
Sama-Sama Tertekan, Nasib IHSG Sepekan Lebih Baik dari Rupiah
Arif Gunawan, ²©²ÊÍøÕ¾
15 June 2019 09:38

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾-Setelah pekan lalu sentimen positif kenaikan peringkat utang Indonesia mengangkat pasar keuangan domestik, pekan ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah berakhir dalam persilangan arah akibat sentimen cadangan devisa dan harga minyak.
Indeks acuan bursa saham nasional pada Jumat (14/6/2019) ditutup di level 6.250,26, atau menguat 0,62% atau 39 poin selama sepekan. Sementara itu, pasar obligasi juga menguat dengan imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) 10 tahun yang membaik dari 7,8% menjadi 7,69% dalam sepekan.
Namun, Mata Uang Garuda justru melemah dengan terdepresiasi 0,35% selama sepekan ini ke 14.320 per dolar Amerika Serikat (AS). Di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah bahkan melemah 0,51% ke level 14.304, dari posisi pembukaan awal pekan ini pada 14.231/US$.
Jika pekan lalu kenaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Standar & Poor's (S&P) menjadi obat kuat pengangkat pasar modal dan pasar uang, maka pekan ini muncul determinan baru yang membuat keduanya bergerak dengan tren yang sama yakni melemah meski dengan besaran berbeda.
Determinan itu adalah posisi cadangan devisa dan harga minyak mentah dunia. Cadangan devisa (cadev) Mei dilaporkan terpakai US$4 miliar untuk membayar utang pemerintah, sehingga posisinya kini berada di level US$120,3 miliar (Rp 1.708,3 triliun).
Pasar modal dan rupiah pun terkoreksi. Hanya saja, koreksi di bursa saham terhitung lebih tipis (hanya 0,05% pada Rabu) dibandingkan dengan pelemahan yang dialami rupiah (0,25%). Secara mingguan, IHSG masih bisa ditutup di zona hijau meski pergerakan hariannya dalam dua hari terakhir pekan ini sama seperti rupiah, yakni melemah.
Hal ini wajar terjadi, cadev memang lebih menakutkan bagi investor mata uang karena menjadi salah satu indikator amunisi moneter untuk intervensi pasar mata uang. Apalagi, harga minyak dunia juga sempat mendadak lompat.
Harga energi utama dunia tersebut sempat menguat hingga 3% setelah terjadi insiden sabotase kapal tanker di Teluk Oman. Harga minyak Brent, yang menjadi acuan Indonesia, naik ke level US$62 per barel hanya dalam beberapa jam setelah kabar sabotase muncul.
Bagi ekonomi Indonesia kenaikan harga minyak bukanlah kabar positif, karena penerimaan migas yang diterima sudah terlibas oleh pengeluaran untuk impor minyak mentah dan bahan bakar migas (BBM).
Inilah yang membuat rupiah menjadi kurang menarik bagi investor. Kenaikan impor migas akan membuat defisit neraca perdagangan membengkak yang pada akhirnya membuat defisit neraca transaksi berjalan (current account) kian parah.
Bagi emiten migas, kabar tersebut tidak banyak berdampak banyak karena hanya bersifat sementara. Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) misalnya, justru terkoreksi 10 perak dari Rp 775 pada awal pembukaan pekan ini menjadi Rp 765 pada penutupan Jumat lalu.
Bahkan, bagi bursa global, lonjakan harga emas hitam justru membantu penguatan harga saham emiten migas. Dow Jones pada Kamis waktu setempat (Jumat pagi WIB) menguat 0,39% setelah investor memburu saham emiten energi menyusul kabar insiden di Timur Tengah itu.
Positifnya bursa AS ini membantu memperbaiki sentimen trader lokal hingga memperlambat laju koreksi IHSG. Hal serupa tidak terlihat pada rupiah pada perdagangan Jumat yang justru menjadi yang terlemah kedua di Asia (setelah rupee), dengan skala koreksi terburuk sejak 30 Mei.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(ags/ags) Next Article Stimulus AS Kian Dekat, Rupiah Melenggang ke Rp 13.900/US$
Indeks acuan bursa saham nasional pada Jumat (14/6/2019) ditutup di level 6.250,26, atau menguat 0,62% atau 39 poin selama sepekan. Sementara itu, pasar obligasi juga menguat dengan imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) 10 tahun yang membaik dari 7,8% menjadi 7,69% dalam sepekan.
Namun, Mata Uang Garuda justru melemah dengan terdepresiasi 0,35% selama sepekan ini ke 14.320 per dolar Amerika Serikat (AS). Di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah bahkan melemah 0,51% ke level 14.304, dari posisi pembukaan awal pekan ini pada 14.231/US$.
Jika pekan lalu kenaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Standar & Poor's (S&P) menjadi obat kuat pengangkat pasar modal dan pasar uang, maka pekan ini muncul determinan baru yang membuat keduanya bergerak dengan tren yang sama yakni melemah meski dengan besaran berbeda.
Determinan itu adalah posisi cadangan devisa dan harga minyak mentah dunia. Cadangan devisa (cadev) Mei dilaporkan terpakai US$4 miliar untuk membayar utang pemerintah, sehingga posisinya kini berada di level US$120,3 miliar (Rp 1.708,3 triliun).
Pasar modal dan rupiah pun terkoreksi. Hanya saja, koreksi di bursa saham terhitung lebih tipis (hanya 0,05% pada Rabu) dibandingkan dengan pelemahan yang dialami rupiah (0,25%). Secara mingguan, IHSG masih bisa ditutup di zona hijau meski pergerakan hariannya dalam dua hari terakhir pekan ini sama seperti rupiah, yakni melemah.
Hal ini wajar terjadi, cadev memang lebih menakutkan bagi investor mata uang karena menjadi salah satu indikator amunisi moneter untuk intervensi pasar mata uang. Apalagi, harga minyak dunia juga sempat mendadak lompat.
Harga energi utama dunia tersebut sempat menguat hingga 3% setelah terjadi insiden sabotase kapal tanker di Teluk Oman. Harga minyak Brent, yang menjadi acuan Indonesia, naik ke level US$62 per barel hanya dalam beberapa jam setelah kabar sabotase muncul.
Bagi ekonomi Indonesia kenaikan harga minyak bukanlah kabar positif, karena penerimaan migas yang diterima sudah terlibas oleh pengeluaran untuk impor minyak mentah dan bahan bakar migas (BBM).
Inilah yang membuat rupiah menjadi kurang menarik bagi investor. Kenaikan impor migas akan membuat defisit neraca perdagangan membengkak yang pada akhirnya membuat defisit neraca transaksi berjalan (current account) kian parah.
Bagi emiten migas, kabar tersebut tidak banyak berdampak banyak karena hanya bersifat sementara. Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) misalnya, justru terkoreksi 10 perak dari Rp 775 pada awal pembukaan pekan ini menjadi Rp 765 pada penutupan Jumat lalu.
Bahkan, bagi bursa global, lonjakan harga emas hitam justru membantu penguatan harga saham emiten migas. Dow Jones pada Kamis waktu setempat (Jumat pagi WIB) menguat 0,39% setelah investor memburu saham emiten energi menyusul kabar insiden di Timur Tengah itu.
Positifnya bursa AS ini membantu memperbaiki sentimen trader lokal hingga memperlambat laju koreksi IHSG. Hal serupa tidak terlihat pada rupiah pada perdagangan Jumat yang justru menjadi yang terlemah kedua di Asia (setelah rupee), dengan skala koreksi terburuk sejak 30 Mei.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(ags/ags) Next Article Stimulus AS Kian Dekat, Rupiah Melenggang ke Rp 13.900/US$
Most Popular