²©²ÊÍøÕ¾

"Hantu" Stagflasi 1970an Muncul, Lebih Ngeri Dari Resesi?

Aulia Mutiara Hatia Putri, ²©²ÊÍøÕ¾
03 October 2022 12:15
PERTEMUAN MENTERI KEUANGAN G20
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Memburuknya perekonomian global akhir-akhir ini membuat pasar keuangan tertekan. Ini dipicu oleh risiko stagflasi seiring dengan inflasi dan suku bunga yang kian meninggi. Dengan kondisi ini, akan kah stagflasi tahun 1970 akan terulang kembali?

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Keduanya memiliki efek buruk begitu pula stagflasi, sebuah kondisi pahit untuk setiap negara-negara di dunia. Dalam kondisi ini inflasi yang tinggi terjadi bersamaan dengan pasar kerja yang lemah, suku bunga yang meninggi sehingga menyebabkan stagnasi ekonomi.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) akan melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk. Ketika kondisi ekonomi tertekan maka akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif sehingga tingkat pengangguran akan meninggi. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.

Seperti apa kondisi stagflasi tahun 1970-an?

Stagflasi ekonomi pernah terjadi pada tahun 1970-an. Saat itu, kalangan ekonom menganggap fenomena stagflasi sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Ekonom masih mengamini teori Kurva Phillips yang dicetuskan oleh A.W.H. "Bill" Phillip pada tahun 1914-1975 yang merupakan ekonom asal Selandia Baru.

Teori Phillips mengklaim bahwa inflasi dan tingkat pengangguran itu bergerak berlawanan arah, tak bisa sama-sama memburuk. Seperti halnya, ketika ekonomi lemah dan banyak pengangguran, bisnis akan kesulitan meningkatkan harga-harga karena konsumen tak akan mampu memberinya. Demikian, angka inflasi akan tetap rendah.

Di sisi lain, jika ekonomi bergairah untuk mengakomodasi kenaikan harga-harga, maka tingkat pengangguran yang berpindah ke daya beli konsumen harusnya tetap rendah. Begitu dalam teorinya.

Namun apalah daya, kondisi perekonomian saat itu berbeda dengan teorinya. Ekonomi kacau balau dengan disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Saat itu, Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur pada 1973.

Akibatnya, ini memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS sendiri, pasca kondisi tersebut tahun 1974-1982 inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%. Ini kemudian merembetÌýke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.

Pasalnya, banyak bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga hingga menyebabkan resesi.

Kondisi inilah yang dinilai mirip dengan kejadian tahun 1970-an tersebut. Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 FebruariÌý2022 telah menyebabkan 'gonjang-ganjing' perekonomian global. Perang yang kian memanas pada akhirnya memunculkan gangguan pasokan dari kedua negara tersebut.

Ditambah lagi adanya sanksi yang diberikan Eropa terhadap Rusia akibat dari invasinya. Embargo minyak Rusia tersebut merupakan bagian dari paket sanksi keenam Uni Eropa terhadap Rusia sejak menyerang Ukraina. Pembicaraan untuk memberlakukan embargo minyak telah berlangsung sejak Mei lalu.

Rusia adalah negara nomor empat eksportir terbesar minyak mentah di dunia dengan pangsa pasar 11,4% terhadap total pasokan minyak dengan rata-rata ekspor 8 juta barel per hari (bph) selama sepuluh tahun terakhir, mengutip data BP Statistic.

Paling banyak ekspor minyak Rusia adalah ke Eropa. Besarannya adalah 138,2 juta ton pada tahun 2020. Jumlah ini setara 29% total impor minyak Eropa yaitu 475,9 juta ton setahun.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dengan Kondisi Saat Ini, Risiko Stagflasi 1970 terulang?

Tak bisa dipungkiri pasca perang tersebut, harga minyak mentah global melonjak ke level tertingginya. Belum lagi harga-harga bahan pangan juga ikut melonjak akibatnya, inflasi negara-negara di dunia pun kian meninggi. Perang Rusa-Ukraina menambah beban perekonomian global untuk dapat pulih setelah terpukul oleh pandemi Covid-19.

Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Di zona euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.

Memburuknya kondisi ekonomi tak bisa dibohongi, sebab kondisi bisnis banyak yang tengah berjuang mengalami tekanan. Bursa Saham AS terus ditutup berguguran di tengah kekhawatiran bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunganya demi melawan inflasi yang meninggi.

Tahun 2022 menjadi tahun yang sulit bagi pelaku ekonomi maupun para pemodal. Investor dituntut untuk berpikir ekstra keras untuk menempatkan asetnya di tengah kenaikan inflasi dan suku bunga acuan yang agresif.

Tekanan bertambah karena pelaku pasar khawatir tentang kekalahan di mata uang global dan pasar utang.

Pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (30/9/2022), indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) berakhir tergelincir 500 poin atau 1,71%. Sedangkan, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite melemah tajam masing-masing 1,51%.

Di sepanjang September 2022, indeks Dow Jones ambles 8,8%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq jatuh yang masing-masing sebesar 9,3% dan 10,5%. Dari 11 sektor pada indeks S&P 500, hanya indeks sektor real estate yang berhasil di zona hijau, sementara sektor teknologi terkoreksi tajam.

"Ini adalah lingkungan yang sulit untuk ekuitas dan fixed income, sesuatu yang kami harapkan mengingat pandangan kami tentang Fed mempertahankan suku bunga lebih tinggi lebih lama dan pasar mulai melihat pandangan itu," tutur Manajemen Portfolio Horizon Investments Zachary Hill dikutip ²©²ÊÍøÕ¾ International.

Kinerja pasar saham AS akhir-akhir ini terseret oleh saham emiten kelas berat pada sektor teknologi. Di mana, Apple Inc dan Nvidia Corp yang merosot lebih dari 4%. Alhasil, indeks Nasdaq pun merosot mendekati level terendah di tahun 2022, yang ditetapkan pada pertengahan Juni lalu.

"Dalam waktu dekat, kami kemungkinan akan melanjutkan volatilitas pasar dengan bias ke bawah saat kami menuju musim rilis kinerja keuangan," tambahnya.

Wakil Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Lael Brainard pada Jumat (30/9) menggaris bawahi perlunya menurunkan inflasi dan mengatakan bahwa The Fed berkomitmen untuk menghindari penurunan suku bunga acuannya sebelum waktunya.

Saham Nike turun tajam setelah melaporkan penjualannya meningkat, tapi rantai pasokan dan masalah inventaris menghambat laba. Sahamnya berakhir ambles 12,8%.

Pada kuartal III-2022, indeks S&P 500 dan Nasdaq anjlok yang masing-masing sebesar 5,3% dan 4,1%, sedangkan indeks Dow Jones jatuh 6,7% dan mengalami penurunan pada kuartal ketiga beruntun dan menjadi pertama kalinya sejak 2015.

Jika melihat kinerja setahun terakhir, indeks S&P 500 telah anjlok 24,77% sementara indeks Dow Jones ambles 20,95%m dan Nasdaq telah terjun lebih dalam mencapai 32,77%.

Ini tak lepas dari kondisi ekonomi saat ini. Ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6% secara tahunan pada kuartal II/2022. Ini tak berubah dari pembacaan awal pada akhir Juli lalu. Data tersebut mengonfirmasi bahwa AS telah memasuki resesi secara teknis. Pasalnya Paman Sam juga kontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kondisi Pasar Tenaga Kerja dan Indeks Dolar AS

Di sisi lain, Pasar tenaga kerja AS saat ini masih terlihat kuat, data terbaru menunjukkan jumlah orang AS yang mengajukan klaim baru untuk tunjangan pengangguran turun ke level terendah dalam lima bulan di pekan lalu. Ini menunjukkan, pasar tenaga kerja tetap tangguh meskipun The Fed menaikkan suku bunga secara agresif.

Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat. Beruntungnya kondisi tenaga kerja di beberapa negara kini masih aman.

Sementara itu, investor patut memonitor pergerakan sejumlah mata uang utama, khususnyaÌýdolar AS yang kian perkasaÌýdan dapat menjadi hambatan bagi ekonomi dunia.

Indeks dolar AS yang mengukur kinerja siÌýgreenbackÌýterhadap enam mata uang dunia lainnya kembali menyentuh rekor tertinggi selama dua dekadepekan lalu.

Bahkan analis mata uang ternama memprediksikan dolar AS akan terus perkasa hingga waktu yang lama. Penguatan siÌýgreenbackÌýnyatanya juga turut menekan pergerakan laju mayoritas mata uang lainnya.

"Kekuatan dolar benar-benar melampaui banyak ekspektasi para analis untuk tahun ini, dan kemungkinan akan tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama," kata Analis Senior Mata Uang Commonwealth Bank of Australia Carol Kong dikutipÌýReuters.

Kekhawatiran resesi dan stagflasi membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi primadona. Isucash is the kingpun kembali muncul.

IstilahÌýcash is the kingÌýmerujuk pada fenomena di mana para pelaku pasar lebih memilih memegangcash.Tetapi bukan sembarangancash, hanya dolar Amerika Serikat (AS).

Kondisi inilah yang menyebabkan banyak ekonom memperkirakan ada kemungkinan risiko stagflasi ini akan terjadi kembali di tahun 2022 atau 2023 mendatang.

Bank Dunia juga sama, telah memperingkatkan adanya risiko ini. Stagflasi meningkat seiring dengan prospek perekonomian global di tengah tekanan inflasi yang terus meninggi.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular