²©²ÊÍøÕ¾

Analisis

Mitratel Mau IPO, Intip 'Amunisi Perang' BUMN-Saratoga-Djarum

Aldo Fernando, ²©²ÊÍøÕ¾
15 April 2021 12:10
Dok: Telkom
Foto: Dok: Telkom

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Emiten-emiten sektor penyedia sarana infrastruktur telekomunikasi, atau singkatnya emiten menara, bakal kedatangan pendatang baru. "Anak baru" ini bukan kelas "kaleng-kaleng" karena di belakangnya ada raksasa telekomunikasi pelat merah, perusahaan BUMN PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).

Emiten yang dimaksud tersebut ialah PT Dayamitra Telekomunikasi atau Mitratel. Mitratel merupakan anak usaha Telkom di bidang unit penyedia infrastruktur.

Kepada ²©²ÊÍøÕ¾Â Indonesia, pihak Telkom sejak Januari lalu sudah menyatakan akan membawa Mitratel melantai di bursa atau melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) paling cepat pada tahun ini.

Kabar terbaru, Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury dalam wawancara dengan ²©²ÊÍøÕ¾ TV, Rabu lalu (14/4), juga menyatakan, tahun ini bakal ada dua anak usaha BUMN yang IPO di bursa Tanah Air. Salah satunya adalah Mitratel.

Salah satu target dana IPO yang dibidik dari dua calon emiten itu diprediksi menembus US$ 1 miliar atau setara dengan nyaris Rp 15 triliun, tepatnya Rp 14,5 triliun (kurs Rp 14.500/US$), tentu yang dimaksud besar kemungkinan Mitratel.

"Untuk 2021 akan ada dua, salah satunya adalah Mitratel kemudian adalah PGE dan penggabungan dengan geothermal lainnya dengan PLN dan Geo Dipa," kata Pahala dalam wawancara dengan ²©²ÊÍøÕ¾ TV, Rabu (14/4/2021).

PGE yang dimaksud ialah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha Pertamina yang juga mau IPO. Adapun IPO perusahaan pembangkit listrik energi terbarukan itu sebelumnya dikabarkan akan bisa menggalang dana setidaknya mencapai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,25 triliun.

Jika terealisasi, IPO Mitratel berpotensi jadi yang terbesar. Sebagai catatan, saat ini masih PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang mencatat IPO terbesar pada 2008 yakni Rp 12,24 triliun, disusul berikutnya anak usaha PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) Rp 6,29 triliun pada 2010.

Sebelumnya Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI), Pandu Sjahrir, memberikan petunjuk bahwa akan ada 2 dari 3 perusahaan digital terbesar di Indonesia bakal IPO tahun ini. Tebakan yang paling dekat adalah Gojek dan Tokopedia, yang memang gencar disebut-sebut.

Lantas, siapa saja calon pesaing yang sudah menunggu Mitratel di bursa?

Di bawah ini Tim Riset ²©²ÊÍøÕ¾ menyajikan tabel yang berisi kinerja saham empat emiten menara telekomunikasi. Catatan saja, selain keempat emiten tersebut ada sejumlah emiten menara lainnya yang tidak dibahas di dalam tulisan ini.

Keempat emiten yang dimaksud ialah PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Inti Bangun Sejahtera Tbk (IBST) dan PT Bali Towerindo Sentra (BALI).

Berdasarkan tabel di atas, dua saham pemain besar menara telekomunikasi, TBIG dan TOWR, menjadi yang paling moncer di antara dua sisanya.

TBIG 'dibeking' Grup Saratoga Investama yang dibangun oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno dan Edwin Soeryadjaya, putra dari pendiri Astra, mendiang William Soeryadjaya.

Sementara TOWR disokong oleh Grup Djarum, kelompok usaha yang dimiilki oleh dua taipan terkaya di negeri ini, Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono.

Pada penutupan perdagangan Rabu kemarin (14/4), saham TBIG melesat 5,08% ke Rp 2.480/saham. Adapun secara YTD, saham TBIG sudah melonjak 52,15%.

Sementara, saham TOWR, kemarin ditutup naik 1,33% ke Rp 1.140/saham. Sejak awal tahu, TOWR terus melesat dengan catatan kenaikan 18,75%.

Sementara, kinerja YTD saham IBST dan BALI kurang oke. IBST ambles 11,03% dan BALI jeblok 11,25%.

Bagaimana dengan kinerja keuangan keempatnya?

Mari kita bahas satu per satu secara singkat di bawah ini.

NEXT: 'Perang' BUMN, Saratoga dan Grup Djarum di Bisnis Menara

Tower Bersama Infrastructure (TBIG)

Emiten menara raksasa yang siap menunggu Mitratel adalah TBIG, bagian Grup Saratoga. Kinerja keuangan terakhir TBIG terbilang moncer. TBIG mencatatkan laba bersih Rp 747,47 miliar pada 9 bulan tahun lalu, naik 22,14% dari periode yang sama 2019 Rp 611,96 miliar.

Kenaikan laba bersih ini seiring dengan pendapatan yang naik 13,54% menjadi Rp 3,94 triliun dari Rp 3,47 triliun.

Pendapatan terbesar berasal dari Telkomsel (PT Telekomunikasi Selular), anak usaha Telkom. Pendapatan dari Telkom mencapai 39,27% menjadi Rp 1,55 triliun, naik dari sebelumnya Rp 1,51 triliun, kendati secara persentase berkurang dari sebelumnya mencapai 43,55% dari total pendapatan.

Kabar terbaru, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 30 Maret lalu menyetujui rencana TBIG mengakuisisi sebanyak 3.000 menara milik Inti Bangun Sejahtera (IBST) senilai Rp 3,975 triliun atau setara dengan US$ 280 juta melalui anak usaha Tower Bersama.

Praktis, akuisisi sebanyak 3.000 menara miliki Inti Bangun Sejahtera bakal membuat portofolio menara TBIG mencapai 19.000 sites menara telekomunikasi. Asal tahu saja, rencana akuisisi menara tersebut sudah diutarakan sejak akhir tahun lalu, tepatnya pada 23 Desember 2020.

Sarana Menara Nusantara (TOWR)

'Pemain' besar kedua datang dari Grup Djarum, TOWR. TOWR juga bersiap berekspansi. Kabar teranyar, TOWR juga berminat melakukan akuisisi dalam hal ini menara telekomunikasi milik PT Indosat Tbk (ISAT), kendati kandas.

TOWR sebelumnya sempat tertarik memborong 4.000 menara ISAT. Wakil Direktur Utama Sarana Menara Nusantara Adam Ghifari mengatakan menambah jumlah menara telekomunikasi, baik organik maupun anorganik merupakan bagian dari strategi bisnis perusahaan. Sehingga perusahaan akan mengambil peluang dan mengevaluasi kesempatan yang ada.

"Strategi bisnis TOWR memang mencakup tumbuh dengan organik atau inorganik. jadi kami selalu berusaha untuk mengevaluasi setiap kesempatan ya," kata Adam dalam pesan singkatnya kepada ²©²ÊÍøÕ¾ bulan lalu.

Sayangnya, yang menang dalam pembelian menara ISAT ialah PT EPID Menara AssetCo yang memborong 4.200 menara. Nilai penjualan ini mencapai US$ 750 juta atau setara dengan Rp 10,50 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) dan menjadi transaksi terbesar di Asia saat ini.

PID Menara AssetCo merupakan anak perusahaan dari Edge Point Singapura di Indonesia, yang dimiliki sepenuhnya oleh Digital Colony yang merupakan perusahaan asal Amerika Serikat.

Sebelum ini, TOWR, melalui anak usahanya, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), membeli 1000 dari total 3.100 menara yang dijual ISAT pada 2019. Adapun kala itu Mitratel mengambil 2.100 menara emiten yang dikendalikan oleh induk asal Qatar tersebut.

Per September 2020, laba bersih sebesar Rp 1,90 triliun, naik 19,49% secara tahunan dari Rp 1,59 triliun. Pendapatan tumbuh 19,34% YoY menjadi Rp 5,55 triliun dari sebelumnya Rp 4,65 triliun.

Tahun ini, TOWR, tengah fokus meningkatkan fiberisasi antarmenara sejak tahun lalu.

Hingga tahun lalu, pertumbuhan fiberisasi ini tumbuh sampai 40%-50%, dibanding pertumbuhan tower baru yang sebesar 10%.

Pihak TOWR mengatakan, peningkatan fiberisasi ini dilakukan lantaran tingginya tingkat permintaan dari operator telekomunikasi. Sejalan dengan itu, upaya ini juga merupakan bagian dari persiapan untuk jaringan 5G.

Tahun ini, TOWR bakal tetap berfokus untuk meningkatkan jumlah fiberisasi. Sebagai catatan, hingga September 2020 jumlah fiberisasi yang dilakukan TOWR mencapai 37.000.

Sedangkan penambahan menara telekomunikasi di tahun ini ditargetkan sebanyak 500-1.000 menara baru. Untuk target co-location tahun ini ditargetkan pertumbuhannya sebanyak 2.000-3.000.

Untuk pengembangan tahun ini, perusahaan telah mempersiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) senilai Rp 3,25 triliun. Dana capex ini seluruhnya akan bersumber dari dana internal perusahaan.

Pada November 2020, anak usahanya Protelindo juga telah menyelesaikan pembelian 1.642 menara Base Transceiver Stations (BTS) dari PT XL Axiata Tbk (EXCL). Nilai pembelian tersebut mencapai Rp 2,21 triliun.

NEXT: Ada dua lagi nih, jangan dilupakan BALI-IBST

IBST

IBST, Emiten menara telekomunikasi yang sahamnya juga dipegang Grup Sinarmas, akan mendapatkan dana segar dari penjualan 3.000 menara kepada anak usaha TBIG.

Tak tanggung-tanggung, dananya bakal mencapai Rp 3,99 triliun atau hampir Rp 4 triliun. Alasan dilakukannya penjualan 3.000 menara tersebut adalah untuk memperkuat posisi keuangan perseroan sekaligus untuk mengembangkan strategi usaha perseroan di masa yang akan datang.

Dengan penjualan ini, ada sejumlah dampak positif bagi perusahaan, di antaranya, pertama, dana perolehan dari penjualan aset menara ini menurut rencananya akan dipergunakan oleh IBST untuk pelunasan sebagian utang bank sebesar Rp 1,5 triliun.

Adapun sisanya sekitar Rp 2,7 triliun akan dipergunakan untuk mendukung pengembangan usaha.

Selain itu, dampak pelunasan sebagian utang ini, akan menurunkan jumlah total liabilitas tercatat pada tanggal laporan keuangan menjadi Rp 3,08 triliun, dan rasio utang terhadap ekuitas dari 0.69 menjadi 0.49 kali.

Dengan ini, laba bersih tahun berjalan akan meningkat dari Rp 86,26 miliar menjadi Rp 201,56 miliar.

Mengenai kinerja keuangan, pendapatan IBST per 31 Desember 2020 naik 3,15% menjadi Rp 1,12 triliun. Namun, laba bersih perusahaan anjlok 47,83% menjadi Rp 67,20 miliar pada tahun lalu, dari Rp 128,83 miliar.

BALI

Emiten keempat, BALI, menunjukkan kinerja keuangan yang moncer. Pada akhir tahun lalu, laba bersih BALI naik 83,38% menjadi Rp 84,39 miliar.

Adapun terbaru, per kuartal I 2021, laba bersih BALI meroket 310,99% menjadi Rp 36,68 miliar, dari Rp 8,92 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Angka tersebut ditopang oleh kenaikan pendapatan usaha sebesar 22,14% menjadi Rp 220,05 miliar.

Seberapa kuat Mitratel?

Mitratel saat ini memiliki menara telekomunikasi yang tersebar di berbagai wilayah dan melayani semua operator seluler di Indonesia dengan jumlah lebih dari 22.000 menara telekomunikasi.

Setelah IPO, Mitratel berpotensi menjadi perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia, dengan jumlah menara 34.025. Hasil penggabungan 18.000 menara dimiliki oleh Telkomsel dan 16.025 sisanya milik Mitratel. Adapun secara industri Mitratel merupakan perusahaan menara kedua terbesar dari sisi jumlah menara.

Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury menjelaskan, IPO Miratel sejalan dengan kebutuhan mobilitas data dan telekomunikasi yang terus meningkat. Dengan demikian IPO ini bisa dijadikan batu loncatan untuk mendapatkan dana pengembangan perusahaan.

"Untuk Mitratel misalnya dengan kebutuhan data saat ini dan kebutuhan mobilitas data dan telekomunikasi saat ini harus dikembangkan ke depannya, harus ketemu dua-duanya dan dana yang diperoleh dari IPO ini kita kembangkan untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan ke depannya," kata dia.

Dengan melihat peta kekuatan keempat emiten menara, plus Mitratel, di atas, persaingan sektor menara telekomunikasi diprediksi semakin ketat. Apalagi, tingkat permintaan dari operator telekomunikasi semakin tinggi dan perkembangan jaringan 5G semakin oke.

Mitratel, sang anak baru, disokong oleh BUMN, emiten raksasa "halo-halo" Telkom, sementara dua pemain besar menara juga punya big man di belakangnya.

TBIG ditopang oleh private equity global, termasuk Saratoga, dan TOWR disokong oleh raksasa rokok Grup Djarum, satu lagi IBST dari Sinarmas.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular