
IHSG Tampil Heroik di Menit Akhir, Sabar...Belum Tembus 6.700

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya ditutup menguat, setelah berhasil lolos dari zona merah di menit-menit terakhir menjelang penutupan perdagangan, Rabu (10/11/2021).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG naik 0,20% ke posisi 6.683,146, melanjutkan kenaikan dalam 2 hari terakhir. Dengan ini, IHSG semakin mendekati level psikologis 6.700.
Di tengah penguatan indeks acuan nasional tersebut, investor asing hari ini mencetak pembelian bersih (net buy) senilai Rp 378,23 miliar di pasar reguler, tetapi melakukan jual bersih (net sell) Rp 44,01 miliar di pasar negosiasi dan pasar tunai.
Saham yang paling banyak diburu asing, antara lain saham emiten otomotif Grup Astra PT Astra International Tbk (ASII) dan bank BUMN PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dengan nilai pembelian bersih masing-masing Rp 251,2 miliar dan Rp 137,1 miliar. Di akhir perdagangan, keduanya masing-masing melesat 5,56% dan 4,00%.
Sebaliknya, saham emiten tambang Grup Astra PT United Tractors Tbk (UNTR) dan emiten Grup Salim PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) terkena aksi jual dengan nilai penjualan bersih masing-masing sebesar Rp 52,5 miliar dan Rp 35,9 miliar.
Seiring dengan aksi jual asing itu, harga kedua saham tersebut tertekan, di mana UNTR turun 2,17%, sedangkan INDF drop 1,18%.
Dari sisi besaran nilai transaksi, saham ASII BMRI juga memimpin dengan total nilai perdagangan Rp 638,2 miliar dan Rp 545,3 miliar, diikuti emiten e-commerce PT Bukalapak.com (BUKA) senilai Rp 430,5 miliar.
Saham BUKA pun ditutup melejit 6,38% ke Rp 750/saham. Kendati melesat, harga saham BUKA masih berada di bawah harga penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) sebesar Rp 850/saham.
Sentimen negatif penekan IHSG datang dari Amerika Serikat (AS) yang merilis indeks harga grosir per Oktober melesat 8,6% secara tahunan, menjadi rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir, menurut data Departemen Tenaga Kerja AS.
Kabar itu membalik rilis indeks harga produsen (producer price index/PPI) yang naik 0,6% secara bulanan, atau sesuai dengan ekspektasi ekonom dalam polling Dow Jones. Pasar pun cemas dengan adanya peluang bahwa Indeks harga konsumen (yang baru akan dirilis pada Rabu) bakal menunjukkan adanya lonjakan signifikan.
Di sisi lain, pasar juga merespons data inflasi China per Oktober 2021 yang dirilis pada hari ini, tepatnya tadi pagi.
Setelah rilis data inflasi Negeri Tirai Bambu tersebut pada hari ini, risiko stagflasi semakin besar.
Stagflasi adalah fenomena ekonomi di mana harga naik (inflasi tinggi), tetapi aktivitas bisnis mengalami stagnasi, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan berkurangnya daya beli konsumen.
Pemerintah China hari ini melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) naik 1,5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.
Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.
Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.
"Kami khawatir inflasi di sektor produsen akan berdampak pada inflasi konsumen," kata Zhiwei Zhang, kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.
"Risiko terjadinya stagflasi terus meningkat," imbuh Zhiwei.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(adf/adf) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham