Piala Dunia 2018
Sepakbola dan Ekonomi Jepang: Berpeluang Melangkah Lebih Jauh
Alfado Agustio, ²©²ÊÍøÕ¾
27 June 2018 13:53

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾Â - Pergelaran Piala Dunia 2018 di Rusia masih kurang ramah terhadap negara-negara Asia. Dari empat negara yang mewakili Benua Kuning, hanya satu yang masih punya peluang lumayan besar untuk lolos dari fase grup, yaitu Jepang.
Dalam laga pamungkas di Grup H besok, Jepang hanya butuh hasil imbang saat menghadapi Polandia, yang sudah pasti tersingkir. Ini karena Jepang sudah mengoleksi empat poin hasil sekali menang lawan Kolombia dan sekali seri kontra Senegal.
Jepang berpeluang untuk minimal mengulangi pencapaian kala mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 bersama Korea Selatan. Kala itu, Hidetoshi Nakata dan kolega bisa menembus babak 16 besar yang merupakan prestasi terbaik Tim Samurai Biru sejauh ini.
Apa yang terjadi di sepakbola mirip-mirip dengan perekonomian Jepang. Di tengah stagnasi, ada harapan untuk pulih.
Di bidang ekonomi, Jepang memang masih terjebak dalam stagnasi. Sejak 2015, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 2% saja Jepang tak mampu. Bahkan pada kuartal I-2018, pertumbuhan ekonomi Jepang melambat menjadi yang terburuk sejak kuartal III-2016.
Salah satu indikator geliat ekonomi adalah inflasi. Tidak seperti Indonesia yang berjuang mengerem laju inflasi, Jepang malah mendambakan inflasi. Sebab inflasi merupakan pertanda permintaan masyarakat meningkat sehingga pelaku usaha berani menaikkan harga.
Namun sejak 2014, inflasi di Jepang terus melambat. Sejak April 2015, inflasi di Negeri Matahari Terbit terus berada di kisaran nol koma dan baru bisa mencapai 1% pada akhir 2017. Ini menandakan permintaan masyarakat masih stagnan, sinyal denyut nadi perekonomian masih lemah.
Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) sudah menggelontorkan stimulus fiskal dengan memborong surat-surat berharga untuk menyuntikkan likuiditas ke perekonomian. Namun membanjirnya likuiditas yen Jepang ternyata belum bisa memancing inflasi keluar dari sarangnya.
BoJ pun terpaksa memangkas proyeksi inflasi untuk tahun ini. Awalnya BoJ memperkirakan inflasi pada tahun fiskal 2018 di kisaran 1%. Namun kini BoJ sedikit lebih konsevatif dengan menggeser proyeksinya menjadi 0,5-1%.
Namun seperti tim nasional sepakbolanya, perekonomian Jepang pun punya harapan untuk melaju lebih jauh. Pertanda itu hadir dari data inflasi Mei 2018 yang tercatat 0,7%.
Laju inflasi Jepang terus melambat sejak Februari dan baru bisa naik pada Mei. Realisasi inflasi Mei tersebut lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yaitu 0,3%. Inflasi Jepang pada Mei didorong oleh kenaikan harga pangan, makanan jadi, serta transportasi.
Data ini memberi secercah harapan bahwa konsumsi masyarakat mulai meningkat. Namun seperti halnya di sepakbola, harapan ini juga ditentukan oleh orang lain.Â
Jika di sepakbola nasib Jepang ditentukan oleh Polandia, Kolombia, dan Senegal, maka di perekonomian nasib mereka ada di tangan pasar. Saat ini, pasar masih menjadikan mata uang yen sebagai salah satu instrumen aman alias safe haven. Apabila sedang ada huru-hara di pasar, maka investor akan cenderung mengalihkan dananya ke yen sebagai tempat berlindung.
Sialnya, sepanjang tahun ini masalah demi masalah terjadi. Normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat, perang dagang, gejolak Timur Tengah, dan sebagainya membuat investor masih saja berpaling kepada yen.
Akibatnya, nilai tukar yen terus menguat karena banyaknya peminat. Bagi Jepang, penguatan yen bukan berita baik.
Pasalnya, Jepang adalah negara eksportir. Pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di Jepang banyak mengandalkan ekspor sehingga penguatan nilai tukar akan menghambat ekspor Jepang. Kala yen menguat, maka produk-produk made in Japan menjadi mahal dan kurang kompetitif di pasar global.
Well, begitulah gambaran sepakbola dan perekonomian Jepang. Intinya, keduanya punya peluang untuk melangkah lebih jauh. Namun langkah itu juga tergantung oleh orang lain, tidak semata ditentukan oleh diri sendiri.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Deretan Pemain Mahal di Piala Dunia 2018
Dalam laga pamungkas di Grup H besok, Jepang hanya butuh hasil imbang saat menghadapi Polandia, yang sudah pasti tersingkir. Ini karena Jepang sudah mengoleksi empat poin hasil sekali menang lawan Kolombia dan sekali seri kontra Senegal.
Jepang berpeluang untuk minimal mengulangi pencapaian kala mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 bersama Korea Selatan. Kala itu, Hidetoshi Nakata dan kolega bisa menembus babak 16 besar yang merupakan prestasi terbaik Tim Samurai Biru sejauh ini.
Di bidang ekonomi, Jepang memang masih terjebak dalam stagnasi. Sejak 2015, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 2% saja Jepang tak mampu. Bahkan pada kuartal I-2018, pertumbuhan ekonomi Jepang melambat menjadi yang terburuk sejak kuartal III-2016.
![]() |
Salah satu indikator geliat ekonomi adalah inflasi. Tidak seperti Indonesia yang berjuang mengerem laju inflasi, Jepang malah mendambakan inflasi. Sebab inflasi merupakan pertanda permintaan masyarakat meningkat sehingga pelaku usaha berani menaikkan harga.
Namun sejak 2014, inflasi di Jepang terus melambat. Sejak April 2015, inflasi di Negeri Matahari Terbit terus berada di kisaran nol koma dan baru bisa mencapai 1% pada akhir 2017. Ini menandakan permintaan masyarakat masih stagnan, sinyal denyut nadi perekonomian masih lemah.
![]() |
Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) sudah menggelontorkan stimulus fiskal dengan memborong surat-surat berharga untuk menyuntikkan likuiditas ke perekonomian. Namun membanjirnya likuiditas yen Jepang ternyata belum bisa memancing inflasi keluar dari sarangnya.
BoJ pun terpaksa memangkas proyeksi inflasi untuk tahun ini. Awalnya BoJ memperkirakan inflasi pada tahun fiskal 2018 di kisaran 1%. Namun kini BoJ sedikit lebih konsevatif dengan menggeser proyeksinya menjadi 0,5-1%.
Namun seperti tim nasional sepakbolanya, perekonomian Jepang pun punya harapan untuk melaju lebih jauh. Pertanda itu hadir dari data inflasi Mei 2018 yang tercatat 0,7%.
Laju inflasi Jepang terus melambat sejak Februari dan baru bisa naik pada Mei. Realisasi inflasi Mei tersebut lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yaitu 0,3%. Inflasi Jepang pada Mei didorong oleh kenaikan harga pangan, makanan jadi, serta transportasi.
Data ini memberi secercah harapan bahwa konsumsi masyarakat mulai meningkat. Namun seperti halnya di sepakbola, harapan ini juga ditentukan oleh orang lain.Â
Jika di sepakbola nasib Jepang ditentukan oleh Polandia, Kolombia, dan Senegal, maka di perekonomian nasib mereka ada di tangan pasar. Saat ini, pasar masih menjadikan mata uang yen sebagai salah satu instrumen aman alias safe haven. Apabila sedang ada huru-hara di pasar, maka investor akan cenderung mengalihkan dananya ke yen sebagai tempat berlindung.
Sialnya, sepanjang tahun ini masalah demi masalah terjadi. Normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat, perang dagang, gejolak Timur Tengah, dan sebagainya membuat investor masih saja berpaling kepada yen.
Akibatnya, nilai tukar yen terus menguat karena banyaknya peminat. Bagi Jepang, penguatan yen bukan berita baik.
Pasalnya, Jepang adalah negara eksportir. Pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di Jepang banyak mengandalkan ekspor sehingga penguatan nilai tukar akan menghambat ekspor Jepang. Kala yen menguat, maka produk-produk made in Japan menjadi mahal dan kurang kompetitif di pasar global.
Well, begitulah gambaran sepakbola dan perekonomian Jepang. Intinya, keduanya punya peluang untuk melangkah lebih jauh. Namun langkah itu juga tergantung oleh orang lain, tidak semata ditentukan oleh diri sendiri.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA
(aji/aji) Next Article Deretan Pemain Mahal di Piala Dunia 2018
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular