gebrakannya ketika terpilih pada 2014 lalu. Maklum saja, konstituen perlu diambil hatinya tahun ini, untuk memenangkan pertarungan tahun depan.

Kedua skenario tersebut, jika tidak diubah dari sekarang, bakal berujung pada munculnya delapan risiko yang menciptakan lubang-lubang ranjau di perjalanan pergerakan nilai tukar rupiah.Kami mendata risiko-risiko yang bisa terjadi ke depannya, dan mengukur besar eksposurnya terhadap pelemahan rupiah dengan mengacu pada efek yang ditimbulkan oleh sentimen tersebut secara historis.

Sebagai contoh, efek insiden ledakan bom di Tanah Air terhadap pergerakan rupiah dalam 10 tahun terakhir kami kumpulkan dan kami hitung reratanya. Estimasi ini merupakan hitungan kasar, karena pada kenyataannya pergerakan rupiah setiap harinya memang tidak didorong satu variabel saja.

Berikut adalah delapan risiko yang bisa memukul rupiah:
Agar Tidak Terjebak Krisis, RI Perlu Cermati 8 Risiko Ini
Berdasarkan perhitungan tersebut, kedelapan faktor itu (jika muncul bersamaan), memberikan eksposur sebesar 2,52% terhadap penurunan nilai tukar rupiah.

Ibaratnya, jika posisi rupiah di level Rp 14.000/US$, maka kedelapan risiko itu akan memicu pelemahan 352,8 poin, atau melempar rupiah ke level Rp 14.352,8/US$ (dengan asumsi tak ada intervensi moneter).

Tiga risiko terbesar adalah aksi terorisme, The Federal Reserve/The Fed kian hawkish (bernafsu menaikkan suku bunga), dan perubahan kebijakan ekonomi. Sebaliknya risiko dengan skala efek terkecil adalah ambisi infrastruktur Presiden Jokowi serta perlambatan ekonomi China.

Pertama, menurut catatan kami, kurs rupiah melemah rata-rata 1,1% pada hari yang sama ketika terjadi ledakan bom. Ini menunjukkan bahwa sentimen di pasar uang sangat dipengaruhi aksi-aksi terorisme. Celakanya, dalang aksi bom baru-baru ini belum tertangkap sehingga membuka peluang terjadinya serangan lanjutan.

Selanjutnya, kenaikan suku bunga AS secara lebih agresif menjadi sentimen negatif terbesar kedua, karena kebijakan tersebut memicu pembalikan modal asing dari Indonesia yang akan menekan rupiah. BI baru-baru ini memproyeksikan kenaikan Fed Fund Rate tahun ini bisa mencapai 4 kali, atau lebih banyak dari perkiraan pasar sebelumnya sebanyak 3 kali.

Ketiga, perubahan kebijakan menjadi kian populis juga memicu sentimen negatif di pasar uang. Beberapa lontaran pemerintahan untuk mem-peg harga BBM premium dan tarif listrik hingga 2019 direspons dengan pelemahan rupiah rata-rata 0,27%.

Demikian juga kebijakan BBM satu harga yang menafikan praktik korporasi yang wajar hingga memperberat neraca Pertamina.

Perang dagang China dan AS menciptakan risiko selanjutnya, karena keduanya merupakan pasar utama Indonesia. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kedua negara dengan perekonomian terbesar ini menyerap sekitar 30% produk ekspor nasional.

Uni Eropa juga merupakan pasar utama Indonesia, sehingga perpecahan blok ekonomi tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap rupiah.

Dari dalam negeri, pelemahan konsumsi masyarakat yang sempat santer terdengar menjelang Lebaran tahun lalu terkonfirmasi dengan melemahnya konsumsi dalam porsi pembentukan produk domestik bruto (PDB) sehingga rupiah melemah rata-rata 0,19% merespon konfirmasi tersebut.


Melihat kedelapan risiko tersebut, ada baiknya pemerintah bersikap realistis. Di tengah tren pengetatan moneter di negara maju, pemerintah harus banting stir memfokuskan perhatian pada stabilitas, dan tidak lagi agresif mengejar pertumbuhan ekonomi (apalagi mencapai 7% seperti yang dijanjikan dalam kampanye).

Menurut hemat kami, stabilitas rupiah dan keamaanan harus menjadi target utama kebijakan pemerintahan Jokowi tahun ini. Otoritas moneter (BI) dan fiskal (Kementerian Keuangan) harus bahu-membahu memperkuat kondisi moneter, menyambut “era capital outflow” 2018 sementara menteri teknis memperkuat fundamental dan stabilitas ekonomi.

Percuma menargetkan inflasi (rendah) jika rupiah kebobolan yang pada akhirnya mendongkrak inflasi dari komponen impor (imported inflation).

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke level 4,5% baru-baru ini kurang efektif mengerem laju pembalikan modal di tengah tren kenaikan yield surat berharga di AS seiring dengan rencana kenaikan Fed Funds Rate. Rupiah terus tertekan. Maka benarlah dugaan beberapa pelaku pasar bahwa kenaikan BI 7-Day Repo Rate mestinya sebesar 50 basis poin.

Betul bahwa kenaikan suku bunga bisa mengerem ekspansi swasta. Tetapi perlu diingat, swasta saat ini secara natural berada di posisi defensif. Pada triwulan terakhir tahun lalu, ketika atmosfer kebijakan moneter longgar masih terasa, industri perbankan mencatat dana menganggur Rp 300 triliun karena calon debitur memilih tidak mengajukan kredit baru.

Belakangan, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) juga memaparkan fakta bahwalima calon emiten memutuskan menahan rencana pencatatan saham perdana ke bursa (initial public offering/IPO) menyusul gejolak pasar. Artinya, problemnya bukan pada longgarnya pendanaan tetapi di hulu kendali swasta yang memang sedang menahan ekspansi menunggu situasi ekonomi dunia membaik.

Dari sisi fiskal, pemerintah harus realistis dengan tidak memaksakan diri mengalokasikan lebih banyak subsidi BBM untuk menahan harga premium sampai dengan tahun Pemilu. Alih-alih mengorbankan APBN, simpati rakyat akan lebih baik dicapai dengan memaksimalkan belanja APBN di pos lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Dana Desa.

Selain menarik simpati masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah, program tersebut juga bisa menstimulasi konsumsi yang saat ini melemah, mengatasi problem demand constraint seperti yang sedang dihadapi sekarang. Harapannya, pertumbuhan konsumsidalam pembentukanProduk Domestik Bruto (PDB) kembali menguat. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.

Terkait dengan perang dagang, pemerintah hanya perlu berpihak pada pihak yang tidak menyerang kepentingan Indonesia dan berpeluang menang dalam sengketa itu. Dalam hal ini, pihak tersebut adalah China. Alasannya sederhana: pemerintah AS juga menyerang kepentingan dagang Indonesia, dan China yang kekuatan ekonominya menyaingi AS saat ini lebih komitmen menjalankan prinsip perdagangan bebas.

Yang juga perlu digarisbawahi, defisit neraca perdagangan hingga US$ 1,63 miliar baru-baru ini dipicu oleh tingginya impor mesin, peralatan listrik, dan baja. Konstruksi menjadi salah satu kontributornya. Ambisi infrastruktur Presiden Jokowi bisa dibilang turut andil di dalamnya karena proyek-proyek yang manfaatnya bisa dirasakan dalam jangka panjang tersebut saat ini memicu kenaikan impor baja dan komponen pendukungnya.

Menurut hemat kami, perlu ada ketegasan untuk mengerem proyek-proyek yang dinilai kurang memberikan multiplier effect ke industri seperti yang saat ini sedang dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia terpilih Mahathir Muhammad. Negeri Jiran itu mengevaluasi ratusan proyek yang hanya memperberat anggaran.

Sebagaimana filosofi pembalap formula satu (F1), semua pembalap amatir bisa menginjak gas. Namun hanya pembalap profesional yang tahu cara mengerem dalam kecepatan tinggi hingga bertahan sampai garis finis tanpa terguling.

Mungkin kini saatnya untuk sedikit mengerem,Pak Jokowi...

TIM RISET վ INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular