
Emiten Ramai-ramai Akuisisi Jumbo Triliunan Rupiah, Ada Apa?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Iklim ekonomi moneter global memang dalam kondisi kurang optimal dengan bank sentral utama dunia kompak menaikkan tingkat suku bunga. Akan tetapi, prospek pengetatan ekonomi tersebut tampaknya tidak menjadi penghambat sejumlah emiten Tanah Air untuk melakukan akuisisi jumbo tahun ini.
Sepanjang tahun 2022, sejumlah perusahaan telah mengumumkan minat dan perjanjian pembelian. Sebagian telah merampungkan akuisisi dan beberapa masih dirumorkan dalam tahap penjajakan dalam menemukan pembeli yang tepat.
Terbaru, dua emiten kemarin mengumumkan rencana akuisisi jumbo yakni Astrindo Nusantara Infrastruktur (BIPI) dan Dayamitra Telekomunikasi (MTEL). BIPI yang merupakan emiten investasi berfokus pada infrastruktur energi terintegrasi, mengakuisisi PTT Mining Ltd Hongkong (PTTML) senilai US$ 471 juta atau setara Rp 7,06 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$).
Sementara itu MTEL yang merupakan anak usaha Grup Telkom kembali melakukan penambahan pengalihan kepemilikan menara telekomunikasi sebanyak 6.000 menara dari Telkomsel. Akuisisi ini merupakan upaya Grup Telkom untuk memberikan garis demarkasi jelas akan bisnis anak usaha sembari membuat Mitratel semakin kompetitif dan meningkatkan value creation bagi stakeholder.
Sebagian besar akuisisi yang dilakukan didanai dari pinjaman baik itu dari sindikasi bank ataupun lewat penerbitan obligasi. XL Axiata (EXCL) diketahui memperoleh pinjaman dari MUFG senilai Rp 2,6 triliun untuk akuisisi LINK.
Sedangkan emiten Grup Sinar Mas, yakni Dian Swastatika Sentosa (DSSA), menerima fasilitas pinjaman berjangka dari Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Woori Saudara Indonesia 1906 (SDRA) dengan nilai pokok US$ 150 juta untuk memperlancar proses akuisisi.
Ramainya akuisisi jumbo hingga pertengahan tahun ini salah satunya dimotori oleh kinerja fantastis sejumlah emiten sepanjang selama pandemi sehingga pertumbuhan anorganik melalui akuisisi menjadi salah satu opsi. Selain itu akuisisi tahun ini juga didorong oleh keinginan emiten untuk melakukan ekspansi bisnis atau mempertahankan relevansi di antara para kompetitor.
Akuisisi juga ramai dilakukan di sektor pertambangan dan migas, didorong oleh harga komoditas yang reli panjang dua tahun terakhir.
Meski suku bunga sejumlah ekonomi utama dunia telah merangkak naik, akan tetapi dari dalam negeri kondisi moneter masih longgar. Suku bunga acuan BI saat ini masih dipertahankan pada level terendah sepanjang sejarah dan telah berlangsung 18 bulan.
Rencana kenaikan suku bunga BI tampaknya juga menjadi salah satu alasan percepatan akuisisi yang dilakukan sejumlah perusahaan. Hal ini karena kedepannya ketika suku bunga BI naik yang tinggal tunggu waktu saja, pinjaman akan lebih sulit didapatkan dan menjadi kurang menarik karena perusahaan dibebankan oleh suku bunga tinggi.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi nasional yang masih berlanjut dan tidak kehilangan momentum ikut meyakinkan perusahaan bahwa bisnis akan tetap lancar dan akuisisi dapat membuahkan hasil.
Ramainya pasar akuisisi di Tanah Air berbanding terbalik dengan kondisi di ranah global. Aktivitas laporan terbaru PricewaterhouseCoopers (PwC) menyebut merger dan akuisisi (M&A) global pada Semester I-2022 melambat dari posisi puncak tahun lalu dan kembali ke tingkat pra-pandemi.
Meski demikian kantor akuntan publik big four tersebut menyebutkan ada peluang pertumbuhan baru yang bisa diperoleh, yakni terkait valuasi yang lebih rendah untuk mencapai imbal hasil yang sehat.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(fsd/fsd) Next Article Isu Grup Salim Masuk, BRMS: Emirates Pernah di CMNP
