²©²ÊÍøÕ¾

Investasi Migas RI Lesu, Ini Sebabnya

Anastasia Arvirianty, ²©²ÊÍøÕ¾
05 October 2018 17:02
Investasi migas RI sulit capai target, ini salah satu sebabnya
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾- Investasi di sektor migas masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, hal ini tidak terlepas dari faktor regulasi.

Berdasarkan data realisasi capaian sektor hulu migas yang dipublikasikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi migas tercatat belum menunjukkan kinerja memuaskan. Sampai kuartal III 2018 ini investasi migas baru tercapai 56% dari target 2018 yang sebesar US$ 14,2 miliar. 



Sampai akhir tahun, outlooknya, investasi migas hanya tercapai 79% dari target, atau sebesar US$ 11,2 miliar. "Tantangan utamanya adalah ketidakpastian regulasi. Investor masih wait and see mempelajari aturan baru seperti gross split," ujar Fabby saat dihubungi Jumat (5/10/2018).

Hal itu disebabkan, sifat investasi migas yang capital intensive dan pengembalian investasi dalam jangka panjang, investor biasanya mewaspadai perubahan kebijakan dan regulasi termasuk tendensi adanya ketentuan pengalihan aset-aset kepada perusahaan lokal/BUMN di masa depan.

"Serta yang paling buruk adalah nasionalisasi seperti yang terjadi di Venezuela. Jadi kecenderungan-kecenderungan ini diwaspadai," terangnya.

Lebih lanjut, Fabby juga menuturkan, adanya kekhawatiran akan kecenderungan nasionalisme oleh pemerintah. Menurut Fabby, investor sepertinya juga melihat Indonesia cukup berisiko dengan munculnya retorika "nasionalisme" yang sedikit banyaknya dipandang sebagai ancaman kestabilan usaha jangka panjang.

Ia menjelaskan, maksud dari retorika nasionalisme tersebut, berdasarkan pengamatannya, sekarang ini ada kecenderungan segala sesuatunya harus dikerjakan oleh BUMN dan dilakukan oleh pemerintah. Gejala ini, tutur Fabby, dilihat oleh investor sebagai kecenderungan nasionalisme. 

"Walaupun ini sebenarnya juga "retorika", menurut saya. Tapi bagi investor, ini dilihat sebagai risiko yg harus diwaspadai," tambahnya.

Adapun, selain itu ada faktor kompetisi dengan negara lain yang bisa memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih baik. 

"Investor-investor migas internasional memandang Indonesia kurang menarik, karena tingkat risiko tinggi tapi imbal hasil (return) yang tidak sebaik negara-negara lain. Saya menduga paket-paket insentif yang diberikan pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan investor migas atau memang daya saing investasi migas kita kalah dengan negara lainnya," pungkas Fabby.

Salah satu kontraktor migas besar asal AS, Chevron juga pernah menyinggung soal iklim investasi migas RI. Dalam forum US-Indonesia Investment Summit 2018, Presiden Direktur Chevron Pasific Indonesia Albert Simanjuntak mengatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya menerapkan satu skema kontrak. 

"Kami butuh beberapa jenis kontrak. Tidak hanya gross split PSC, tapi cost recovery," kata dia di Jakarta, Kamis (27/9/2018).

Chevron juga ingin agar pemerintah menghormati kesakralan kontrak atau sanctity contract yang telah disepakati bersama. Hal ini terkait dengan kewajiban para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menjual minyak bagiannya kepada PT Pertamina (Persero). 
(gus) Next Article Hulu Migas Butuh Kepastian Hukum & Perbaikan Iklim Investasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular