Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS memberi jalan bagi rupiah untuk menapaki jalur hijau.
Pada Kamis (3/6/2021), US$ 1 dihargai Rp 14.250 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah berakhir stagnan Rp14.275/US$ di pasar spot. Sayang sekali, karena mata uang Tanah Air nyaris sepanjang hari berada di zona hijau.
Namun hari ini, peluang rupiah untuk 'balas dendam' cukup terbuka. Satu hal yang akan melapangkan jalan rupiah adalah koreksi yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden.
Dini hari tadi waktu Indonesia imbal hasil US Treasury Bond ramai-ramai turun meski tipis saja. Untuk tenor 10 tahun, yield turun 2,1 basis poin (bps) ke 1,589% dan tenor 30 tahun turun 1 bps menjadi 2,272%.
Koreksi yield ini kemudian membuat dolar AS mundur teratur. Pada pukul 07:50 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) stagnan di 89,9. Padahal tadi malam indeks ini sempat menguat hingga kisaran 0,4%.
Halaman Selanjutnya -->Â The Fed Masih Sabar
Perdagangan di pasar keuangan Negeri Paman Sam sedang sepi karena investor menantikan rilis data ketenagakerjaan AS yang akan diumumkan akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan perekonomian AS menciptakan 650.000 lapangan kerja non-pertanian sepanjang Mei 2021. Jauh lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yaitu 266.000.
Sementara tingkat pengangguran pada Mei 2021 diperkirakan 5,9%. Turun dibandingkan April 2021 yang sebesar 6,1%.
Data ini menggambarkan perekonomian AS semakin pulih setelah terpuruk akibat hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Vaksinasi yang masif dan pembukaan 'keran' aktivitas masyarakat lambat laun membuat perekonomian bangkit.
Namun perlu dicatat bahwa pandemi menyebabkan luka yang teramat dalam sehingga butuh waktu untuk membuatnya pulih seperti sedia kala. Gara-gara pandemi, perekonomian AS kehilangan 22,36 juta lapangan kerja hanya dalam dua bulan yaitu Maret dan April 2021.
Selepas itu, penciptaan lapangan kerja memang terus bertambah. Namun sepanjang Mei 2020 hingga April 2021, lapangan kerja yang tercipta baru 14,15 juta.
Artinya, masih ada sekitar 8,21 juta orang yang belum kembali bekerja. Kondisi penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment) belum terwujud.
Padahal, maximum employment adalah salah satu syarat bagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk mulai mengetatkan kebijakan moneter. Jadi walau laju inflasi semakin cepat, tetapi kalau pasar tenaga kerjamasih 'berdarah-darah' maka The Fed tetap akan mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar.
"Kita memang melihat perbaikan terus terjadi, tetapi masih jauh dari tujuan. Lapangan kerja masih 8-10 juta di bawah kondisi sebelum pandemi. Kami akan tetap bersabar," tegas Gubernur The Fed Lael Brainard, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini membuat kekhawatiran terhadap tapering off atau pengetatan bisa mereda untuk sementara waktu. Akibatnya, minat investor terhadap aset-aset berisiko masih cukup tinggi, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia. Arus modal di pasar keuangan ini yang membuat rupiah bisa menguat.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA