
Inggris 'Cerai Baik-baik' dengan UE, Pasar Siap Lompat Girang

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia - Kamis (24/12/2020) kemarin, sehari sebelum Hari Raya Natal, Inggris dan Uni Eropa (UE) akhirnya membuat sejarah dengan mencapai kesepakatan dagang pasca Brexit. Hal ini tentunya menjadi kabar bagus tidak hanya bagi Inggris dan UE, tetapi bagi seluruh negara, dilihat dari sisi ekonomi.
Brexit atau keluarnya Inggris dari UE terjadi setelah Inggris yang saat itu dipimpin Perdana Menteri (PM), David Cameron, mengadakan referendum pada Juni 2016 lalu. Hasil referendum menunjukkan 52% warga ingin Inggris keluar dari keanggotaan di UE.
Akibat hasil tersebut, Cameron akhirnya mengundurkan diri dari orang nomor 1 di pemerintahan Inggris, digantikan oleh Theresa May, yang memulai proses "perceraian" Inggris dengan UE.
Perundingan Inggris-UE berulang kali buntu, hingga akhirnya PM May juga mengundurkan diri pada Juli 2019, dan digantikan oleh Boris Johnson.
Pada 31 Januari 2020, PM Johnson akhirnya sukses membawa melakukan "perceraian" Inggris dengan UE setelah bersama-sama selama 47 tahun. Meski demikian Inggris masih mendapat masa transisi selama 1 tahun yang berakhir 31 Desember 2020. Selama masa transisi, tidak ada perubahan signifikan dari hubungan Inggris dengan Uni Eropa di segala lini, hanya statusnya saja yang resmi "bercerai".
Selama masa transisi itu juga perundingan kedua belah pihak kembali dilakukan untuk memutuskan bagaimana hubungan keduanya selepas 31 Desember 2020. Perundingan tersebut juga berulang kali buntu, dan pasar dibuat khawatir akan kemungkinan terjadinya hard Brexit. Artinya Inggris akan keluar begitu saja tanpa privilege apapun, termasuk akses ke pasar tunggal, di mana produk dari Inggris bisa bebas keluar masuk UE tanpa bea masuk.
Hard Brexit merupakan sesuatu yang ditakutkan pelaku pasar, sebab bisa membawa ekonomi Inggris merosot tajam, juga menyeret ekonomi negara-negara Eropa lainnya.
Kemerosotan ekonomi Eropa tentunya berisiko merembet ke negara-negara lainnya, alhasil kesepakatan dagang yang dicapai Inggris-UE membuat lega banyak pihak, dan tentunya berdampak positif di pasar finansial.
Kamis kemarin, Inggris dan UE mengumumkan keduanya mencapai kesepakatan "zero tariff-zero quota", artinya tidak akan ada bea impor yang tinggi, atau pembatasan jumlah produk yang dijual kedua belah pihak. Dengan demikian hard Brexit tidak akan terjadi, Inggris 'bercerai baik-baik' dengan Uni Eropa.Â
PM Johnson dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengapresiasi kesepakatan yang dicapai tersebut.
"Perdebatan dengan mitra Eropa terkadang sangat sengit, tetapi ini, saya percaya kesepakatan yang baik bagi seluruh Eropa," kata PM Johnson dalam konferensi pers.
Sementara von der Leyen mengatakan kesepakatan tersebut adil dan seimbang serta tepat dan bertanggung jawab bagi kedua belah pihak.Â
Dalam kesepakatan tersebut, kedua belah pihak tidak boleh memberikan subsidi untuk mendapat keuntungan ekspor. PM Johnson menegaskan jika hal tersebut dilakukan baik oleh UE maupun Inggris, maka keduanya berhak untuk menaikkan bea impor.
Kemudian mengenai kesepakatan penangkapan ikan, nelayan dari UE maupun Inggris masih boleh menangkap ikan di kedua perairan selama 5,5 tahun ke depan. Setelahnya setiap tahun akan diadakan perundingan masalah kuota penangkapan ikan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut masih akan diratifikasi dan di-voting oleh Parlemen Inggris pada hari Rabu pekan depan.