²©²ÊÍøÕ¾

The Fed Mencla-mencle, RI Gonjang-ganjing!

Putu Agus Pransuamitra, ²©²ÊÍøÕ¾
20 June 2022 09:59
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed)
Foto: Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell (REUTERS/Al Drago)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) bertindak lebih agresif lagi untuk meredam 'tsunami' inflasi yang melanda Negeri Paman Sam.

Pasar finansial global, termasuk Indonesia, akhirnya mengalami gonjang-ganjing, tetapi bukan karena suku bunga dinaikkan semakin tinggi, tetapi karena The Fed dianggap mencla-mencle.

Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/6/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%.

Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, dan masih belum akan berakhir. Berdasarkan Fed Dot Plot yang dirilis setiap akhir kuartal, mayoritas anggota pembuat kebijakan moneter (The Fed) melihat suku bunga di akhir tahun berada di 3,4% atau di rentang 3,25-3,5%. Tingkat suku bunga tersebut lebih tinggi 1,5% ketimbang Fed Dot Plot edisi Maret.

"Jelas kenaikan 75 basis poin hari ini merupakan salah satu yang terbesar dan tidak biasa, saya tidak melihat langkah seperti ini adalah sesuatu yang biasa," kata ketua The Fed, Jerome Powell sebagaimana dilansir ²©²ÊÍøÕ¾ International Kamis (16/6/2022).

Kenaikan suku bunga tersebut awalnya direspons positif pasar finansial global. Semakin tinggi suku bunga memang membuat risiko resesi Amerika Serikat akan semakin meningkat. Namun, resesi yang sesaat masih lebih bagus ketimbang jika inflasi tinggi mendarah daging yang bisa menggerogoti perekonomian dalam jangka waktu yang lama.

Akan tetapi, pasar kemudian kembali mencerna berbagai pernyataan The Fed dan kebijakan normalisasi yang diambil kerap tidak konsisten. Ada kekhawatiran jika The Fed salah mengambil kebijakan.

Powell sebelumnya menyatakan tidak melihat tanda-tanda pelambatan ekonomi yang luas. Namun, data berkata lain.

Dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis. Kemudian sektor manufaktur di wilayah Philadelphia kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.

Dengan inflasi consumer price index (PCE) yang mencapai 8,6% (year-on-year/yoy), level tertinggi 41 tahun, tingkat keyakinan konsumen menjadi merosot, dan penjualan ritel turun 0,3% pada Mei dari bulan sebelumnya. Inflasi produsen (producer price index/PPI) juga tumbuh 10,8% (yoy), menjadi indikasi CPI masih akan tinggi ke depannya.

Ketika tingkat keyakinan konsumen merosot, maka belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian juga akan menurun. Hal ini berdampak buruk pada perekonomian Amerika Serikat.

"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum terjadi resesi adalah kebijakan yang salah, bahwa The Fed merusak sesuatu. Pasar mempertanyakan pernyataan perekonomian yang dikatakan kuat," kata Quincy Krosby, kepala ahli strategi ekuitas di LPL Financial, sebagaimana diwartakan ²©²ÊÍøÕ¾ International.

Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan, tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun.

Kemudian ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi inflasi.

"Pernyataan Powell membingungkan, kurang percaya diri, dan menaikkan risiko makroekonomi dan stabilitas finansial," tulis Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan ke nasabahnya yang dikutip ²©²ÊÍøÕ¾.

Ketika memulai normalisasi kebijakan pada akhir tahun lalu, Saat mulai melakukan tapering, Powell juga menyatakan akan bersabar untuk menaikkan suku bunga. Tetapi nyatanya, sikap tersebut berubah dalam tempo sebulan, tapering diakselerasi dan suku bunga dinyatakan akan naik mulai Maret.

Kemudian, suku bunga disebut akan naik secara bertahap tetapi berubah lagi menjadi lebih agresif dengan menaikkan 50 basis poin di bulan lalu.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Finansial RI Gonjang-ganjing

Bursa saham AS (Wall Street) menguat pasca pengumuman kenaikan suku bunga The Fed. Namun, sehari setelahnya kembali jeblok.

Dalam sepekan indeks S&P 500 akhirnya jeblok hingga 5,8%. Kinerja tersebut menjadi yang terburuk sejak 2020. Indeks Dow Jones dan Nasdaq masing-masing merosot 4,8% sepanjang pekan lalu.

Buruknya kinerja Wall Street terlihat dari penurunannya dalam 10 dari 11 pekan terakhir, dan sudah memasuki bear market. Ketika kiblat bursa saham dunia merosot, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terimbas sentimen negatif.

Pergerakan IHSG dalam beberapa bulan terakhir sebenarnya mampu 'melawan gravitasi'. Ketika Wall Street mulai menurun, IHSG terus menanjak bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Sebabnya, perekonomian dalam negeri yang kuat dan diuntungkan tingginya harga komoditas.

Namun, kali ini IHSG ikut terseret Wall Street. Sepanjang pekan lalu, IHSG turun lebih dari 2%, melanjutkan penurunan 1,3% minggu sebelumnya. Dalam sepekan, investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,35 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.

Pasar obligasi dalam negeri juga ikut tertekan. Maklum saja, kenaikan suku bunga The Fed membuat imbal hasil (yield) Treasury ikut menanjak. Alhasil, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 24,6 basis poin menjadi 7,466%.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga sedang turun. Saat harga turun, artinya ada aksi jual yang melanda pasar obligasi.

IHSG dan SBN yang mengalami aksi jual menjadi membuat nilai tukar rupiah juga terpukul. Dalam sepekan rupiah merosot 1,86% melawan dolar AS ke Rp 14.821/US$, dan berada di level terlemah sejak Oktober 2020.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Banyak Bank Sentral "Mencla-mencle", BI Segera Kerek Suku Bunga?

Tidak hanya The Fed, beberapa bank sentral utama juga mencla-mencle. Hal ini menunjukkan perekonomian global dipenuhi ketidakpastian terutama akibat 'tsunami' inflasi.

Bank sentral Inggris bahkan disebut Unreliable Boyfriend. Kemudian bank sentral Australia di awal tahun ini menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga, tetapi nyatanya sudah sampai saat ini sudah 2 kali menaikkan suku bunga, bahkan lebih tinggi dari ekspektasi pasar.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sampai saat ini masih enggan untuk menaikkan suku bunga. BI memilih mengetatkan likuiditas di perekonomian dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM).

Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan tidak perlu merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan ikut menaikkan suku bunga.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Dengan suku bunga ditahan di rekor terendah 3,5%, diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama inflasi masih terjaga, BI sepertinya masih akan terus mempertahankan suku bunganya. Apalagi, nilai tukar rupiah meski pada pekan lalu terpuruk, tetapi pelemahannya sepanjang tahun ini masih lebih baik ketimbang mata uang utama Asia lainnya.

Nilai tukar rupiah yang terjaga membuat inflasi lebih terkendali. Pun, jika dilihat tekanan rupiah saat ini tidak sebesar ketika masa awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang membuat rupiah menembus level Rp 16.000/US$.

Selain itu, BI juga punya cadangan devisa yang besar untuk melakukan intervensi dan menjaga nilai tukar rupiah.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan BI tidak akan terburu-buru dalam menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5% karena inflasi masih terkendali. Kenaikan harga komoditas juga akan mendongkrak surplus neraca perdagangan sehingga menopang stabilitas rupiah.

"Kami memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan pada semester I tahun ini. Kenaikan suku bunga acuan akan sangat tergantung pada kondisi inflasi pada semester kedua mendatang," tutur Faisal, dalam Macro Brief tanggal 16 Juni 2022.

Bank Mandiri memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan maksimal 75% pada tahun ini sehingga BI-7DRR akan ada di 4,25% pada akhir tahun.

Senada, ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana juga memperkirakan BI tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Menurutnya, suku bunga acuan BI kemungkinan akan naik paling cepat pada kuartal III tahun. Pasalnya, pada kuartal III kemungkinan surplus neraca perdagangan mengecil sementara inflasi inti naik sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular