
Soal Wacana Nikel Premium yang Digagas BHP, Ini Kata Bos Eramet

Jakarta, վ - Raksasa nikel asal Prancis yang memiliki unit bisnis tambang nikel di Indonesia, Eramet SA, mengakui mendukung upaya BHP untuk penerapan nikel premium di Bursa Metal London (LME).
Direktur Keberlanjutan dan Hubungan Eksternal Eramet Group Virginie de Chassey mengaku mendukung ide ini.
"Jadi ya, yang bekerja berbeda dari yang lain harus mendapat nilai lebih, jadi saya sangat mendukung ide [nikel premium] ini." jelas Virginie di Jakarta, dikutip վ.
Meski demikian, Virginie mengungkapkan Eramet belum memiliki rencana apa pun dalam hal label nikel premium yang digagas BHP tersebut.
"Di Eramet, kami percaya bahwa dengan standar Initiative Responsible Mining Assurance (IRMA), hal ini menjadi nilai tambah bagi produksi nikel Eramet. Dibutuhkan banyak tenaga, waktu dan biaya untuk dapat melakukan pertambangan yang berkelanjutan, termasuk upaya dekarbonisasi dan menjaga keanekaragaman hayati. Namun, kami melihatnya sebagai kebutuhan masa depan dan keunggulan kompetitif jangka panjang," jelas Virginie di Jakarta, dikutip oleh վ.
Wacana Nikel Premium
Perusahaan pertambangan global ramai-ramai menyerukan penerapan premi ramah lingkungan (green premium) untuk nikel yang diproduksi secara berkelanjutan dan diperdagangkan di London Metal Exchange. Langkah ini diambil karena membanjirnya pasokan yang diduga dan dilabeli "kotor" dari Indonesia mengurangi keuntungan bagi para produsen.
BHP, grup pertambangan terbesar di dunia, dan miliarder Australia Andrew Forrest, pemilik perusahaan pertambangan Wyloo Metals, telah mendorong LME untuk membedakan antara apa yang disebut sebagai nikel kotor dan pasokan yang lebih bersih.
Pertambangan nikel di Indonesia, yang merupakan produsen baterai mobil listrik dan bahan pembuatan baja terbesar di dunia, makin mendapat kritik dari kelompok lingkungan karena menyebabkan kerusakan hutan, polusi limbah pertambangan, dan emisi karbon yang tinggi karena ketergantungannya pada pembangkit listrik tenaga batu bara.
Mengutip laporan The Financial Times, LME mengatakan "pasar nikel 'hijau' belum cukup besar untuk mendukung perdagangan yang dinamis dalam kontrak berjangka ramah lingkungan".
Industri nikel Indonesia telah berkembang pesat sejak tahun 2019 karena memanfaatkan cadangan nikel besar untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Perusahaan-perusahaan China juga berbondong-bondong menggelontorkan miliaran dolar dan membangun pabrik nikel dan dalam prosesnya ikut memegang peran penting dalam operasi dan pasokan nikel.
"Kita harus membedakan antara nikel kotor dan nikel hijau. LME harus membedakan antara kotor dan bersih. Keduanya merupakan dua produk yang berbeda, dan mempunyai dua dampak yang sangat berbeda," kata Forrest kepada wartawan dalam sebuah pengarahan di Australia, dikutip Financial Times.
Kepala eksekutif BHP Mike Henry mengatakan dalam konferensi pers kinerja keuangan bulan lalu bahwa "tampaknya masuk akal" untuk melihat harga premium untuk nikel yang bersumber secara berkelanjutan.
Kelompok Australia ini merekomendasikan dalam laporan prospek ekonomi dan komoditas terbarunya bahwa LME harus menetapkan target pengadaan yang lebih bertanggung jawab bagi produsen nikel. Jika mereka gagal memenuhi target tersebut, mereka akan dikeluarkan dari bursa.
"Saat ini terdapat beragam tantangan ESG dan pengadaan yang bertanggung jawab," kata BHP, tanpa menyebut secara langsung nikel yang berasal dari Indonesia.
Pemain Dunia Akui Keperkasaan Nikel RI
Pemasok nikel asal Indonesia yang berbiaya rendah diperkirakan akan menyingkirkan pesaingnya dalam beberapa tahun ke depan. CEO Eramet, Christel Bories, mengatakan hal itu akan mengukuhkan Indonesia sebagai produsen logam baterai mobil listrik yang dominan di dunia.
Mengutip Financial Times, Bories mengatakan Indonesia mungkin akan menghasilkan lebih dari tiga perempat nikel murni kelas tertinggi di dunia dalam lima tahun dari sekarang. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi radikal bagi para pesaingnya di negara lain.
Adapun pergeseran besar di pasar dan anjloknya harga nikel telah berdampak pada perusahaan pertambangan seperti BHP, IGO, dan First Quantum. Ketiganya telah memangkas produksi dan menutup tambang di Australia Barat.
Eramet sendiri ikut diuntungkan dan terdampak secara bersamaan. Perusahaan asal Prancis tersebut beroperasi di Weda Bay di Indonesia yang merupakan tambang nikel terbesar di dunia, dan juga memiliki situs tambang di Kaledonia Baru melalui anak perusahaannya Société Le Nickel (SLN).
Komentar Bories ini dilontarkan ketika Eramet berselisih dengan pemerintah Perancis yang merupakan pemegang 27% sahamnya, mengenai solusi fasilitas nikel SLN yang merugi. Namun, Eramet menolak untuk mendanai lebih lanjut.
Di Indonesia Eramet (37.8%) memiliki proyek Weda Bay Nickel yang merupakan proyek joint venture bersama Tsingshan (pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 51.3%) dan PT Antam Tbk (10%) yang telah beroperasi sejak tahun 2019.
Sebagai salah satu pemegang saham PT Weda Bay Nikel, yang berlokasi di Halmahera Tengah, Maluku Utara, Eramet berkomitmen untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan praktik pertambangan berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Eramet dalam kegiatan operasi penambangannya menerapkan standar Initiative Responsible Mining Assurance (IRMA). Eramet menargetkan untuk melibatkan seluruh lokasi tambangnya dalam proses verifikasi independen IRMA pada tahun 2027.
(fsd/fsd) Next Article 3 Tambang Australia Tutup, Bos Prancis Akui Keperkasaan Nikel RI