
IHSG Berbalik Dari Merah ke Hijau, Ini Penyebabnya

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan sesi II perdagangan Kamis (15/6/23) berbalik arah dan menguat 0,21% berakhir di level 6.713,79.
Transaksi hari ini melibatkan sekitar 19 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,34 juta kali. Selain itu, nilai perdagangan tercatat mencapai Rp. 8,5 triliun lebih.
Hingga sore ini terdapat 281 saham yang melemah, 241 saham menguat sementara 217 lainnya stagnan. Penurunan IHSG hari ini sekaligus memutus pelemahan perdagangan dua hari sebelumnya. Dengan demikian, dalam lima hari perdagangan, IHSG masih terapresiasi 0,71%. Namun, secara year to date (ytd) indeks membukukan koreksi sebesar 2%.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) via Refinitiv, sebagian besar sektor menguat dengan sektor Energi menjadi yang paling menguntungkan indeks naik 1%. Adapun lima saham dengan kapitalisasi raksasa yang menjadi leader IHSG berdasarkan bobot indeks poinnya adalah sebagai berikut:
1. PT Bank Mandiri Tbk (7)
2. PT Bayan Resources Tbk (2,9)
3. PT Telkom Indonesia Tbk (2,4)
4. PT Bank Negara Indonesia Tbk (2,4)
5. PT Adaro Energy Indonesia Tbk (1,7)
IHSG terapresiasi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di 5,0-5,25%.
Akan tetapi harapan pasar untuk melihat peluang pemangkasan suku bunga The Fed dalam waktu dekat harus ditunda, karena siklus suku bunga tinggi diproyeksikan akan berlanjut. Bahkan, The Fed mengisyaratkan kemungkinan menaikkan suku bunga sebanyak dua kali lagi tahun ini.
Keputusan tersebut tidak hanya mengecewakan pasar, tetapi juga dapat berdampak pada berbagai aspek. Siklus kenaikan suku bunga yang belum berakhir menciptakan tingkat ketidakpastian yang tinggi di pasar global.
Pelaku pasar keuangan di seluruh dunia harus menghadapi volatilitas setiap kali data ekonomi AS dirilis, serta menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC).
Sikap The Fed yang berpotensi masih hawkish juga dapat mempengaruhi keputusan bank sentral lainnya, termasuk Bank Indonesia (BI), untuk tetap mengadopsi kebijakan hawkish.
Meskipun inflasi domestik melandai, tetapi perkembangan terbaru menunjukkan bahwa BI kemungkinan sulit memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Hal ini dapat mengakibatkan suku bunga pinjaman bank sulit turun, meningkatkan ongkos pinjaman, dan menyulitkan perusahaan dalam melakukan ekspansi.
Permintaan kredit investasi, modal kerja, dan kredit konsumsi di Indonesia juga berpotensi terhambat akibat tingginya suku bunga di masa depan.
Keputusan The Fed yang tetap hawkish juga berpotensi membawa perekonomian AS menuju resesi. Sebagai motor utama perekonomian global, perlambatan ekonomi di AS akan memiliki dampak besar terhadap permintaan global, termasuk perekonomian Indonesia.
AS merupakan pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, serta salah satu investor asing terbesar di negara ini.
²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA RESEARCH
(ayh/ayh) Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat