²©²ÊÍøÕ¾

Sedih! Perang Dagang Bikin Industri Tekstil & Ritel RI Susah

Anthony Kevin, ²©²ÊÍøÕ¾
25 July 2019 15:55
Sedih! Perang Dagang Bikin Industri Tekstil & Ritel RI Susah
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Penuh derita. Itulah gambaran industri-industri nasional yang terdampak perang dagang.Ìý

Yang paling aktual adalah industri tekstil tanah air saat ini. Siapa sangka, ternyata perang dagang Amerika Serikat (AS)-China telah memberi dampak yang signifikan bagi industri tekstil di Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, anak usaha dari pemain besar industri tekstil tanah air, Grup Duniatex, harus pasrah melihat peringkat (rating) surat utang jangka panjangnya dipangkas habis 6 level oleh salah satu lembaga pemeringkat kenamaan dunia, S&P Global Ratings dan Fitch Rating.

Pekan lalu, tepatnya hari Selasa (16/7/2019), S&P Global Ratings memutuskan untuk memangkas habis peringkat utang jangka panjang PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) beserta dengan surat utang berupa senior unsecured notes yang diterbitkan perusahaan, dari BB- menjadi CCC-. DMDT berada di bawah naungan Grup Duniatex.

Dalam publikasinya, S&P menyebut bahwa DMDT berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019, walaupun di saat yang bersamaan S&P memproyeksikan bahwa perusahaan akan tetap mampu untuk membayar bunga dari senior unsecured notes senilai US$ 300 juta pada bulan yang sama.

Dalam beberapa bulan ke depan, S&P menilai bahwa penurunan likuiditas yang signifikan pada induk usaha DMDT yakni Grup Duniatex dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Pasalnya, kondisi likuiditas Grup Duniatex yang begitu ketat telah membuat anak usahanya yang lain, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang bergerak di bidang pemintalan, gagal memenuhi kewajiban utangnya mulai pekan sebelumnya.


Menurut catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat (dalam hal bea masuk) seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak bulan Mei.
Sejatinya, permintaan atas produk tekstil sedang tinggi-tingginya pada tahun ini. Melansir data dari Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), sepanjang tahun 2019 pertumbuhan penjualan pakaian secara tahunan (year-on-year/YoY) selalu lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.

Ambil contoh pada bulan Januari. Pada periode Januari 2018, survei yang dilakukan oleh BI mencatat bahwa penjualan pakaian naik sebesar 5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (Januari 2017).

Pada Januari 2019, pertumbuhannya melejit menjadi 27,9% YoY. Kemudian pada Mei 2019, penjualan pakaian tercatat melejit hingga 43,9% secara tahunan. Padahal pada Mei 2018, pertumbuhannya hanya sebesar 16,5% YoY saja.


Namun, pesatnya pertumbuhan penjualan pakaian justru tak terefleksikan dari kinerja keuangan dua emiten sektor ritel besar, yakni PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) dan PT Matahari Departemen Store Tbk (LPPF). Di saat permintaan atas produk pakaian sedang tinggi-tingginya, kedua emiten tersebut malah meringis.

Sepanjang tahun 2018, RALS dan LPPF masih mampu membukukan pertumbuhan penjualan, masing-masing sebesar 2,1% dan 2,2%. Pada kuartal I-2019, penjualan RALS dan LPPF tercatat terkontraksi masing-masing sebesar 0,4% dan 1,7% secara tahunan.

Lantaran produk yang dijual oleh kedua perusahaan banyak yang merupakan produk buatan dalam negeri, lesunya penjualan RALS dan LPPF lantas mengindikasikan bahwa produk lokal sedang kurang diminati lantaran kalah bersaing dengan produk impor.

Selama ini, Indonesia memang terkenal rajin mengimpor produk tekstil dari China. Mengutip data perdagangan internasional yang dipublikasikan oleh UN Comtrade, impor tekstil dari China tumbuh cukup pesat pada tahun 2018.

Pada tahun lalu, pertumbuhan impor produk tekstil dari China mencapai 20% atau naik sangat jauh dibanding tahun 2017 yang hanya 12%. Sementara itu, impor produk pakaian jadi dari China tumbuh hingga 54,1% pada tahun 2018.

Selama ini, produk-produk asal China diketahui seringkali menawarkan harga yang lebih kompetitif sehingga lebih diminati masyarakat.

Seiring dengan kalah saingnya produk tekstil dalam negeri yang pada akhirnya membuat emiten sektor ritel meringis, harga saham RALS dan LPPF pun ambruk. Jika dihitung dari titik tertingginya tahun ini, harga saham RALS sudah merosot 26,2% hingga penutupan perdagangan kemarin (24/7/2019), sementara harga saham LPPF anjlok 47,7%.

Ìý

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular