²©²ÊÍøÕ¾

The Fed Tak Naikkan Bunga Tahun Ini? Belum Tentu!

Anthony Kevin, ²©²ÊÍøÕ¾
12 January 2019 21:01
The Fed Tak Naikkan Bunga Tahun Ini? Belum Tentu!
Foto: Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell (REUTERS/Yuri Gripas)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Dolar AS dipukul mundur sepanjang pekan ini, terlihat dari koreksi indeks dolar AS yang sebesar 0,53%. Sebagai informasi, indeks dolar AS menggambarkan pergerakan dolar AS terhadap mata uang dari negara-negara mitra dagang utamanya.

Rupiah pun berhasil memanfaatkan momentum tersebut. Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 1,58% melawan dolar AS di pasar spot, dari Rp 14.265/dolar AS menjadi Rp 14.040/dolar AS. Jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara tetangga, performa rupiah praktis menjadi yang terbaik.

Dolar AS loyo seiring dengan kian kuatnya persepsi bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS tak akan mengerek suku bunga acuan sama sekali pada tahun 2019. Padahal, The Fed memproyeksikan akan ada kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun ini.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 11 Desember 2019, probabilitas tidak adanya kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini adalah sebesar 71,8%, naik dari posisi 1 hari sebelumnya yang sebesar 70,3%. Jika dibandingkan dengan posisi 1 bulan lalu yang sebesar 35,4%, maka kenaikannya menjadi jauh lebih tinggi.

Komentar dari petinggi The Fed membuat investor kian yakin bahwa suku bunga acuan akan terus ditahan sepanjang 2019. Pada pekan ini, Gubernur The Fed Jerome Powell menegaskan pandangan bahwa bank sentral Negeri Paman Sam akan lebih berhati-hati dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.

"Dengan inflasi rendah dan terkendali, kami bisa lebih sabar dan memantau dengan saksama bagaimana narasi pada 2019," tuturnya, mengutip Reuters.

Tidak hanya Powell, pernyataan Wakil Gubernur Richard Clarida pun kian memberi konfirmasi bahwa The Fed sudah melunak. Clarida memberi sinyal The Fed harus siap mengubah posisi (stance) kebijakan menjadi ke arah pro pertumbuhan ekonomi.

"Pertumbuhan ekonomi negara-negara lain mengalami moderasi. Perkembangan ini berdampak kepada perekonomian AS. Jika situasi ini bertahan, maka kebijakan moneter harus berubah untuk mengatasi hal tersebut," kata Clarida, mengutip Reuters.

Namun, investor sudah sepatutnya waspada. Pasalnya, dengan melihat data ekonomi yang ada, ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini terbilang cukup besar.


Dalam pengambilan keputusannya, The Fed memperhatikan dua indikator utama yakni inflasi dan pasar tenaga kerja. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan personal consumption expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi adalah 2%.

Untuk periode November 2018, PCE price index tumbuh sebesar 1,8% YoY atau masih berada di bawah target The Fed. Dengan melihat data ini, tentu normalisasi suku bunga acuan menjadi sulit untuk dilakukan. Apalagi, Powell memang sudah berkata bahwa pihaknya bisa lebih bersabar dalam melakukan normalisasi seiring inflasi yang rendah dan terkendali.

Yang menjadi masalah adalah data tenaga kerja yang begitu kuat. Berbicara mengenai data tenaga kerja, salah satu data yang dipantau oleh The Fed adalah Job Openings and Labor Turnover survey (JOLTS) yang dipublikasikan oleh Departemen Tenaga Kerja.

Pada bulan November, terdapat 6,89 juta lowongan kerja yang dibuka di AS atau sekitar 800.000 lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang dikategorikan menganggur disana.

Kuatnya pasar tenaga kerja di AS juga ditunjukkan oleh angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode Desember 2018 yang sebesar 312.000, jauh mengalahkan konsensus yang sebesar 179.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian,klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 5 Januari diumumkan sebanyak 216.00 jiwa, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 226.000, juga dilansir dari Forex Factory.

Dengan melihat data tenaga kerja yang begitu kuat, patut diperhitungkan bahwa ruang bagi The Fed untuk melakukan normalisasi masih cukup lebar. Pasalnya, dengan pasar tenaga kerja yang kuat, konsumsi akan terdongkrak naik yang pada akhirnya akan mendorong inflasi ke atas.



Lebih lanjut, normalisasi suku bunga acuan juga bisa dipicu oleh damai dagang AS-China yang nampak kian nyata. Pada 3 hari pertama pekan ini (7-9 Januari), AS dan China menggelar negosiasi dagang setingkat wakil kementerian di Beijing.

Cukup banyak pelaku pasar yang skeptis dalam menanggapi pertemuan ini, lantaran hanya setingkat wakil kementerian. Namun, seiring berjalannya pertemuan, ada perkembangan yang cukup mengejutkan.

Wakil Perdana Menteri China Liu He yang merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang tampil dalam negosiasi hari pertama. Dari sini, optimisme pelaku pasar muncul bahwa akan ada gebrakan yang signifikan dari pertemuan ini.

Pasca pertemuan rampung digelar, US Trade Representatives (USTR) mengatakan bahwa China berkomitmen membeli lebih banyak produk asal Negeri Paman Sam, mulai dari produk pertanian, energi, hingga manufaktur.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan AS berlangsung ekstensif dan dalam, menghasilkan fondasi untuk menyelesaikan permasalahan yang dimiliki kedua belah pihak.

Kemudian, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengatakan bahwa ada perkembangan yang dicapai terkait dengan isu-isu struktural seperti pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual.

Pemaksaan transfer teknologi dan perlindungan kekayaan intelektual merupakan permasalahan yang sangat sulit untuk diselesaikan sejauh ini. Lantas, pernyataan dari Gao Feng berhasil menenangkan pelaku pasar.

Perkembangan terbaru, Liu He dikabarkan akan datang ke Washington pada 30 dan 31 Januari untuk melakukan negosiasi dagang, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut, seperti dilansir dari Bloomberg.

Liu He akan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer yang juga merupakan tokoh kunci dalam negosiasi dagang AS-China.

Jika AS dan China bisa menyelesaikan perang dagang secara permanen, maka tekanan terhadap kantong masyarakat AS akan menjadi berkurang sehingga konsumsi lagi-lagi akan terdorong naik. The Fed pun pada akhirnya bisa ‘dipaksa’ untuk mengerek suku bunga acuan.

Pelaku pasar keuangan di tanah air patut waspada. Penguatan rupiah yang sudah dinikmati sejak awal tahun bisa saja berakhir jika The Fed tetap melakukan normalisasi pada tahun ini.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular