
Jelang Listing GoTo, Lebih Menarik Mana dari Bukalapak?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Proses penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering/IPO) PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) telah rampung.
Kini GoTo dijadwalkan listing atau mencatatkan sahamnya dengan ticker GOTO di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin pekan depan (11/4/2022).
Selain pembicaraan soal penjatahan saham bagi investor ritel, pembicaraan lain yang juga jadi sorotan terutama di kalangan investor ritel adalah spekulasi terkait pergerakan saham GOTO nanti ketika listing di bursa, dan hari-hari setelahnya.
Apakah nasibnya nanti akan seperti rekan sejawatnya, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA)?
Tidak bisa dipungkiri bahwa sepertinya investor ritel masih "trauma", psikologi pasar masih "terluka" dan belum tuntas terobati dari kejadian yang menimpa saham BUKA.
Namun seperti diketahui, GoTo menerapkan skema stabilisasi harga saham, yang dikenal sebagai skema Greenshoe. PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia telah ditunjuk sebagai Agen Stabilisasi.
Melalu opsi greenshoe merupakan upaya GoTo untuk menjaga stabilnya pergerakan harga saham saat ditransaksikan di pasar sekunder atau pasca-IPO, selama 30 hari.
Seseorang yang terlibat dalam proses IPO GoTo mengatakan, skema greenshoe sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di pasar modal Indonesia. Skema greenshoe dipakai demi menjaga kepentingan investor ritel.
"Ini bukan sesuatu yang baru. Saratoga dulu itu ada greenshoe, Harum Energy juga pernah. Kita tahu investor ritel ini kan trading-nya short, nafasnya pendek. Itu harus dijaga dan ini perlu tools yang konkrit juga kan," ujarnya.
Dia juga mengatakan, GoTo memahami motivasi sebagian investor ritel yang sifatnya masih konvensional dan jangka pendek, seperti mengincar capital gain sesaat.
"Jadi agen stabilisasi bisa beli di harga berapapun, tapi ngga boleh lebih dari harga IPO. Fungsi dari greenshoe untuk jaga harga 30 hari," jelasnya.
Lalu bagaimana setelah 30 hari? Dia mengatakan, sebagai emiten, ada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan GoTo sebagai perusahaan, termasuk psikologi pasar tadi.
"Tapi yang bisa dikendalikan itu adalah kinerja perusahaan. Itu harusnya bisa terefleksi ke harga saham. Setelah 30 hari kinerja saham GoTo harusnya rely ke kinerja GoTo itu sendiri," jelasnya.
Dia mengatakan GoTo memahami kondisi psikologis investor ritel, namun dirinya yakin GoTo dan Bukalapak sama sekali berbeda. Kasus yang terjadi pada Bukalapak tidak bisa digeneralisir.
"Ini kayak misalnya, ada tetangga saya nikah terus cerai, bukan berarti kalau saya nikah juga akan cerai kan? Nikahnya sama siapa dulu? GoTo dan Bukalapak adalah dua objek yang berbeda. Skalanya beda, karakteristik, keunggulan dan kompetitifnya beda," ujarnya.
Menurutnya, karakteristik GoTo sebagai ekosistem digital yang menggabungkan tiga platform yakni layanan-on-demand, e-commerce, dan financial technology, sulit ditandingi.
"Coba cari pemain yang punya platform ekosistem seperti GoTo (gabungan 3 lini bisnis) di Indonesia? Jawabannya pasti ngga ada, di Asia Tenggara juga ngga ada," jelasnya.
