²©²ÊÍøÕ¾

Kredit Tumbuh Rendah, Haruskan Konsolidasi Bank Dipercepat?

Dwi Ayuningtyas, ²©²ÊÍøÕ¾
24 June 2019 18:14
Kredit Tumbuh Rendah, Haruskan Konsolidasi Bank Dipercepat?
Ilustrasi Rupiah (²©²ÊÍøÕ¾/Andrean Kristianto)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Dalam lima tahun terakhir, rasanya tidak banyak bank mampu membukukan pertumbuhan kredit di atas 15%. Padahal sebelumnya pertumbuhan kredit di level itu lazim terjadi.

Lima tahun ini, fokus kredit perbankan adalah ke infrastruktur. Perbankan mencoba untuk menyokong rencana pemerintah yang getol membangun infrastruktur. Hal ini tergambar jelas tingginya laju pertumbuhan kredit investasi yang lebih kencang dari pertumbuhan kredit modal kerja atau kredit konsumsi meski porsi kredit modal kerja masih yang terbesar dari dua jenis kredit lainnya.

Dalam setahun terakhir, kredit investasi rata-rata tumbuh 1,13% per bulan. Sementara rerata pertumbuhan bulanan kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing 0,86% dan 0,73%.

Besarnya permintaan pembiayaan infrastruktur tentunya lebih banyak menguntungkan bank BUKU IV dan BUKU III yang secara proporsional menyalurkan hampir 90% dari total kredit investasi di Bank Umum. Bank BUKU I Dan BUKU II tidak banyak masuk ke segmen ini karena mereka tidak memiliki dana besar dan kompetensi di bidang penyaluran kredit infrastruktur.


Di tengah getolnya bank salurkan kredit infrastruktur, lampu kuning tiba-tiba menyalah. Bank-bank harus berhadapan dengan likuiditas yang ketat. Perlahan namun pasti Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan terus menanjak. Pada April lalu LDR perbankan sudah berada di kisaran 94%. Padahal ini pada periode ini pelaku usaha belum jor-joran mencairkan kredit dari bank.

Kelompok bank BUKU III yang paling tinggi LDR-nya menyentuh 101%. Dalam kondisi ini Bank BUKU III memilih mengerek penyaluran kredit. Melansir Statistik Perbankan Indonesia Edisi April 2019, laju pertumbuhan kredit Bank BUKU III bulan April hanya mencapai 0,11% MoM, bahkan pada Maret terkontraksi 6,35% MoM.

Sebagai informasi, tingginya merupakan salah satu indikator likuiditas perbankan. Semakin tinggi LDR menandakan semakin ketatnya likuiditas karena laju pertumbuhan kredit tidak mampu diiringi dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Bank Buku III yang struktur modal kuat saja menahan penyaluran kredit, bagaimana dengan situasi laju kredit bank-bank kecil?


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Aktifnya bank-bank besar dan menengah menggarap sektor infrastruktur membuat kelompok bank ini rakus menyerap dana masyarakat. Bahkan ada indikasi nasabah-nasabah berdana besar di bank kecil diakuisisi oleh bank besar dan menengah.

Kenyataan ini membuat bank kecil harus pintar-pintar menata likuiditas. Mereka akan sangat selektif salurkan kredit karena bila terlalu jor-joran takutnya likuiditas malah jadi masalah.

Tahun lalu, pertumbuhan kredit bank buku I sebesar 9,07% year-on-year (YoY), sedangkan bank buku II malah tumbuh negatif 1,18% YoY. Perolehan ini berbeda jauh dengan bank besar yang kreditnya tumbuh dua digit di tahun 2018. Berikut adalah laju pertumbuhan kredit bank BUKU I & II.

TahunBUKU IBUKU II
2014-22.29%6.15%
201528.68%-5.79%
2016-22.29%6.15%
2017-35.75%-6.65%
20189.07%-1.18%
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia April 2019, diolah

Bank-bank kecil menahan penyaluran kredit karena arus uang masuk dari DPK lari ke bank besar. Pasalnya, bank BUKU III & IV memiliki layanan yang lebih lengkap, sehingga masyarakat lebih tertarik menaruh uang mereka di bank besar.

Kekuatan bank-bank kecil untuk menyedot DPK hanyalah dengan menawarkan bunga deposito yang tinggi yang membuat cost of fund mereka lebih besar. Terlebih lagi, bank buku kecil belum bisa mengembangkan layanan internet banking, di mana ini membuat mereka menjadi tak dilirik milenial untuk bertransaksi.

Dari sekitar ribuan triliun rupiah DPK yang diserap bank umum bulan April, bank BUKU I & II hanya mampu menikmati sekitar Rp 647 triliun atau sekitar 12%. Dengan pasokan dana yang minim, tentunya membuat bank-bank kecil menarik diri untuk menawarkan kredit ke masyarakat.

Dalam kondisi yang ada saat ini tentu peran perbankan untuk menyalurkan kredit guna mendukung pertumbuhan ekonomi cukup terbatas. Berdasarkan prediksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2020 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5,3-5,6% dibutuhkan investasi Rp 5.000 triliun sementara perbankan hanya bisa menyediakan dana Rp 500 triliun. 

Bank-bank yang bisa menyediakan pembiayaan juga terbatas. Hanya Bank BUKU IV dan beberapa Bank BUKU III yang punya likuiditas memadai. Kelompok bank lainnya tidak bisa menjalankan peran dengan baik karena likuiditas tak mencukupi.

Untuk menyelesaikan masalah konsolidasi antar bank dengan merger dan akuisisi memang menjadi jalan keluar. Penggabungan akan membuat bank memiliki modal yang lebih besar dan likuiditas yang bertambah. Modal besar akan membuat bank naik kelas dan bisa mengembangkan berbagai layanan untuk memikat pemilik dana.

Wacana konsolidasi juga bukan perkara baru. Wacana ini sudah digaungkan sejak lama. Jumlah perbankan yang terlalu banyak tetapi peran yang kurang signifikan, menjadi alasannya.

Namun tampaknya konsolidasi ini tidak bisa dibiarkan terjadi secara natural. Harus didorong agar lebih cepat lagi terjadi konsolidasi demi menyokong dan meningkatkan peran perbankan dalam menyokong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan regulator bank, dulu BI dan sekarang OJK, untuk mendorong konsolidasi secara natural nyatanya tak berjalan sesuai harapan. Jumlah bank dalam tiga tahun terakhir hanya berkurang dari 121 bank menjadi 115. 


TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular