Kelompok bisnis dan perusahaan besar seperti Apple yang rantai pasoknya mungkin terganggu oleh aturan baru ini tidak tinggal diam, melainkan telah menekan Kongres untuk mengubah undang-undang tersebut sejak akhir tahun lalu, ketika rancangan undang-undang pertama kali diperkenalkan.
Pelobi dari perusahaan multinasional dan organisasi kamar dagang AS telah berjuang untuk mempermudah beberapa ketentuan yang diatur, dengan alasan bahwa mereka memang sangat mengutuk kerja paksa dan kekejaman yang terjadi di Xinjiang, tetapi persyaratan ambisius tindakan tersebut dapat mendatangkan malapetaka pada rantai pasokan yang tertanam kuat di China.
Versi terakhir mempertahankan standar impor yang ketat untuk perusahaan, tetapi menghapus tindakan terkait keharusan perusahaan untuk mengungkapkan keterlibatan apa pun dalam berbagai kegiatan yang dilakukan di wilayah Xinjiang. Persyaratan pelaporan itu, yang ditentang keras oleh perusahaan besar, mendapat perlawanan dari beberapa anggota parlemen di Komite Keuangan Senat.
RUU terakhir mencakup mekanisme untuk membuat daftar entitas dan produk yang menggunakan kerja paksa atau bantuan dalam migrasi pekerja yang dianiaya ke pabrik-pabrik di sekitar China. Bisnis seperti Apple telah melobi untuk pembuatan daftar tersebut, demi mengamankan kepastian lebih bagi bisnis.
Xinjiang menghasilkan sejumlah besar bahan mentah dan memasok pekerja untuk pabrik pakaian dan alas kaki China. Kelompok hak asasi manusia dan laporannya telah menghubungkan banyak perusahaan multinasional dengan pemasok di sana, termasuk keterikatan Coca-Cola dengan gula yang bersumber dari Xinjiang, dan mendokumentasikan pekerja Uighur di sebuah pabrik di Qingdao yang membuat sepatu Nike.
Merespons tuduhan tersebut, dalam sebuah pernyataan, Coca-Cola mengatakan bahwa mereka "sangat melarang segala jenis kerja paksa dalam rantai pasokan [mereka]" dan menggunakan auditor pihak ketiga untuk memantau pemasoknya dengan cermat.
Greg Rossiter, direktur komunikasi global di Nike, mengatakan perusahaan "tidak melobi" undang-undang baru tersebut, melainkan melakukan "diskusi konstruktif" dengan staf kongres yang bertujuan menghapus kerja paksa dan melindungi hak asasi manusia.
Nike juga mengatakan bahwa pabrik Qingdao telah berhenti mempekerjakan pekerja baru dari Xinjiang pada 2019, dan audit independen mengonfirmasi tidak ada lagi karyawan dari Xinjiang di fasilitas tersebut.
Ketakutan akan progres kebijakan iklim
John Kerry, utusan khusus Biden untuk perubahan iklim, dan Wendy R. Sherman, wakil menteri luar negeri, secara terpisah menyampaikan beberapa kekhawatiran bahwa larangan agresif terhadap impor China dapat membahayakan tujuan pemerintah untuk memerangi perubahan iklim, mengingat China - terutama Xinjiang - mendominasi panel surya dan komponen untuk membuatnya.
Selain itu, taruhannya utama lainnya adalah peran penting yang dimainkan Xinjiang di banyak rantai pasokan. Dengan luas wilayah dua kali dari negara bagian Texas, Xinjiang kaya akan bahan mentah untuk produsen elektronik. Menurut beberapa perkiraan, kawasan tersebut menyediakan dan , bahan utama untuk panel surya.
Kehadiran substansial Xinjiang dalam rantai pasokan surya telah menjadi sumber utama ketegangan dalam pemerintahan Biden, yang mengandalkan tenaga surya untuk membantu Amerika Serikat mencapai tujuannya mengurangi emisi karbon secara signifikan pada akhir dekade ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>>
Perang dagang antara AS dan China terjadi karena Presiden AS Donald Trump telah lama menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual. Sementara itu di Cina sendiri ada persepsi bahwa Amerika sedang berusaha mengekang kebangkitan mereka sebagai kekuatan ekonomi global.
Negosiasi hubungan kerja sama dagang tersebut masih berlanjut hingga hari ini, akan tetapi terbukti sulit untuk diselesaikan secara tuntas. Pada bulan Januari tahun 2020 lalu, kedua belah pihak memang telah menandatangani kesepakatan awal tetapi beberapa masalah paling sulit tetap belum terselesaikan.
Perang perdagangan AS-China dimulai pada Juli 2018 di bawah pemerintahan presiden AS kala itu, Donald Trump, yang akhirnya menyasar kenaikan tarif terhadap barang-barang China senilai US$ 550 miliar, dengan China juga menetapkan tarif pada US$ 185 miliar barang-barang AS.
Juli 2018, AS menempatkan bea masuk 25 persen pada US$ 34 miliar barang impor dari China, termasuk mobil, hard disk dan suku cadang pesawat. China membalas dengan mengenakan tarif 25 persen pada 545 barang asal AS senilai US$ 34 miliar dolar AS, termasuk produk pertanian, mobil, dan produk akuatik.
Selanjutnya pada Agustus 2018, Washington kembali mengenakan tarif 25 persen pada barang-barang China lainnya senilai US$ 16 miliar, termasuk produk besi dan baja, mesin listrik, produk kereta api, instrumen dan peralatan. China merespons dengan menerapkan tarif 25 persen pada barang-barang AS senilai US$ 16 miliar, termasuk sepeda motor Harley-Davidson, bourbon, dan jus jeruk.
Bulan September 2018, AS mulai mengenakan pajak 10 persen atas impor China senilai US$ 200 miliar, sementara China merespons dengan mengenakan bea masuk atas barang-barang AS senilai US$ 60 miliar.
Akhir tahun 2018, Presiden Xi Jinping dan Donald Trump menyetujui 'gencatan senjata' perang dagang selama 90 hari untuk memungkinkan pembicaraan lebih lanjut guna mengatasi kekhawatiran AS setelah China berkomitmen untuk membeli sejumlah besar ekspor Amerika.
Bulan Mei 2019, setelah negosiasi perdagangan gagal, AS menaikkan tarif barang-barang China senilai US$ 200 miliar dari 10 persen menjadi 25 persen. China merespons dengan mengumumkan akan menaikkan tarif barang-barang AS senilai US$ 60 miliar.
Departemen Perdagangan AS mengumumkan penambahan Huawei Technologies Co. ke 'daftar entitas', yang secara efektif melarang perusahaan AS menjual teknologi ke perusahaan telekomunikasi China tanpa persetujuan.
Setelah pertemuan G-20 di Jepang pada Juni 2019, Donald Trump mengatakan hasilnya "lebih baik dari yang diharapkan", dengan China mengatakan AS telah setuju untuk tidak mengenakan tarif lebih lanjut pada barang-barangnya.
Tiga bulan setelahnya, AS dengan cepat melabeli China manipulator mata uang, setelah yuan jatuh di bawah ambang batas utama 7 yuan/US$, level yang sebelumnya dipertahankan bank sentral China (PBOC). Ini adalah pertama kalinya kurs jatuh di bawah level psikologis penting sejak 2008.
Pada bulan yang sama, China mengumumkan tarif 5 dan 10% untuk barang-barang AS senilai US$ 75 miliar mulai 1 September dan 15 Desember 2019. China juga menegaskan akan memberlakukan kembali tarif pada mobil dan suku cadang AS mulai 15 Desember 2019.
Pada September 2019, China mengumumkan akan menawarkan pengecualian untuk 16 jenis impor AS dari tarif tambahan, yang mencakup produk-produk seperti pestisida, pakan ternak, pelumas, dan obat kanker. Donald Trump setuju untuk menunda tarif baru atas barang-barang China senilai US$ 250 miliar mulai 1 Oktober hingga 15 Oktober sebagai isyarat niat baik untuk menghindari kekacauan dalam peringatan 70 tahun Republik Rakyat China.
Januari 2020, AS dan China setuju untuk berdamai dengan kesepakatan perdagangan fase satu dengan ketentuan yang mencakup komitmen pembelian, akses pasar keuangan, perlindungan dan penegakan kekayaan intelektual.
Mei 2020, China mengumumkan gelombang kedua pembebasan tarif perang dagang terhadap 79 produk secara total dalam daftar, termasuk bijih mineral tanah jarang, peralatan radar pesawat, suku cadang semikonduktor, desinfektan medis, dan berbagai produk logam mulia, kimia, dan petrokimia.
September 2020, lusinan produk impor dari China diberikan perpanjangan pendek oleh AS termasuk masker wajah sekali pakai, respirator, perangkat pelacak Bluetooth, dan alat musik.
Pada bulan yang sama pemerintah AS kembali mengumumkan pembatasan baru pada impor produk, terutama kapas dan pakaian jadi, dari wilayah otonomi Xinjiang di mana populasi Uygur tinggal, dengan alasan kekhawatiran atas dugaan pelanggaran HAM yang meluas.
Pada Desember 2019, AS memblokir impor barang kapas yang diproduksi oleh pemasok terkemuka China di Xinjiang, Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC), yang bertanggung jawab atas sepertiga produksi kapas China, dituduh melakukan penggunaan kerja paksa secara luas.
Sebelum resmi dikukuhkan sebagai Presiden AS, pada Desember 2020 dalam sebuah wawancara dengan The New York Times, Presiden terpilih AS Joe Biden mengatakan "strategi terbaik" adalah membuat semua sekutu tradisional AS di Asia dan Eropa "memiliki pemahaman yang sama", dan menegaskan tidak akan melakukan "langkah segera untuk menaikkan tarif".
Bulan Juni tahun ini, wakil Perdana Menteri China Liu He dan Perwakilan Dagang AS Katherine Tai berbicara melalui telepon, dengan Beijing menekankan pentingnya mengembangkan perdagangan bilateral. Kedua belah pihak sepakat bahwa hubungan ekonomi China-AS "sangat penting", dan diskusi termasuk situasi ekonomi makro, serta kerja sama bilateral dan multilateral perlu dilalukan "dalam sikap kesetaraan dan saling menghormati".
HALAMAN SELANJUTNYA >>>>
Ketidakpastian seputar perang perdagangan dua raksasa ekonomi terbesar dunia ini telah merugikan bisnis dan membebani ekonomi global.
Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa konsumen merupakan korban utama dari parang tarif. Tarif pada produk konsumen menghantam pelanggan secara langsung, sementara tarif bahan mentah dapat menghasilkan penundaan atau lonjakan harga yang berputar di seluruh perekonomian, mengganggu rantai pasokan yang kompleks dan sensitif terhadap waktu. Perlambatan apa pun dalam rantai pasokan dapat berarti PHK bagi produsen dan pukulan bagi ekonomi yang lebih luas.
Kenaikan tarif umum dari perang dagang dapat mempengaruhi tidak hanya harga yang dibayar konsumen akhir, tetapi juga biaya bagi perusahaan yang menggunakan barang-barang tersebut sebagai input untuk produksi.
Chad P. Bown dan Melina Kolb, ekonom di Peterson Institute for International Economics, mengungkapkan bahwa AS mengenakan tarif pada 67% impor barang setengah jadi dan barang modal dari China (mewakili 62% dari total impor China yang ditargetkan), dan China juga mengenakan tarif pada 67% barang setengah jadi dan barang modal dari AS (mewakili 81% impor AS ditargetkan).
Prospek eskalasi perang dagang yang lebih lanjut berisiko secara signifikan menghambat perdagangan dan investasi, dan mungkin akan melebar ke ekonomi global.
Bagi Indonesia yang masih bergantung pada China sebagai mitra dagang utama, perang antara AS dan China ini dapat memberikan dampak yang cukup berat. Pengenaan tarif atau larangan impor produk setengah jadi China, akan memberikan dampak negatif apabila produk tersebut menggunakan bahan mentah yang diekspor dari Indonesia, karena perusahaan akan mengurangi kuota produksi. Penurunan ekspor pada akhirnya akan memperlemah neraca dagang Indonesia.
Meskipun demikian perang dagang juga dapat memberikan peluang baru bagi Indonesia untuk memenuhi kuota produk impor bagi AS dan China yang dikenai tarif oleh masing-masing negara, tentu dengan catatan Indonesia mampu memproduksi dan memanfaatkan keterbukaan ekonomi yang muncul.
Muhammad Rizal Taufikurahman dan Ahmad Heri Firdaus di International Conference on Trade 2019 (ICOT 2019) mengatakan bahwa Indonesia belum mampu memanfaatkan situasi perang dagang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi (PDB) yang diproyeksikan hanya meningkat 0,01%.
Kedua peneliti tersebut mengatakan Indonesia masih perlu berbenah, agar investasi di sektor riil tetap mengalir deras meski perang dagang China-AS belum usai. Rekomendasi tersebut menyarankan bahwa dalam jangka pendek strategi yang perlu dilakukan adalah meningkatkan daya saing ekspor, mendorong produktivitas industri yang berorientasi ekspor, memperluas dan memperkuat pasar domestik dan dunia, serta mengendalikan jumlah impor.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIAÂ