²©²ÊÍøÕ¾

Ini Kabar Baik dari China, Bikin RI Bisa Happy

Feri Sandria, ²©²ÊÍøÕ¾
11 December 2021 19:15
Upacara 100 Tahun Partaoi Komunis Tiongkok
Foto: Infografis/ Jokowi Mau RI untung Dagang Sama China! Gimana caranya Pak? / Aristya Rahadian

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - China mengalihkan fokusnya kembali untuk menjaga pertumbuhan stabil karena serangkaian kebijakan untuk mengekang utang dan spekulasi telah memicu perlambatan ekonomi yang tajam, terutama di pasar properti.

"Memastikan stabilitas adalah prioritas utama bagi perekonomian tahun depan," kata para pemimpin dalam sebuah pernyataan setelah konferensi ekonomi tiga hari tertutup, yang dihadiri oleh Presiden China Xi Jinping.

Pemerintah China akan menjaga pertumbuhan pada "kisaran yang wajar" pada tahun 2022, menurut pernyataan yang dikeluarkan setelah Konferensi Kerja Ekonomi Pusat tahunan yang berakhir Jumat.

Para pemimpin China biasanya menetapkan prioritas ekonomi penting untuk tahun berikutnya di konferensi, tetapi tidak merilis perincian target seperti pertumbuhan dan inflasi hingga sesi legislatif pada bulan Maret.

Setelah memfokuskan sebagian besar kebijakannya tahun ini untuk mencoba mengendalikan utang dan perilaku spekulatif, Beijing dalam beberapa pekan terakhir mengeluarkan serangkaian tindakan, termasuk pemotongan jumlah uang tunai yang harus disimpan bank sebagai cadangan awal pekan ini dan beberapa pelonggaran kebijakan sektor properti, demi menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi.

Pergeseran kebijakan itu terjadi menjelang Olimpiade Musim Dingin Februari di Beijing serta kongres partai Maret tahun depan.

Pemotongan rasio persyaratan cadangan uang perbankan terjadi beberapa minggu setelah Bank Rakyat China mengindikasikan akan menahan diri untuk mengambil langkah tersebut

China akan terus menerapkan kebijakan moneter 'bijaksana' sambil memberlakukan kebijakan fiskal yang lebih aktif, menurut pernyataan yang diterbitkan oleh kantor berita resmi Xinhua.

Pemerintah akan memperkenalkan keringanan pajak baru dan pemotongan biaya untuk bisnis di negara itu dan menopang investasi infrastruktur tahun depan, katanya. Pemerintah akan mendukung permintaan yang wajar dari pembeli rumah dan mempercepat pembangunan perumahan yang terjangkau, sambil terus bersikeras bahwa "perumahan adalah untuk hidup, bukan spekulasi."

Meskipun rebound kuat dari pandemi pada tahun 2020, ekonomi China melemah dengan cepat selama kuartal ketiga, terpukul oleh pertumbuhan konsumsi yang lemah, wabah Covid-19 sporadis, krisis listrik nasional dan, yang terbaru, penurunan drastis di sektor properti yang diperparah oleh krisis utang pengembang seperti China Evergrande Group.

Banyak ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan turun menjadi sekitar 4,5%-5,5% pada tahun 2022, dibandingkan dengan sekitar 8% tahun ini.

Kondisi tersebut dinilai oleh para ekonom global bahwa China bakal mengalami stagflasi. Ekonomi yang melambat tetapi inflasi tinggi ini diperkirakan akan menjadi 'mimpi buruk' bagi China, karena pelaku ekonomi harus membayar mahal demi pertumbuhan ekonomi yang biasa saja.

Selain memperkuat kebijakan ekonomi baru, saat ini pemerintah China juga mampu menekan inflasi yang mulai mereda. Biro Statistik Nasional China kemarin melaporkan inflasi di sektor produsen (producer price index/PPI) di bulan November tumbuh sebesar 12,9% year-on-year (yoy). Meski masih sangat tinggi, tetapi PPI tersebut sudah melambat ketimbang bulan sebelumnya 13,5% (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir.

Sementara jika dilihat secara bulanan, PPI di November stagnan dibandingkan bulan Oktober. Selama 11 bulan di tahun ini, inflasi produsen tumbuh 7,9% dibandingkan periode Januari-November 2020.

Kemerosotan ekonomi China bisa memberikan masalah bagi Indonesia, mengingat Negeri Panda merupakan partner dagang paling penting bagi Indonesia, baik itu dari ekspor maupun impor.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor non-migas Indonesia ke China pada periode Januari-Oktober mencapai US$ 40,6 miliar, mengalami kenaikan hingga 74% dari periode yang sama tahun 2020.

Nilai tersebut berkontribusi sebesar 23% dari total ekspor Indonesia. Kontribusi tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan Amerika Serikat, yakni 11%, yang berada di urutan kedua negara tujuan ekspor RI.

Artinya, China merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia, ketika perekonomian stagnan ada risiko demand akan menurun, yang berdampak pada industri di dalam negeri.

Kemudian impor dari China lebih krusial lagi. Sejak tahun 1990, nilai impor dari China nyaris selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Penurunan tajam baru terjadi pada tahun lalu.

Berdasarkan data BPS, impor dari China berkontribusi sebesar 32% dari total impor non-migas Indonesia periode Januari-Oktober 2021, dengan nilai US$ 43,7 miliar. Total impor dalam 10 bulan tersebut sudah lebih tinggi dari total impor sepanjang 2020 sebesar US$ 39,4 miliar.

Ketika inflasi di China terus merangkak, maka harga produknya tentu akan lebih mahal yang bisa merugikan bagi industri di dalam negeri. Kenaikan harga tersebut juga bisa membuat defisit neraca dagang dengan China semakin lebar, bahkan juga berisiko memicu kenaikan inflasi di dalam negeri.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular