²©²ÊÍøÕ¾

Jangka Pendek, Perang Dagang Rugikan Perusahaan AS

Ester Christine Natalia, ²©²ÊÍøÕ¾
18 June 2018 13:59
Akan tetapi penerapan kebijakan tesebut dalam jangka pendek akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan AS mengalami kerugian.
Foto: REUTERS/Aly Song
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Tarif bea masuk yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap produk-produk China tujuan sebenarnya untuk membantu perusahaan-perusahaan AS yang selama ini merugi akibat kebijakan industri Beijing. Akan tetapi penerapan kebijakan tesebut dalam jangka pendek akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan AS.

Belum lagi penerapan tarif diberlakukan, sejumlah perusahaan mengatakan pasokan penting yang mereka butuhkan untuk produksi harga bisa saja meroket. Perusahaan multinasional khawatir bisa berbisnis di China, padahal ini merupakan sebuah pasar yang besar.

Pada hari Jumat (15/6/2018), pemerintah Trump mengatakan akan menerapkan tarif 25% terhadap ekspor China senilai US$50 miliar (Rp 705,6 triliun). China segera membalas itu dan mengatakan AS telah "meluncurkan perang dagang", dilansir dari CNN.

Tarif yang disebut pemerintah AS sebagai hukuman untuk pencurian kekayaan intelektual akan diterapkan dalam dua tahap. Lebih dari 800 produk ekspor dengan nilai sekitar $34 miliar akan dikenakan tarif mulai tanggal 6 Juli. Sementara tarif untuk 280 produk ekspor lainnya masih dalam periode uji coba dan belum diterapkan.

China mengatakan pihaknya akan merespon dengan tarif balasan ke produk AS senilai $34 miliar, termasuk produk pertanian, mobil dan makanan laut (seafood). Tarif itu juga akan diterapkan tanggal 6 Juli.

Pengumuman itu segera membuat kelompok bisnis dan industri berjuang untuk mencari tahu apakah barang-barang di rantai pasokan mereka termasuk di dalam daftar target, serta seberapa tinggi ongkos dari tarif yang akan mempengaruhi keuangan mereka. Sejumlah perusahaan yang bisa terdampak mulai dari produsen chip sampai raksasa penerbangan seperti Boeing.

Produsen Chip
Asosiasi industri semikonduktor yang mewakili produsen chip besar di AS termasuk Intel dan Qualcomm mengatakan pihak khawatir ketika mengetahui pemerintah AS saat ini mempertimbangkan tarif ke chip komputer impor dari China.

Perusahaan AS seringkali mengirim chip yang hampir jadi ke China untuk dirakit, diuji dan dikemas. Mereka kemudian menghadapi tarif ketika chip itu dikirim kembali ke negaranya.

"Sementara industri semikonduktor AS juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan pemerintah Trump tentang pemaksaan transfer teknologi dan praktik kekayana intelektual China, pengenaan tarif yang diusulkan terhadap semikonduktor dari China yang sebagian besar sebenarnya diriset, didesain dan dibuat di AS itu kontraproduktif," kata kelompok itu dalam sebuah penyataan resmi.

Qualcomm yang berbasis di San Diego juga masih membutuhkan persetujuan China untuk pembelian NXP Semiconductors, sebuah perusahaan Belanda, senilai $44 miliar.

Kesepakatan yang pertama kali diumumkan bulan Oktober 2016 itu dilakukan selama berbulan-bulan di tengah diskusi dagang antara AS dan China. Qualcomm juga sudah mendapatkan lampu hijau dari para regulator di delapan jurisdiksi lainnya, termasuk Uni Eropa dan Korea Selatan. Mereka hanya tinggal menunggu persetujuan Beijing.

Kesepakatan itu kemungkinan akan tertahan di peraturan agak lama, menurut Paul Triolo yang memiliki spesialisasi di bidang kebijakan teknologi global di Eurasia Group.

Persetujuan untuk penggabungan dikaitkan dengan keringanan yang AS berikan untuk ZTE, produsen peralatan telepon dan telekomunikasi China yang operasinya pincang karena pelarangan ekspor yang diterbitkan AS di awal bulan ini.

Awal bulan ini pemerintah Trump menghentikan kesepakatan dengan ZTE, tetapi kesepakatan untuk menyelamatkan perusahaan menghadapi penolakan dari para anggota dewan di Kongres. Mereka berpendapat pelarangan harus tetap dilakukan karena ZTE memberi ancaman keamanan.

"Ada keinginan dari kedua belah pihak untuk menghapuskan [kesepakatan] ZTE dan Qualcomm dari persamaan kompleks, tetapi tekanan politik dari kedua belah pihak dan spiral eskalasi yang serius di hubungan itu bisa menyebabkan masalah untuk kedua penawaran," kata Triolo.

Multinasional 'terima peringatan'
Perusahaan multinasional lain yang banyak berbisnis di China bisa ikut masuk ke dalam putaran perang dagang.

Saham Boeing ditutup turun 1% pada hari Jumat, sementara Caterpillar berkurang 2%.

Boeing adalah pengekspor terbesar tunggal negara itu, dan China adalah pasar penting untuk perusahaan. Boeing mengatakan September tahun lalu pihaknya memprediksi China membelanjakan hampir $1,1 triliun selama 20 tahun mendatang untuk membeli lebih dari 7.200 pesawat baru.

China sebelumnya mengancam akan membeli pesawat Airbus ketimbang jet Boeing jika AS kelewat batas dalam perdagangan. Boeing tidak memberikan komentar tentang hal ini.

Sejauh ini, perusahaan yang berbisnis di China sebagian besar menghindari perhatian publik seraya berharap AS dan China akan melakukan kesepakatan, menurut Samm Sacks selaku Senior Fellow di Technology Policy Program, Center for Strategic and International Studies.

"Perusahaan multinasional [telah] melakukan yang terbaik untuk tetap melangkah dan menanti badai berlalu," kata Sacks.

Kini dengan badai yang sudah menghantam, perusahaan harus lebih berhati-hati khususnya untuk memenuhi regulasi China, tambahnya. Dia juga mengatakan Beijing bisa menghukum perusahaan bandel guna mengirim pesan ke Washington.

Situasi bisa semakin memburuk untuk komunitas bisnis sebelum keadaannya membaik.

Gedung Putih mengatakan akan mengumumkan larangan investasi China di AS pada tanggal 30 Juni. Sejauh ini rinciannya masih kurang, tetapi perusahaan AS yang terguncang oleh perubahan rezim investasi AS bisa memangkas modal luar negerinya.

"Pembatasan ini telah menarik perhatian yang sama banyaknya dengan tarif, tetapi serius dan kemungkinan bagian yang lebih tahan lama dari tekanan AS ke China," kata Michael Hirson, Kepala unit China di Eurasia Group, dalam sebuah catatan untuk klien. "Beijing akan memperlakukan mereka dengan serius."

Perusahaan AS yang beroperasi di China sudah "menerima peringatan bahwa segala hal akan menjadi lebih buruk dari perspektif regulator dan kebijakan," tambah Triolo.
(hps) Next Article Biden Beraksi Lagi, Kaji Ulang Janji Dagang AS-China Trump

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular