
Value Investing Katanya Ketinggalan Zaman, Yakin Bro-Sis?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Strategi value investing telah berhasil mengantarkan Warren Buffett menjadi salah satu crazy rich di muka bumi ini. Namun oleh banyak pihak, strategi tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman dan bahkan tidak relevan lagi sekarang.
Secara sederhana, strategi value investing mengajarkan seorang investor untuk membeli saham-saham yang valuasinya murah. Salah satu indikator yang umum digunakan adalah Price to Book Value (PBV).
Nilai PBV yang rendah mencerminkan bahwa saham tersebut sedang terdiskon relatif terhadap valuasinya. Kendati demikian harus juga dilihat valuasi industri dan kompetitornya di pasar.
Misalkan ada dua emiten yang bergerak di sektor industri yang sama, sebut saja A dan B. Untuk simplifikasi, asumsikan total saham outstanding A dan B sama yaitu 1 miliar lembar. Modal (ekuitas) keduanya yang tercatat di neraca (balance sheet) pada periode tertentu juga sama yaitu Rp 1 triliun.
Artinya nilai buku saham per lembar (Book Value per Share/BVPS) perusahaan A dan B adalah Rp 1.000/lembar.
Apabila di pasar saham A dihargai Rp 1.500/lembar sementara harga saham B dipatok di Rp 500/lembar, maka bisa dikatakan saham A ditransaksikan secara premium 50% relatif terhadap valuasinya sementara saham B terdiskon 50% terhadap valuasinya.
Menggunakan indikator valuasi PBV, strategi value investing merekomendasikan kepada investor untuk membeli saham B dengan harapan kesalahan harga tersebut akan dikoreksi oleh pasar sehingga saham A akan mengalami penurunan sementara saham B akan naik. Dengan begitu investor dapat mendulang keuntungan.
Namun kenyataannya tidak selalu begitu. Saham-saham bervaluasi murah belum tentu akan mengalami kenaikan dan tak jarang saham yang valuasinya sudah mahal tak serta merta langsung terkoreksi. Malahan pada kebanyakan kasus harganya bisa terus naik.
Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), saham-saham yang memiliki valuasi rendah kenaikan harganya cenderung terbatas dibanding market secara luas dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Pada kasus tersebut ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan yang mendasari fenomena itu terjadi. Pertama terkait teori market efficiency. Teori efisiensi pasar menyebutkan bahwa apabila harga suatu saham sudah mahal maka akan mengalami koreksi. Begitu juga sebaliknya.
Teori ini memiliki pendukung dan juga sekaligus pihak yang kontra.
Robert J Shiller seorang peraih nobel ekonomi termasuk yang kontra terhadap teori tersebut. Menurutnya market dalam arti luas tidak pernah efisien karena kumpulan berbagai psikologi pelaku pasar dan cerminan isu serta rumor yang tidak terdistribusi secara merata.
Meskipun begitu masih ada kemungkinan bahwa di level terendahnya yaitu untuk setiap saham yang diperdagangkan di bursa fenomena pasar yang efisien bisa terwujud. Namun tentu dengan derajat (degree) yang berbeda-beda.
Terlepas dari itu semua, kita tidak bisa mengelak bahwa kenaikan atau penurunan harga suatu saham tidak bisa berdiri sendiri karena adanya market appetiteyang berisi kumpulan sentimen, keberadaan market maker (bandar) hingga jangka waktu (time frame) yang digunakan.
Alasan kedua yang menjelaskan mengapa fenomena itu bisa terjadi adalah perubahan zaman. Benjamin Graham hidup di zaman ketika pasar modal belum berkembang seperti sekarang. Belum ada acuan baku yang digunakan untuk investasi di saham.
Melalui dua bukunya yang melegenda yaitu Securities Analysis dan The Intelligent Investor, Benjamin Graham (guru Warren Buffett) mencoba membuat kodifikasi atau panduan investasi saham yang kemudian dipakai hingga puluhan tahun. Bahkan masih digunakan sampai sekarang.
Selain karena pasar keuangan yang belum mature kala itu, Graham sendiri melihat aset suatu perusahaan masih dari sudut pandang aset yang tampak (tangible) seperti pabrik dan mesin.
