- Indonesia bakal menggelar pesta olahraga terbesar di benua Asia, yakni Asian Games 2018. Di tengah gegap gempita itu, mata dunia bakal melihat langsung kesuksesan proyek listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) nasional.
Bagaimana bisa demikian? Jawabannya ada pada stadion Jakabaring di Palembang, yang saat ini menjadi satu-satunya pusat olah raga di Indonesia yang beroperasi menggunakan energi ramah lingkungan, yakni pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Proyek percontohan
sport tourism Indonesia ini sebelumnya sukses menyelenggarakan 3rd Islamic Solidarity Games 2013 yang diikuti 52 negara, 17th Association of South East Asian Nations (ASEAN) University Games (2014), dan 37 ajang olah raga dalam sewindu terakhir.
Jakabaring Sport City (JSC) berdiri di atas lahan seluas 360 hektare, yang terdiri dari 20 venue dan terletak di jantung kota Palembang. Tidak hanya menjadi pusat terpadu fasilitas olah raga, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama memperbaiki infrastruktur pendukung.
Misalnya, fasilitas air minum dengan teknologi filtrasi sangat tinggi (
ultrahigh filtration), pengolahan limbah padat berskema 4R (
reduce-reuse-recycle-replanting), peningkatan ruang terbuka hijau dan perpanjangan danau buatan sebagai daerah tangkapan air seluas 64 hektare.
Yang tak kalah pentingnya adalah pengamanan pasokan listrik, di mana PLN membangun jaringan berkapasitas 20 KV dengan sistem kelistrikan zero down time (tanpa berkedip) dengan pasokan listrik dari PLTS berkapasitas 1,6 megawatt (MW).
Rincian PLTS JakabaringJumlah panel surya | 5.248 unit |
Jumlah klaster | 164 (32 panel/klaster) |
Pemasok | Sharp corporation |
Nilai Investasi | Rp 26 miliar |
Donatur | Jepang |
Mulai Pembangunan | Maret 2017 |
Mulai Operasi | Maret 2018 |
Sumber: Tim Riset վ
Proyek pembangunan PLTS Jakabaring terhitung sangat cepat, yakni hanya 13 bulan. Dimulai pada Maret tahun 2017, proyek yang dijalankan Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan (Sumsel) itu selesai pada April 2018.
PLTS Jakabaring adalah bentuk nyata komitmen Gubernur Sumsel Alex Noerdin mendorong energi terbarukan di kawasan tersebut. Dia menargetkan 250 MW listrik Sumsel berasal dari energi hijau. Di Indonesia, tidak banyak pemimpin daerah yang memiliki komitmen demikian.
Pemda Sulsel membantu proyek PLTS itu dengan menyediakan tanahnya sehingga tidak harus melalui proses pembebasan lahan yang berbelit. Di Indonesia, proyek pembangkit listrik sering kali terkendala pembebasan lahan yang berlarut-larut.
“Salah satu yang membuat proyek ini terealisasi adalah komitmen pemerintah daerah. Meski harga jual listrik hanya Rp 899/kWh, atau di bawah target awal Rp 1.200, tetapi Gubernur tetap melanjutkannya,” tutur Direktur Utama PDPDE Arief Kadarsyah kepada վ.
Komitmen ini menjadi penyelamat proyek energi hijau tersebut, di tengah munculnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 yang berujung pada pemangkasan harga jual listrik PLTS di Palembang.
Target harga jual keekonomian PLTS Jakabaring di angka Rp 1.200 terpaksa harus dipangkas guna mengikuti Permen 50/2017 yang imbasnya mengharuskan harga jual PLTS di Palembang, termasuk Jakabaring di angka maksimal 85% dari biaya pokok pembangkitan (BPP) di wilayah itu.
Sumber Pembangkit Listrik | Kerangka Harga Pembelian Listrk |
Solar PV dan Angin |
BPP lokal > rerata BPP nasional | Maksimal 85% dari BPP lokal |
BPP lokal ≤ rerata BPP nasional | Ditentukan lewat kesepakatan PLN dan IPP |
Hidro |
BPP lokal > rerata BPP nasional | Maksimal 85% dari BPP lokal |
BPP lokal ≤ rerata BPP nasional | Ditentukan lewat kesepakatan PLN dan IPP |
Biomassa dan Biogas |
BPP lokal > rerata BPP nasional | Maksimal 85% dari BPP lokal |
BPP lokal ≤ rerata BPP nasional | Ditentukan lewat kesepakatan PLN dan IPP |
Sampah Perkotaan dan Panas Bumi |
BPP lokal > rerata BPP nasional | Maksimal 85% dari BPP lokal |
BPP lokal ≤ rerata BPP nasional | Ditentukan lewat kesepakatan PLN dan IPP |
Air Laut (belum diregulasi di Permen ESDM 12/2017) |
BPP lokal > rerata BPP nasional | Maksimal 85% dari BPP lokal |
BPP lokal ≤ rerata BPP nasional | Ditentukan lewat kesepakatan PLN dan IPP |
Sumber: Permen ESDM 50/2017 (2017) “PLN akhirnya memutuskan harga pembelian listrik dari PLTS Jakabaring sebesar 75% dari BPP yang berlaku,” tutur Arief. Keputusan PLN tersebut otomatis mendiskon ekspektasi PDPDE selaku pengembang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Namun untung saja, Pemerintah Daerah Sumsel menjalin kerja-sama dengan pemerintah Jepang melalui mekanisme
joint credit mechanism (JCM) yang difasilitasi pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Perekonomian.
“Nilai investasinya sekitar Rp 26 miliar, ini belum dikurangi carbon credit. Jadi, kami mendapat carbon credit dengan nilai maksimum setara 50% dari biaya EPC (
engineering, procurement, constructing). Modelnya kita talangi dulu nanti diganti. Jadi ini masih dihitung,” ujar Arief.
Dengan dukungan Pemda, PDPDE Sumsel berhasil menyelesaikan proyek tersebut secara cepat. Pengerasan lahan di Jakabaring selesai pada Januari, diikuti pemasangan panel surya yang hanya memerlukan waktu 3 bulan.
Pada 10 Aril 2018, PLTS Jakabaring pun sukses beroperasi secara komersial (COD) dan masuk ke sistem jaringan PLN. “Produksinya kurang lebih 180-190 MWh. Sejak 10 April hingga 27 Juli, Jakabaring sudah memproduksi 600 ribu MWh listrik secara total,” Jelas Arief. Dengan terpangkasnya harga jual hingga seperempat tersebut, di atas kertas mestinya proyek PLTS Jakabaring tidak layak untuk dilanjutkan apalagi dengan durasi kontrak jual beli listrik (
power purchase agreement/ PPA) yang hanya selama 20 tahun.
“Dalam perhitungan kami,
internal rate of return (IRR) Jakabaring sebenarnya masih negatif,” tutur Arief, menolak menjelaskan secara lebih detil mengenai besaran IRR negatif tersebut. IRR adalah perhitungan hasil investasi yang akan menjadi present value dari aliran kas masuk (
cash inflow).
Perhitungan Margin PLTS JakabaringBiaya Investasi | Rp 26 miliar |
Kapasitas terpasang | 2 MW |
Produksi listrik | 1,6 MW-1,8 MW |
Produksi sehari | 6 MWhour-8 MWhour |
Biaya pemeliharaan | Rp 30 juta per bulan/ Rp 360 juta per tahun |
Harga jual listrik | Rp 899/kWh |
Kontrak | 20 tahun |
Sumber: PDPDE Sumsel, diolah
Dengan asumsi produksi listrik maksimum sebesar 8.000 kWh per hari, dan harga jual Rp 899/kWh, maka PLTS Jakabaring meraup pemasukan Rp 7,19 juta dalam sehari. Karenanya di atas kertas PDPDE meraup Rp 2,63 miliar per tahun dari PLTS tersebut.
Namun perlu dicatat, produksi solar panel terpangkas pada musim hujan dan berawan, sehingga produksi listrik pun terdiskon rata-rata 40% yang jika ditranslasikan dalam bentuk pendapatan maka nilainya setara dengan Rp 1,05 miliar. Jika dikurangi biaya pemeliharaan rata-rata Rp 360 juta/tahun, maka margin yang dihasilkan sebesar Rp 690 juta/tahun.
Jika dikali dengan periode kontrak 20 tahun, maka PLTS Jakabaring meraup Rp 13,8 miliar dalam 2 dekade atau nyaris separuh dari biaya investasi Rp 26 miliar. Dengan lata lain, PLTS Jakabaring belum bisa mencapai titik impas (payback periode) pada masa kontrak pertama dan perlu dua kali masa kontrak untuk bisa membukukan keuntungan bersih investasi.
Perhitungan ini bahkan belum memasukkan net present value (nilai kekinian dari sebuah investasi berdasarkan selisih pemasukan dan pengeluaran dengan memasukkan faktor diskon dan opportunity cost of capital).
Artinya, perlu tambahan kontrak baru dari PLN untuk membuat investasi ini bisa menutup modal awal yang dikeluarkan. Jika anda adalah investor Jakabaring dan saat ini berusia 35 tahun, maka anda kemungkinan besar sudah meninggal sebelum sempat mendapatkan uang anda balik dan menikmati keuntungan bersih dari investasi di sini.
Kondisi ini terjadi karena Permen 50/2017 mengharuskan demikian. Permen yang banyak “dimusuhi” pelaku usaha EBT ini memang tidak memberikan pemanis bagi pengembangan EBT di tengah tingginya biaya produksi listrik EBT dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Biaya Pembangkitan Listrik Dunia (US$ sen/kWH)Jenis Pembangkit | Rerata (2016) |
Bahan Bakar Fosil | 5 – 17 |
Panel Surya/Solar PV | 13,1 |
Panas Matahari | 24,2 |
Biomassa | 8,1 |
Panas Bumi | 6,4 |
Hidro | 5,1 |
Angin (Onshore) | 5,6 |
Catatan: * = Sesuai Permen ESDM 50/2017. Untuk biaya paling rendah digunakan biaya nasional. Pada kenyataannya, apabila BPP lokal lebih rendah dari BPP nasional, maka digunakan harga negosiasi antara PLN dan Independent Power Producer/IPP
** = Data tidak tersedia. Menggunakan rata-rata global. Di Indonesia, mengutip data PT Pembangkit Listrik Negara (PLN), harga jual pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bahkan bisa mencapai Rp 650/kWh. Jika anda adalah bos PLN—yang saat ini menanggung utang yang tak sedikit-, anda tentu lebih memilih membeli listrik dari PLTU, ketimbang dari energi terbarukan yang masih lebih mahal di kisaran Rp 1.100/kWh. Untuk menemukan titik temu di antara dua kondisi itu (ekspektasi harga jual listrik murah di pihak PLN versus harga jual tinggi dari sisi pengembang EBT), maka Permen 50/2017 muncul menjadi jamu pahit yang menyehatkan industri EBT, dan bukannya menjadi gula-gula.
Harga jual listrik yang “sedang-sedang saja” itu membuat pengembang EBT harus memutar otak agar tetap bisa mengembangkan energi bersih dengan tanpa berakhir pailit. Inilah yang kemudian dilakukan PDPDE Sumsel agar bisa menjalankan bisnisnya dalam jangka panjang.
Mereka harus memutar otak dengan tidak bergantung pada penjualan listrik saja untuk mengoperasikan bisnisnya, melainkan harus menjual “nilai tambah” dari PLTS yang dibangunnya tersebut.
“Kami akan membuka
training center di Jakabaring dan menjadikannya sebagai obyek wisata sehingga ada pendapatan berulang di luar PLTS. Jakabaring akan menjadi
green ecotourism sport center yang pertama di Indonesia,” ungkap Arief.
Dia mengakui saat ini pendapatan berulang (recurring income) dari pemasukan tourism dan sport center itu masih kecil, hanya berkisar 5%-10% dari total pendapatan perseroan per tahun. “Ke depannya, semoga bisa lebih baik dari itu,” ujar Arief. Menurut data Kementerian ESDM, sejak Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 dan Permen Nomor 50 Tahun 2017 berlaku, sebanyak 70kesepakatan jual beli listrik (power purchasing agreement/ PPA) EBT telah ditandatangani. Total kapasitas listriknya mencapai 1.214,16 MW. Kesemuanya tunduk pada ketentuan kedua peraturan tersebut untuk menerapkan semangat “efisiensi” dalam membangun pembangkit listrik EBT agar tidak berujung pada membebani kas negara, atau PLN selaku badan usaha milik negara (BUMN). Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Harris menyebutkan angka tersebut telah bertambah. “Ada empat IPP (penyedia listrik swasta/independent power producer) yang sudah COD (commercial operation date/beroperasi komersial), dan 21 lainnya sedang konstruksi,” tuturnya kepada վ. Angka tersebut naik 3 kali lipat lebih dari jumlah PPA yang diteken sebelum peraturan tersebut berlaku, yakni hanya 14 unit. Mayoritas masih merupakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 754 MW, dan PLTS hanya sebesar 45 MW.
 Foto: Kementerian ESDM |
Dalam keterangan tertulisnya akhir tahun lalu, Kementerian ESDM menyebutkan PT PLN (Persero) sedang menyiapkan penandatanganan sembilan PPA EBT lagi pada tahun 2018 dengan total kapasitas 640,65 MW.
Mereka adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Sumsel, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sulawesi Tengah, dan tujuh pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
Total kapasitas dari kesembilan pembangkit tersebut adalah 640,65 MW yang terdiri dari PLTA Poso sebesar 515 MW, PLTP Rantau Dadap 86 MW, dan 7 PLTM dengan total kapasitas 39,65 MW. “PLTS Jakabaring merupakan salah satu proyek pembangkit listrik EBT yang menggunakan skema Permen 50/2017. Ke depan, kami berharap untuk proyek sejenis bisa murni berasal dari swasta tanpa subsidi,” tutur Haris.***