Saat gempa besar melanda pada tahun 2011, nelayan tiram Jepang bernama Atsushi Fujita bekerja seperti biasa di laut. Setelah itu, sebuah gelombang hitam besar menghantam dan membunuh hampir 2.000 orang di kotanya. (REUTERS / Kim Kyung-Hoon)
Gempa dan tsunami, yang berada di ketinggian 30 meter di beberapa daerah, menyebabkan kebocoran nuklir di pembangkit listrik Fukushima. (REUTERS / Kim Kyung-Hoon)
Tujuh tahun berlalu, Fujita bersama ribuan orang Jepang yang berada di pantai timur laut telah membangun sebuah dinding yang sangat panjang di sepanjang pantai. Menurut para ahli dinding ini akan bisa melindungi mereka dari sunami besar lainnya. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Tembok setinggi 12,5 meter itu dibangun untuk menggantikan pembatas setinggi 4 meter yang hancur dihantam tsunami pada 2011 silam. REUTERS / Kim Kyung-Hoon
Dengan tembok setinggi itu, para warga merasa seperti dalam penjara. (Reuters/Kim Kyung-Hoon) REUTERS / Kim Kyung-Hoon
Sejumlah pihak pun menyayangkan keputusan pemerintah untuk membangun tembok penangkal tsunami ini karena dianggap dapat mengurangi daya tarik pariwisata. (Reuters/Kim Kyung-Hoon)(REUTERS / Kim Kyung-Hoon)
Setelah bencana, beberapa kota di dataran rendah dekat pantai mengalami rekontruksi dan penduduknya di pindahkan ke dataran yang lebih tinggi. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Beberapa wilayah lainnya, seperti Rikuzentakata, telah melakukan penimbunan dan meninggikan tanah mereka sebelum membangun gedung baru. REUTERS / Kim Kyung-Hoon
Beberapa pihak warga pun mengkritik upaya pemerintah yang menghamburkan triliunan yen untuk membangun tembok pelindung. Menurut mereka, uang itu seharusnya bisa digunakan untuk membangun perumahan di tempat yang lebih aman. (Reuters/Kim Kyung-Hoon)
Nelayan Fujita mengatakan setelah tsunami telah membawa hasil baik untuk pertanian tiram di daerah tersebut karena menggoncangkan dasar laut dan menghilangkan genangan lumpur, namun dinding laut yang begitulah udara yang akan berdampak pada produksi masa depan. (REUTERS / Kim Kyung-Hoon)