
Suku Bunga Acuan BI Naik: Rupiah Aman, Bank Selamat

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan Chatib Basri menilai, langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate pada Oktober 2023 sudah tepat. Meskipun di luar ekspektasi mayoritas ekonom dan analis.
Chatib menganggap, kebijakan dewan gubernur BI yang telah menaikkan bunga acuan 25 basis points menjadi 6% akan mampu menyelamatkan stabilitas nilai tukar rupiah di tengah kuatnya dolar AS, dan tingginya imbal hasil atau yield US Treasury tenor jangka panjang.
"Apakah keputusan BI untuk menaikkan suku bunga tepat? Jawaban saya tepat, 25 bps," kata Chatib Basri kepada ²©²ÊÍøÕ¾, dikutip Senin (23/10/2023).
Chatib menjelaskan, langkah BI itu tepat karena persoalan yang dihadapi Indonesia kini bukanlah tekanan inflasi, melainkan permasalahan eksternal yang membuat likuditas dolar menipis, seperti yield US Treasury yang tinggi membuat investor melarikan dananya ke AS.
"Karena dengan begitu membuat likuiditasnya tidak terlalu ketat ketimbang lakukan intervensi terus. kalau dia lakuin intervensi dia absorb lewat SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), government juga absorb, terus likuiditas valasnya tight, itu likuiditasnya pasti ketat," tegas Chatib.
Jika kebijakan suku bunga terus ditahan di level 5,75% dan tak dinaikkan pada Oktober 2023, Chatib menganggap, akan banyak bank-bank kecil yang kesulitan memperoleh likuditas dolar AS di tengah terus melemahnya kurs rupiah.
"Bank besar oke, tapi bank yang relatif kecil agak berat, jadi langkah BI sebenarnya menurut saya langkah tepat. Terus kalau ditanya apakah ke depan, harus kita lihat lagi sampai sejauh mana pressure dari, misalnya The Fed naikin lagi 25 bps," ucap Chatib.
Senada, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menekankan, berbaliknya arah kebijakan BI di tengah terkendalinya inflasi tersebut memang disebabkan munculnya fenomena term premia, akibat kebutuhan utang AS yang tinggi dan membuat aliran modal asing berbondong-bondong ke AS.
"Kenaikan yield obligasi global tidak hanya terjadi pada obligasi jangka pendek, namun saat ini yield obligasi jangka panjang juga mengalami kenaikan atau Treasury Term Premia, karena utang pemerintah di negara maju cenderung meningkat," ucap Josua.
"Arus modal ke negara berkembang juga terhambat dan dana cenderung berpindah ke negara maju (cash is the king)," tegasnya.
Kondisi ini pun memengaruhi kinerja perbankan. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi 6,54% secara tahunan per September 2023 dari bulan sebelumnya 6,62% yoy. Lalu penyaluran kredit hanya tumbuh 8,96% dari sebelumnya 9,04%.
"Non-performing loan per Agustus 2023 tercatat sebesar 2,50% (gross) dan 0,79% (net). BI masih memproyeksikan pertumbuhan kredit di tahun 2023 akan berada di kisaran 9-11%," tegas Josua.
Oleh sebab itu, Josua memperkirakan, Bank Indonesia masih akan mempertahankan mempertahankan tren suku bunga tinggi ini, dan dengan selisih suku bunga BI dengan The Fed yang tak lagi menipis juga akan membantu penguatan rupiah ke depan.
"Karena BI secara tidak terduga meningkatkan suku bunga kebijakan menjadi 6%, kami memperkirakan bahwa dalam jangka pendek, Rupiah akan lebih stabil, terutama karena selisih suku bunga tetap positif, dengan asumsi suku bunga kebijakan The Fed mencapai puncaknya di 5,75%," tegas Josua.
Khusus rupiah sepekan lalu memang masih terus tertekan. Dilansir dari Refinitiv, rupiah pada akhir pekan lalu ditutup di angka Rp15.870/US$ atau melemah 0,38% jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan Kamis (19/10/2023). Namun depresiasinya lebih baik, dari Kamis, yang melemah hingga 0,54%.
BI mencatat pelemahan rupiah sejalan dengan kaburnya investor luar negeri sepanjang minggu ini. Dari data BI terkait transaksi pada 16 - 19 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat berada dalam posisi jual dengan neto Rp5,36 triliun. Total ini terdiri dari jual neto Rp3,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,01 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,10 triliun di SRBI.
Adapun, selama 2023, transaksi asing masih tercatat di posisi beli neto Rp51,45 triliun di pasar SBN, namun tercatat jual neto Rp7,26 triliun di pasar saham. Sementara itu, untuk SRBI yang baru dirilis bulan lalu, asing tercatat beli neto Rp11,06 triliun.
(haa/haa) Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer
