վ

Refleksi

Outlook Ekonomi Tahun Politik: Apa yang Bikin Tidak Pasti?

Arif Gunawan, վ
01 March 2019 20:25
Outlook Ekonomi Tahun Politik: Apa yang Bikin Tidak Pasti?
Foto: վ Economic Outlook 2019. (վ/Muhammad Sabki)
Jakarta, վ - "Apa yang di-wait dan apa yang di-see?" demikian pertanyaan pancingan yang dilontarkan Founder CT Corp Chairul Tanjung ketika memoderatori seminar Outlook Ekonomi 2019 bertema "Prospek Ekonomi Indonesia di Tahun Politik".

Bagi pelaku usaha, ketidakpastian memiliki makna berbeda dari risiko. Jika risiko masih bisa diukur, tidak demikian dengan ketidakpastian. Dia muncul dari kondisi ketiadaan akses informasi dan pengetahuan atas apa yang sedang atau bakal terjadi dalam waktu dekat.

Dalam konteks prospek ekonomi 2019, apakah ketidakpastian bakal muncul dari momentum pemilihan presiden (pilpres) atau dari faktor eksternal? Itulah fokus pembahasan seminar pada Kamis (28/2/2019), yang membuatnya sangat relevan diketahui, hingga lebih dari 400 eksekutif perusahaan bergabung di perhelatan itu.

Harus diakui, pilpres memang menjadi perhatian seluruh komponen bangsa karena menentukan arah negeri ini 5 tahun ke depan. Namun apakah hajatan politik ini menciptakan ketidakpastian karena berpeluang membuat kebijakan ekonomi negeri ini berubah? Tidak juga.

Pilpres kali ini hanyalah duel ulang antara petahana Joko Widodo (Jokowi) dan penantang Prabowo Subianto. Menurut catatan Tim Riset վ, program ekonomi keduanya cenderung seirama, atau setidaknya tidak ada program yang saling menganulir.



Tidak heran, para panelis mulai dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, hingga Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti sepakat bahwa Pilpres akan berjalan aman dan tak mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Demikian juga dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang bahkan memberikan semacam "jaminan" bahwa hajatan politik tersebut akan berjalan dengan aman, sama seperti 11 pemilu dan tiga pilpres yang sudah dijalankan sebelumnya.



Ekonom senior Faisal Basri-yang dalam sesi kedua lantang mengritik over-optimism yang disampaikan otoritas fiskal dan moneter dalam seminar-pun tidak menganggap pilpres sebagai sebuah risiko yang perlu diantisipasi pelaku usaha.

"Siapa pun presiden yang terpilih, pertumbuhan ekonomi 4,75% sudah di tangan. Tidak mungkin sampai krisis," tutur jebolan Universitas Indonesia yang juga pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tersebut.

Lalu, jika di dalam negeri yang ada adalah risiko terukur berupa pemilihan presiden, maka pelaku usaha harus memfokuskan pisau analisisnya ke faktor eksternal: perkembangan politik-ekonomi skala global. Di sanalah hantu ketidakpastian itu bersembunyi.

NEXT

Jika serangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap pesaingnya, China yang merupakan negara berekonomi terbesar kedua dunia berlanjut dengan skala yang masif, terbuka peluang Indonesia dan negara di seluruh dunia menghadapi gejolak ekonomi tahun ini.

Perang dagang sejauh ini memang belum mengganggu perekonomian dunia. Namun jika dilihat lebih dekat, perekonomian China sedikit terpengaruh sementara AS di atas angin. PDB AS pada 2018 tumbuh 2,2%, dibandingkan 1,6% (2017).

Di sisi lain, PDB China melambat menjadi 6,6% dibandingkan dengan posisi 2017 pada 6.8%.
Kondisi ini pun menekan kinerja korporasi di China yang sebagian besar menerbitkan obligasi. Pada 2018 sudah ada 26 perusahaan yang angkat tangan alias gagal bayar obligasi. Total nilainya mencapai 120 miliar yuan (Rp250 triliun), atau naik 4 kali lipat dari posisi tahun 2017.

վ melaporkan sebanyak 40 perusahaan telah melaporkan kegagalan membayar bunga obligasi secara tepat waktu. Sebanyak 26 di antaranya, senilai 53 miliar yuan, akan jatuh tempo tahun ini dengan 13,6 miliar yuan sudah resmi mengumumkan gagal bayar baru-baru ini.

Korban terbaru adalah China Minsheng Investment Group Corp yang banyak berinvestasi di energi terbarukan seperti solar panel (panel surya). Produk panel surya adalah salah satu kelompok barang yang dikenakan tarif tambahan oleh AS, sehingga China mengadukan persoalan itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sejauh ini China Minsheng baru gagal membayar bunga obligasi. Jika berlarut-larut hingga gagal membayar pokok obligasi, maka perusahaan itu akan menjadi emiten dengan nilai gagal bayar obligasi yang terbesar, yakni senilai 233 miliar yuan.

Menurut data Refinitiv, sebanyak 650 miliar yuan obligasi akan menyusul jatuh tempo pada Maret 2019. Secara total, sebanyak 5 triliun yuan obligasi akan jatuh tempo tahun ini, dengan separuh di antaranya memiliki peringkat di bawah AA.

Untuk itu, perhatikan terus data PPI (producer price index) yang menjadi indikator profitabilitas industri manufaktur sebuah negara. Dalam dua bulan terakhir, angka PPI China dua bulan ini anjlok. Pemerintah China berusaha mengatasi situasi ini dengan menyerukan perbankan untuk turun tangan.


Oleh karena itu, jika perang dagang terus berlanjut hingga menekan kinerja operasional emiten obligasi di China dalam skala luas hingga memicu domino efek terhadap industri keuangan negara tersebut, pelaku pasar bakal jiper dan memicu jatuhnya bursa dunia, alias sudden reversal dana asing.

Pada gilirannya ketika situasi kian memburuk, pertumbuhan ekonomi Negeri Panda bisa terkontraksi yang pada akhirnya memukul Indonesia, mengingat China adalah mitra dagang terbesar republik ini.

Karenanya, jika bicara soal ketidakpastian, maka lebih relevan jika kita memasang mata dan telinga terhadap aksi proteksionistik AS. Ketidakpastian bukan berasal dari negeri yang bakal merayakan pesta demokrasi ini, tapi di negara “pejuang demokrasi” itu.

TIM RISET վ INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular