²©²ÊÍøÕ¾

Value Investing Katanya Ketinggalan Zaman, Yakin Bro-Sis?

Tirta Citradi, ²©²ÊÍøÕ¾
29 December 2020 10:17
warren buffet. Ist
Foto: warren buffet. Ist

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Strategi value investing telah berhasil mengantarkan Warren Buffett menjadi salah satu crazy rich di muka bumi ini. Namun oleh banyak pihak, strategi tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman dan bahkan tidak relevan lagi sekarang.

Secara sederhana, strategi value investing mengajarkan seorang investor untuk membeli saham-saham yang valuasinya murah. Salah satu indikator yang umum digunakan adalah Price to Book Value (PBV).

Nilai PBV yang rendah mencerminkan bahwa saham tersebut sedang terdiskon relatif terhadap valuasinya. Kendati demikian harus juga dilihat valuasi industri dan kompetitornya di pasar.

Misalkan ada dua emiten yang bergerak di sektor industri yang sama, sebut saja A dan B. Untuk simplifikasi, asumsikan total saham outstanding A dan B sama yaitu 1 miliar lembar. Modal (ekuitas) keduanya yang tercatat di neraca (balance sheet) pada periode tertentu juga sama yaitu Rp 1 triliun.

Artinya nilai buku saham per lembar (Book Value per Share/BVPS) perusahaan A dan B adalah Rp 1.000/lembar.

Apabila di pasar saham A dihargai Rp 1.500/lembar sementara harga saham B dipatok di Rp 500/lembar, maka bisa dikatakan saham A ditransaksikan secara premium 50% relatif terhadap valuasinya sementara saham B terdiskon 50% terhadap valuasinya.

Menggunakan indikator valuasi PBV, strategi value investing merekomendasikan kepada investor untuk membeli saham B dengan harapan kesalahan harga tersebut akan dikoreksi oleh pasar sehingga saham A akan mengalami penurunan sementara saham B akan naik. Dengan begitu investor dapat mendulang keuntungan.

Namun kenyataannya tidak selalu begitu. Saham-saham bervaluasi murah belum tentu akan mengalami kenaikan dan tak jarang saham yang valuasinya sudah mahal tak serta merta langsung terkoreksi. Malahan pada kebanyakan kasus harganya bisa terus naik.

Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), saham-saham yang memiliki valuasi rendah kenaikan harganya cenderung terbatas dibanding market secara luas dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Pada kasus tersebut ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan yang mendasari fenomena itu terjadi. Pertama terkait teori market efficiency. Teori efisiensi pasar menyebutkan bahwa apabila harga suatu saham sudah mahal maka akan mengalami koreksi. Begitu juga sebaliknya.

Teori ini memiliki pendukung dan juga sekaligus pihak yang kontra.

Robert J Shiller seorang peraih nobel ekonomi termasuk yang kontra terhadap teori tersebut. Menurutnya market dalam arti luas tidak pernah efisien karena kumpulan berbagai psikologi pelaku pasar dan cerminan isu serta rumor yang tidak terdistribusi secara merata.

Meskipun begitu masih ada kemungkinan bahwa di level terendahnya yaitu untuk setiap saham yang diperdagangkan di bursa fenomena pasar yang efisien bisa terwujud. Namun tentu dengan derajat (degree) yang berbeda-beda.

Terlepas dari itu semua, kita tidak bisa mengelak bahwa kenaikan atau penurunan harga suatu saham tidak bisa berdiri sendiri karena adanya market appetiteyang berisi kumpulan sentimen, keberadaan market maker (bandar) hingga jangka waktu (time frame) yang digunakan.

Alasan kedua yang menjelaskan mengapa fenomena itu bisa terjadi adalah perubahan zaman. Benjamin Graham hidup di zaman ketika pasar modal belum berkembang seperti sekarang. Belum ada acuan baku yang digunakan untuk investasi di saham.

Melalui dua bukunya yang melegenda yaitu Securities Analysis dan The Intelligent Investor, Benjamin Graham (guru Warren Buffett) mencoba membuat kodifikasi atau panduan investasi saham yang kemudian dipakai hingga puluhan tahun. Bahkan masih digunakan sampai sekarang.

Selain karena pasar keuangan yang belum mature kala itu, Graham sendiri melihat aset suatu perusahaan masih dari sudut pandang aset yang tampak (tangible) seperti pabrik dan mesin.

Di era baru seperti sekarang ini, lebih banyak aset-aset yang bentuknya tak tampak (intangible) seperti brand, ekosistem dan rantai pasok, paten hingga aset-aset yang bentuknya digital.

Tak bisa dipungkiri ekonomi telah bergerak dari tangible based ke arah intangible based. Inilah yang membuat banyak pihak berpandangan bahwa metode atau strategi value investing sudah tidak relevan.

Menilai atau melakukan valuasi terhadap aset-aset intangible memang susah dan cenderung tricky. Namun setidaknya ada beberapa hal yang patut dianalisa.

Paradigma investasi adalah melihat ke depan (forward looking). Saham-saham yang valuasinya tergolong mahal saat ini dengan pendekatan value investing tidak menutup kemungkinan akan memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi bagi para investor.

Di saat yang sama saham-saham bervaluasi murah juga belum tentu menjanjikan pertumbuhan yang tinggi di masa depan. Kuncinya ada di alokasi modal perusahaan itu sendiri.

Ketika perusahaan secara efektif dan efisien mengalokasikan belanja modalnya ke aset-aset intangible yang memberikan pertumbuhan tinggi di masa depan di situlah appetite investor saat ini.

Fenomena tersebut juga menjadi penjelasan mengapa sektor teknologi menjadi pemimpin dalam kenaikan harga saham yang terjadi di Negara Paman Sam. 

Berbeda dengan AS yang pasar modal dan ekonominya ditopang oleh sektor teknologi, ekonomi Indonesia masih ditopang oleh komoditas dan manufaktur. Sementara pasar sahamnya didongkrak oleh perbankan. 

Memang ekonomi digital di Indonesia sudah mengalami pertumbuhan yang tinggi. Indonesia juga sudah memiliki perusahaan rintisan (start up) bervaluasi besar tetapi belum mencetak laba seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak dan Traveloka. 

Valuasi dari perusahaan teknologi tersebut juga memiliki perbedaan dengan perusahaan-perusahaan pada umumnya. Lagipula para unicorn dan decacorn tersebut belum menjadi perusahaan publik yang mencatatkan sahamnya di bursa. 

Terlepas dari pro-kontra yang ada, framework analisis strategi value investing masih sangat berguna. Apalagi di Indonesia yang pasar sahamnya belum berkembang dan valuasinya diyakini masih menarik oleh investor-investor global. 

Bagi Anda yang konservatif dan memilih menggunakan strategi value investing, penggunaan indikator-indikator seperti PBV, Price to Earning Ratio (PER), Enterprise Value/EBITDA hingga indikator pertumbuhan valuasinya seperti PE growth (PEG) masih sangat relevan digunakan.

Hanya saja yang perlu di pahami adalah investasi itu soal masa depan bukan masa lampau. Jadi investor hendaknya memproyeksikan strategi investasinya ke depan. Jangan lupa juga pahami bisnis perusahaan yang sahamnya Anda investasikan agar indikator-indikator valuasi tadi tidak hanya sekedar angka. 

Sekali lagi investasi bukan perkara mudah. Investasi bukanlah sesuatu yang eksak seperti matematika. Oleh karena itu meramu strategi investasi juga bisa dikatakan sebagai suatu seni seperti halnya metode valuasi yang beragam.

TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular