²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Damai Dagang Gagal, Hantu Perang Mata Uang Bergentayangan

Roy Franedya, ²©²ÊÍøÕ¾
05 February 2019 21:14
Damai Dagang Gagal, Hantu Perang Mata Uang Bergentayangan
Foto: Seorang anggota staf berjalan melewati bendera AS dan China yang ditempatkan untuk konferensi pers bersama oleh A.S. REUTERS/Jason Lee/File Photo
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Perang mata uang (currency war),Ìý°ì±ð²ú¾±Âá²¹°ì²¹²ÔÌýproteksionisme yang kian luas dan kerugian jutaan dolar akan menjadi gambaran global bila Amerika Serikat (AS) dan China gagal menghentikan perang dagang.

Ini merupakan hasil penelitian terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat ini AS dan China sedang gencatan senjata hingga 1 Maret 2019.

Mengutip ²©²ÊÍøÕ¾ Internasional, laporan yang dipublikasikan Senin (4/2/2019) ini menyatakan kegagalan AS dan China bersepakat dalam perang dagang akan memunculkan efek negatif yang besar meski beberapa negara mencatatkan lonjakan ekspor.

AS dan China jatuh ke dalam perang dagang sejak tahun lalu ketika kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini saling balas bea masuk impor.

Pada September lalu, AS menambahkan tarif 10 persen pada sekitar US$ 200 miliar produk impor China, dan berencana meningkatkan tarif tersebut menjadi 25 persen pada Januari. Namun, kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan sementara kenaikan tarif ini hingga 1 Maret saat mereka melakukan pembicaraan.

Jaminan kerusakan

Menurut laporan PBB, berlanjut perang dagang dalam bentuk kenaikan bea masuk impor antar kedua negara adidaya ini akan memberikan dampak negatif yang tidak dapat terhindarkan pada ekonomi global yang "masih rapuh", termasuk gangguan pada komoditas, pasar keuangan, dan mata uang.

"Salah satu kekhawatiran utama adalah risiko perang dagang bisa berubah menjadi perang mata uang, membuat utang berdenominasi dolar lebih sulit untuk dilayani," kata laporan PBB tersebut. "Kekhawatiran lain, lebih banyak negara dapat bergabung dalam keributan ini dengan menerapkan kebijakan proteksionis ."

Perang mata uang terjadi ketika negara-negara dengan sengaja berlomba-lomba mendepresiasi nilai tukar mata uang domestik untuk merangsang ekonomi mereka. Penulis laporan itu mencatat bahwa kebijakan proteksionis pada umumnya paling merugikan perekonomian yang lebih lemah.

"Kenaikan tarif tidak hanya menghukum produsen suatu produk, tetapi juga pemasok di sepanjang rantai pasok," kata laporan itu.

Ekspor China yang dipengaruhi oleh tarif AS kemungkinan akan menghantam rantai pasok di Asia Timur, kata UNCTAD, dengan perkiraan potensi kerugian sekitar US$160 miliar.

[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]


Dari total US$250 miliar produk China yang saat ini dikenakan tarif AS, sekitar 82 persen diekspor oleh perusahaan-perusahaan di negara lain. Sementara 12 persen dari perusahaan-perusahaan China dan hanya 6 persen potensi ini yang dapat ditangkap oleh perusahaan-perusahaan domestik AS.

Sementara itu, dari ekspor AS yang dikenai tarif China, sekitar 85 persen akan ditangkap oleh pasar luar, UNCTAD memperkirakan. Laporan itu mengatakan perusahaan-perusahaan AS kemungkinan akan mempertahankan kurang dari 10 persen dari ekspor itu, sementara bisnis China akan menangkap sekitar 5 persen.

Negara-negara yang paling diuntungkan dalam perang dagang adalah negara-negara yang memiliki kapasitas ekonomi untuk menggantikan perusahaan AS dan China. UE akan meraih tambahan ekspor US$ 70 miliar, adapun Jepang, Meksiko, dan Kanada masing-masing akan memperoleh sekitar US$ 20 miliar.

"Karena ukuran ekonomi mereka, tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan China akan memiliki dampak yang signifikan terhadap perdagangan internasional," ujar Pamela Coke-Hamilton, kepala divisi perdagangan internasional PBB pada konferensi pers pada hari Senin.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular