²©²ÊÍøÕ¾

Ngeri! Malapetaka Buat Bumi 'Menangis', Ini Deretan Korbannya

Muhammad Reza Ilham Taufani, ²©²ÊÍøÕ¾
12 August 2023 18:45
Ilustrasi El Nino (AP/Muhammed Muheisen)
Foto: (AP/Muhammed Muheisen)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Dunia sedang dihadapkan "malapetaka" perubahan iklim yang menyebabkan volatilitas cuaca ekstrem. Bahan bakar fosil yang memberikan emisi karbon berlebih mengakibatkan berbagai negara, seperti China, Korea Selatan, Tunisia, Terusan Panama, Amerika Serikat (AS), Spanyol, Jerman, hingga Indonesia harus terkena imbasnya.

Dalam bukunya The Theory of Religion, filsuf Prancis Georges Bataille meneliti perbedaan antara hewan dan manusia untuk memahami hubungan manusia dengan lingkungannya.

Bataille menyatakan bahwa hewan adalah "[...] seperti air di dalam air," artinya mereka tidak melihat diri mereka berbeda dari dunia tempat mereka berada. Mangsa sama dengan pemangsa, pemakan sama dengan yang dimakan, dikutip dari 14EAST. 

Manusia, di sisi lain, menganggap diri mereka sebagai subjek di dunia yang penuh dengan objek. Kami memiliki keinginan yang hanya dapat dipenuhi dengan memperoleh benda-benda ini dan menggunakannya untuk konsumsi kami sendiri.

Kami adalah kebalikan dari "air dalam air." Sebaliknya, kita seperti air dalam minyak. Individualitas dan egoisme manusia secara paksa memisahkan kita dari bagian dunia lainnya. Manusia memiliki pola pikir bahwa segala sesuatu yang kita lihat adalah objek yang dapat kita sesuaikan dengan keinginan kita, bumi adalah karunia alat yang siap untuk kita gunakan.

Bumi terus diekstraksi habis-habisan, pohon ditebang untuk industri, polusi diabaikan, hingga tiba di pelanggan limbah pun sebagian berserakan dan dibakar. 

Alhasil, suhu lautan dunia mencetak rekor suhu baru pada beberapa pekan lalu, meningkatkan kekhawatiran tentang efek tidak langsung pada iklim planet, kehidupan laut, dan komunitas pesisir.

Menurut data observatorium iklim Uni Eropa, suhu permukaan lautan naik menjadi 20,96 derajat Celsius (69,7 derajat Fahrenheit), pada 30 Juli.

Juru bicara Layanan Perubahan Iklim Copernicus UE mengatakan kepada AFP, Jumat (4/8/2023), rekor sebelumnya adalah 20,95 Celcius pada Maret 2016. Adapun, sampel yang diuji mengecualikan daerah kutub.

Kalangan ilmuwan, berpendapat, lautan telah menyerap 90% kelebihan panas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sejak awal era industri. Kelebihan panas ini terus terakumulasi sebagai gas rumah kaca, terutama dari pembakaran minyak, gas, dan batu bara, dan menumpuk di atmosfer bumi.

Lautan yang lebih hangat juga kurang mampu menyerap karbon dioksida (CO2), memperkuat lingkaran setan pemanasan global. Selain itu suhu yang lebih tinggi kemungkinan akan datang, karena fenomena El Nino, yang cenderung menghangatkan air.

Para ilmuwan memperkirakan dampak terburuk El Nino saat ini akan dirasakan pada akhir 2023 dan berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.Tidak hanya di lautan, pemanasan global pun terasa hingga berbagai daratan dengan kekacauan yang terjadi di berbagai negara.

1. China

Fenomena bencana akibat perubahan iklim melanda China. Baru-baru ini Negeri Tirai Bambu dilanda badai dan hujan lebat yang memecahkan rekor baru, membawa beberapa kota dalam situasi banjir dan kerusakan hebat, dengan korban jiwa setidaknya mencapai 78 orang.

Dalam laporan AFP, Jumat (11/8/2023), kematian akibat banjir di provinsi Hebei naik menjadi 29 setelah Badai Doksuri menyebabkan curah hujan paling parah sejak pencatatan dimulai 140 tahun lalu. Para ilmuwan mengatakan peristiwa cuaca ekstrem seperti itu diperburuk oleh perubahan iklim.

Sebelumnya, China dihadapkan gelombang panas yang berdampak ke China yakni meningkatnya penggunaan listrik. Sebaliknya, produksi listrik dari sumber energi terbarukan yakni pembangkit listrik tenaga air akan berkurang mengingat pasokan air juga surut karena gelombang panas.

Beralihnya ke pembangkit listrik tenaga batu bara malah bisa mengakibatkan gas karbon semakin parah, suhu dunia semakin panas, dan perubahan iklim semakin parah.

Otoritas China pada Senin (17/7/2023) menyebut adanya cuaca 'neraka', di mana suhu telah mencapai rekor 52,2 derajat Celcius (126 derajat Fahrenheit) di barat laut negara itu selama akhir pekan.

2. Korea Selatan

Kantor berita Korsel Yonhap melaporkan sebanyak 12 orang tewas akibat gelombang panas di Negeri Ginseng. Lima dari korban yang meninggal merupakan petani yang rata-rata berusia di atas 70 hingga 90 tahun.

Diketahui sebagian besar wilayah Korsel tengah berada di bawah peringatan gelombang panas, di mana rata-rata suhu telah melewati 35 derajat Celcius, sejak Selasa. Selama seminggu sebelumnya, tiga orang diyakini telah meninggal karena suhu panas.

3. Tunisia

Cuaca ekstrem juga mencapai Afrika Utara. Salah satu negara yang terdampak parah adalah Tunisia. Bahkan sebelum perubahan iklim dan pola cuaca yang berubah meningkatkan suhu di Tunisia. Kurangnya curah hujan selama empat tahun telah memakan korban.

Gambar satelit dari cadangan air Tunisia yang diambil sebelum serangan panas ekstrem saat ini melukiskan gambaran yang gamblang. Tingkat penampungan air yang kosong di negara itu bahkan mencapai 31%.

Hal ini kemudian mengakibatkan Tunisia Utara, yang pernah menjadi lumbung roti dunia Romawi, masuk dalam bencana untuk komoditas pangan biji-bijian seperti gandum dan barley. Di sebagian besar perbukitan yang membentuk petak lanskap utara Tunisia, seluruh bentangan tanah terbengkalai, tanahnya terlalu kering untuk menopang tunas yang ditanam awal tahun ini.

4. Terusan Panama

Panama memutuskan untuk membatasi kapal yang melintasi Terusan Panama, yang menjadi urat nadi perdagangan antara Samudera Pasifik dan Atlantik. Otoritas Terusan Panama (ACP) telah menerapkan serangkaian draf pembatasan untuk jalur air, membatasi jumlah kapal kargo yang dapat diangkut.

Badan resmi itu menambahkan, El Niño tahun ini telah mengakibatkan kondisi yang lebih kering dari biasanya di Panama, mengintensifkan kekeringan dan menurunkan permukaan air di Danau Gatun, yang berada di aliran terusan.

5. Amerika Serikat (AS)

Kekeringan yang disebabkan suhu udara yang tinggi ikut dirasakan AS. Kekeringan dilaporkan telah mengancam produk pangan di beberapa negara bagian. Wilayah Illinois mencatatkan rekor terkering pada Juni lalu.

Para petani pun resah dengan kejadian ini. Belum lagi harga pupuk dan energi juga naik.

Di Kansas, peternak hewan pangan juga mengeluhkan situasi kekeringan yang mengancam. Pasalnya, dengan suhu yang memanas dan kekeringan hewan ternak ditakutkan tidak dapat menahan kondisi tersebut dan akhirnya bisa mati.

Situasi serupa juga mengancam wilayah Barat Negeri Paman Sam. Di Negara Bagian Washington, otoritas setempat telah mengumumkan deklarasi kekeringan di 12 kabupaten wilayah itu.

Pada bulan Juni, negara bagian Washington hanya menerima 49% dari curah hujan biasanya, menghilangkan kelembaban terakhir dari tanah sebelum musim panas tiba.

6. Spanyol

Pemerintah Catalonia, Spanyol, mengumumkan keadaan darurat regional sejak awal bulan Agustus.

Kekeringan yang panjang diyakini akan segera datang. Protokol darurat pemerintah mendesak warga untuk menghemat penggunaan air. Warga kota-kota Catalonia harus membatasi konsumsi air hingga 200 liter per kapita per hari. Di Juli, konsumsi air warga sekitar 243 liter.

"Kami sudan mengalami kekeringan selama 30 bulan," kata Direktur Badan Air Catalan (ACA) Samuel Reyes pada konferensi pers menjelaskan fenomen kekeringan yang sebenarnya sudah terasa sejak 2022, dikutipAnadolu AgencySelasa (8/8/2023).

"Pemotongan air seringkali kontraproduktif karena warga mulai mengisi bak mandi atau menimbun air saat dinyalakan. Sebaliknya, kami mendorong mereka untuk memasang peralatan yang menurunkan tekanan air," tambah Reyes.

7. Jerman

Negara Eropa lain juga melaporkan turunnya debit air di sungai maupun penampungan. Di Jerman, kedalaman Sungai Rhein menyusut dan mengancam industri yang seringkali menggunakan jalur air itu untuk distribusi logistik.

Sungai tersebut mengalami penyusutan dan pendangkalan. Hal ini berdampak pada gangguan pengiriman barang.

Sungai sepanjang 1.230 km itu adalah arteri komersial untuk 80% pengiriman barang ke pedalaman Jerman.Komoditas yang dikirim melalui jalur air itu termasuk minyak mentah dan gas alam.

Tetapi setelah pendangkalan pada tahun 2018 dan 2022, kedalaman Sungai Rhine kembali mencapai titik terdangkal tahun ini, yang membuat kapal pengangkut tak bisa melintasi jalur air itu. Di Kaub, checkpoint untuk tongkang, permukaan air turun ke level terendah tahun ini pada awal pekan.

Dampak rendahnya muka air tidak terbatas pada bisnis besar. Produk domestik bruto Jerman menyusut 0,4% pada 2018 karena lalu lintas Rhine melambat.

"Sebagai patokan, jika ketinggian air di Kaub turun di bawah 78 sentimeter selama 30 hari berturut-turut, seperti yang terjadi pada tahun 2022 dan 2018, produksi industri turun sebesar 1%," menurut Kiel Institute for the World Economy.

8. Indonesia

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengungkapkan tingginya harga gabah dan beras belakangan disebabkan karena saat ini sedang memasuki musim tanam gadu.

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas atau National Food Agency (NFA) Rahmi Widiriani menuturkan, jika berdasarkan siklus pertanaman padi, harga gabah di musim tanam gadu memang lebih tinggi dibandingkan dengan musim rendeng atau panen raya seperti di semester 1.

Khudori, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)menyatakan empat faktor penyebab krisis ini.

Pertama, siklus panen memang sedang memasuki musim gadu, sehingga harga gabah/beras akan menjadi lebih tinggi dari musim panen raya. Faktor yang kedua, menurut Khudori, karena perkiraan produksi beras yang menurun, sehingga terdapat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan yang berujung pada ekspektasi harga naik.

Faktor yang ketiga karena adanya El Nino. Meskipun El Nino bukanlah hal yang baru, tetapi pemberitaan dan eksposur El Nino cukup luas, terutama dampaknya pada sektor pertanian. Kemudian faktor yang keempat, terjadinya dinamika global yang tercermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif, salah satunya India sebagai pemasok beras terbesar Indonesia.

Sebelumnya, El Nino sendiri juga terasa dampaknya di Indonesia dengan suhu yang meninggi. Sekitar 92% wilayah RI disebut akan melalui musim kemarau yang "lebih keras dari biasanya". Fenomena ini pun berpengaruh terhadap industri pertanian tanah air.

Salah satu wilayah Desa Ridogalih di wilayah Jawa Barat misalnya, melaporkan sumur dan sungai sudah mengering sejak bulan Juni lalu. Persawahan yang tadinya subur dilaporkan mulai berubah menjadi tanah gersang dengan batang-batang padi yang sudah layu mencuat dari permukaan tanah.

Channel News Asia (CNA)melaporkan prediksi miris di mana sekitar 48,5 juta orang di seluruh Indonesia akan mengalami akses air bersih yang berkurang, khususnya di beberapa provinsi seperti Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta di Pulau Jawa bersama dengan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.


(mza) Next Article Video: Private Placement Lagi, Utang BUMI Lunas?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular