²©²ÊÍøÕ¾

Sederet Skandal Asuransi RI, dari Jiwasraya Hingga Unit Link

Monica Wareza, ²©²ÊÍøÕ¾
07 February 2022 10:55
AJB Bumiputera
Foto: Gita Rossiana

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan terdapat sejumlah masalah yang dialami oleh industri asuransi di dalam negeri. Tiga isu utamanya adalah operasional, pengelolaan investasi, serta produk dan distribusi.

Dalam bahan paparan yang disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi saat ini manajemen perusahaan masih belum optimal dan pengawasan internal dan aktuaris tidak optimal.

Selain itu manajemen perusahaan belum sepenuhnya independen dalam menempatkan investasi di perusahaan yang terafiiasi.

Masalah lainnya adalah penempatan produk yang tidak disesuaikan dengan profil risiko yang dimiliki oleh masing-masing nasabah.

Karena kurang baiknya pengelolaan ini, industri asuransi dalam negeri sempat mengalami masalah seperti yang dialami oleh empat perusahaan berikut.

1. AJB Bumiputera 1912

OJK menyebutkan nilai utang klaim perusahaan ini mencapai Rp 8,4 triliun dari sebanyak 494.178 pemegang polis. Ini merupakan berdasarkan data terbaru yang dimiliki otoritas.

Di sisi lain, dilihat dari indikator kesehatan perusahaan asuransi pada umumnya, Bumiputera jauh di bawah syarat. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan investasi yang mencapai 12%, jauh dari yang seharusnya 100%.

Sedangkan, rasio likuiditas sebesar 16% dari yang harusnya minimal 100%. Sedangkan, risk based capital (RBC) Bumiputera tercatat mencapai minus 1.164,77 persen per Desember 2021.

OJK telah memberikan perusahaan untuk mencari jalan untuk menyelesaikan kewajiban klaimnya dengan tenggat waktu pada 23 Desember 2021, namun masih belum tuntas. Perusahaan juga sudah dikenakan sanksi peringatan SP 1 kepada perusahaan terkait utang klaim tersebut dan saat ini OJK sedang dalam proses untuk peningkatan sanksi administratif.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi mengatakan izin usaha dari perusahaan ini bisa dicabut jika perusahaan tidak kunjung melakukan perbaikan.

Regulator sebetulnya telah memberikan diskresi terhadap manajemen dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perusahaan.

"Kita kasih diskresi kasih kesempatan mereka untuk bekerja dan kelihatanya kita akan lakukan pembatalan. Sehingga, kalau dibatalkan mereka tidak dapat memenuhi, tentu ujungnya sesuai dengan pengawasan yang paling konservatif, tidak dapat dilanjutkannya usaha ini," kata Riswinandi, dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI, DPR RI pekan lalu.

Dalam proses penyelesaian ini Badan Perwakilan Anggota (BPA) yang baru hingga saat ini belum terbentuk karena adanya sengketa dari perwakila masing-masing daerah.

Saat ini BPA di AJB masih kosong. Padahal peran BPA ini adalah sebagai perwakilan dari pemegang polis yang nantinya akan berperan untuk menentukan kebijakan perusahaan.

"Mereka sudah bekerja dan udah menetapkan sembilan calon BPA dari 11 daerah. Tapi dua daerah ini masih bentruran, Sumbagsel dan DKI-Banten. Belum ada kesepakatan dari dua BPA," terang dia.

Padahal BPA ini yang akan menjadi representasi dari para pemegang polis untuk menetapkan dan menentukan pokok-pokok kebijaksanaan perusahaan.

Asuransi Jiwasraya

Berdasarkan laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada periode akhir 2020, tercatat total utang perusahaan mencapai Rp 54,36 triliun. Jumlah ini meningkat dari posisi akhir 2019 yang senilai Rp 17,04 triliun.

Dari jumlah tersebut tercatat utang klaim nihil dibanding tahun 2019 yang senilai Rp 13,07 triliun. Sebelumnya dilakukan restrukturisasi utang klaim Jiwasraya dengan mengalihkan polisnya ke IFG Life.

Dari sisi aset, nilai investasi perusahaan turun drastis pada akhir tahun sebelumnya, yakni dari Rp 14,99 triliun menjadi hanya senilai Rp 2,15 triliun. Sumber investasi ini hanya berasal dari deposito berjangka senilai Rp 547,70 miliar dan tanah dan bangunan senilai Rp 1,60 triliun.

Aset dalam bentuk bukan investasi naik tajam dari Rp 3,15 triliun menjadi Rp 13,57 triliun karena kenaikan aset lain. Aset ini termasuk aset yang diklasifikasikan sebagai dikuasai untuk dijual/dilepas sebagai implementasi PSAK 58.

Sehingga total aset perusahaan saat ini mencapai Rp 15,72 triliun, hanya turun dari Rp 18,15 triliun.

Adapun hingga akhir 2020 perusahaan telah mengalami kekurangan solvabilitas mencapai Rp 48,50 triliun, naik dari akhir 2019 yang sebesar Rp 41,76 triliun.

Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan potensi kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun yang berasal dari penyidikan atas berkas selama 10 tahun, dari 2008 hingga 2018.

Perinciannya adalah kerugian dari investasi saham Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.

Untuk penyelesaian permasalahan perusahaan milik pemerintah ini, dilakukan restruturisasi polis dan mengalihkannya ke perusahaan yang lebih sehat.

Jelang akhir tahun lalu telah dilakukan pengalihan polis nasabah ke PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life).

Wakil Direktur Utama IFG sekaligus Ketua Tim PMO Restrukturisasi Hexana Tri Sasongko mengatakan pengalihan ini dilakukan atas sebanyak 99,3% polis korporasi, 99,8% polis ritel, dan 98,3% polis nasabah bancassurance.

Masalah yang dialami oleh perusahaan ini disebabkan oleh masalah solvabilitas dan likuiditas. Namun sayangnya dalam perjalanannya penyelesaian masalah ini bukannya memberikan jalan keluar yang baik bagi perusahaan, malah membuat kondisi perusahaan makin berat.

"Untuk masalah solvabilitas dan likuiditas untuk sementara dilakukan window dressing laporan keuangan dengan meluncurkan reasuransi dan revaluasi aset sejak 2008-2017. Untuk menyelesaikan pesoalan likuiditas manajemen melakukan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan berbunga tinggi yang sangat buruk untuk perusahaan di masa yang akan datang," kata Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri BUMN dalam IFG Progress Launching, Rabu (28/4/2021).

Kemudian, lanjutnya, alasan yang makin memberatkan adalah kegiatan investasi yang sembrono akibat tak adanya pedoman investasi untuk mengatur penempatan investasi perusahaan.

Akibatnya manajemen tidak bisa membatasi penempatan dana ke aset-aset yang berisiko tinggi dan tidak likuid.

"Kondisi ini berakibat pada tekanan likuditas di antaranya mayoritas aset yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan tidak likuid, sehingga produk Saving Plan harus dihentikan penjualannya karena sudah gagal bayar dan sudah bersifat ponzi scheme [skema ponzi] kemudian turunnya pendapatan investasi, dan sejak 2017 nilai klaim meningkat drastis," terangnya.

Karena upaya investasi Jiwasraya yang serampangan dan menyebabkan kerugian negara, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah pihak yang terlibat dalam mega skandal korupsi tersebut. Dua nama yang mencuat adalah Benny Tjokro dan Heru Hidayat yang keduanya diberikan hukuman berat hingga harus membayarkan denda atas kesalahannya tersebut.

Lainnya adalah manajemen perusahaan yang juga diberikan hukuman penjara dan denda. Selain pihak tersebut, terdapat juga 13 Manajer Investasi yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Kresna Life

OJK menyebutkan saat ini PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life belum menyampaikan rencana penyehatan perusahaan. Kendati demikian, perusahaan telah mendapatkan komitmen dari pemegang sahamnya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan saat ini.

Operasional perusahaan saat ini masih dibatasi oleh OJK. Beberapa waktu lalu perusahan telah mendapatkan kesepakata homologasi dari proses proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU yang dijalankannya.

"Sampai sekarang mereka belum menyelesaikan rencana penyehatannya. Tetapi pada waktu dilakukan PKPU itu tercapai homologasi, kesepakatan penyelesaian dengan pemegang polis. Ini mereka lanjutkan," kata Riswinandi dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (2/2/2022).

Saat ini Kresna Life masih berada dalam status pengawasan khusus oleh OJK dan akan jatuh tempo paling lambat pada 30 April 2022.

OJK juga masih menunggu Kresna Life untuk menyampaikan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) secara komprehensif yang dapat mengatasi permasalahannya.

Masalah yang dialami perusahaan ini disebabkan karena gagal bayar dua produk asuransinya. Kedua produk tersebut Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK).

Sebelumnya nasabah mengatakan jumlah gagal mencapai angka Rp 6,4 triliun.

OJK mengenakan sanksi kepada perusahaan ini lantaran konsentrasi penempatan investasi pada pihak terafiliasi Grup Kresna melebihi batas yang diizinkan OJK.

Untuk itu, terdapat tiga hal yang ditekankan OJK kepada perusahaan ini, yakni menurunkan konsentrasi penempatan investasi pada pihak terafiliasi Grup Kresna.

Hal ini agar perusahaan dapat memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang mengatur bahwa Perusahaan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penempatan investasi.

Kedua, menyelesaikan kewajiban terhadap seluruh pemegang polis, antara lain dengan membuat kesepakatan penyelesaian kewajiban.

Perusahaan melanggar ketentuan Pasal 40 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Ketiga, memenuhi ketentuan Rasio Pencapaian Solvabilitas minimum sebesar 100%. Perusahaan melanggar ketentuan Pasal ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang mengatur bahwa Perusahaan setiap saat wajib memenuhi Tingkat Solvabilitas paling rendah 100% dari MMBR.

Wanaartha Life

Masalah yang menjerat PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha alias Wanaartha Life ini lantaran aset-aset perusahaan disita oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena berhubungan dengan korupsi di Jiwasraya.

Riswinandi mengatakan saat ini kondisi keuangan perusahaan jauh dari kondisi yang baik sesuai dengan yang ditentukan OJK. Dari segi risk base capital (RBC) berada di angka -2.018,53% da rasio kecukupan investasi di angka 1,31%. Sedangkan dari sisi likuiditas, rasionya hanya sebesar 0,25%.

Di asuransi ini, nilai premi paling besar berasal dari produk tradisional alias proteksi dengan jumlah 30.287 polis dengan nilai akhir per September 2021 senilai Rp 11,8 triliun.

Sedangkan untuk produk yang berkaitan dengan investasi alias PAYDI Rp 48,7 miliar untuk perorangan. Sedangkan PAYDI kumpulan mencapai Rp 311,5 miliar. Sehingga total untuk produk PAYDI ini hanya Rp 360 miliar.

Adapun nilai utang klaim di perusahaan ini hingga periode terakhir mencapai Rp 4,9 triliun.

OJK pun saat ini sudah sanksi pembatasan kegiatan usaha kepada perusahaan ini. Sebab perusahaan melanggar sejumlah ketentuan di bidang perasuransian. Sanksi PKU ditetapkan melalui surat OJK nomor S-333/NB.2/2021 tanggal 27 Oktober 2021 setelah pemberian sanksi peringatan ketiga atas pelanggaran yang dilakukan terhadap Peraturan OJK tidak dapat dipenuhi oleh Manajemen PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha.

"PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha dinilai melanggar ketentuan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi berupa pemenuhan rasio pencapaian solvabilitas, rasio kecukupan investasi, dan jumlah ekuitas minimum," kata Moch Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas IKNB II.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan permohonan keberatan terkait pemblokiran rekening efek milik Wanaartha Life senilai Rp 2,4 triliun. Keputusan ini dibacakan majelis hakim dalam sidang yang digelar pada Senin, 11 Oktober 2021.

Kuasa Hukum Wanaartha Juniver Girsang mengatakan dengan adanya putusan itu Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak mengajukan kasasi, sehingga rekening efek milik 26.000 nasabah Wanaartha bisa kembali dibuka karena tidak terkait dengan kasus korupsi Jiwasraya.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular