²©²ÊÍøÕ¾

Lawan Berat RI: di Vietnam Tanah Gratis, Myanmar Buruh Murah

Tirta Widi Gilang Citradi, ²©²ÊÍøÕ¾
06 September 2019 12:44
Lawan Berat RI: di Vietnam Tanah Gratis, Myanmar Buruh Murah
Ilustrasi Jokowi Kenakan Baju Adat
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Kemarin Vietnam sudah menyalip untuk urusan menarik investasi asing dari China karena segala kemudahan perizinan hingga lahan gratis. Selanjutnya, Indonesia harus lebih waspada! karena bisa-bisa Kamboja dan Myanmar ikutan menyalip RI jadi primadona baru investor asing di Asia Tenggara. Myanmar punya upah buruh sangat murah.

Kekecewaan Presiden Jokowi atas relokasi 33 perusahaan di China, yang mayoritas memilih Vietnam sebagai lokasi baru pabrik, dan tak satu pun yang ke Indonesia tentu jadi tamparan bagi pemerintah untuk berbenah.

Sialnya bagi Indonesia, setelah Vietnam ada negara ASEAN lain yang juga berpotensi untuk menyalip dalam menggaet investor asing adalah Kamboja dan Myanmar. Rata-rata dari 2014-2017 aliran dana investor yang masuk untuk Kamboja dan Myanmar masing-masing adalah US$ 2,1 miliar dan US$ 2,75 miliar.

Secara jumlah jelas angka tersebut masih jauh di bawah Indonesia. Namun secara pertumbuhan, tunggu dulu! Kamboja mencatatkan pertumbuhan hingga 58,9%. Myanmar lebih fantastis naik sampai lebih dari 300%. Jauh lebih fantastis dari Indonesia di periode yang sama.



Kamboja dan Myanmar dalam 5 tahun terakhir memang mencetak pertumbuhan ekonomi yang lebih ciamik dibanding Indonesia. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kamboja sejak 2014-2018 adalah 7,12%. Myanmar tumbuh rata-rata di angka 6,78% di periode yang sama. Dengan pertumbuhan tersebut Kamboja dan Myanmar jadi jawara di ASEAN



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Seperti halnya Vietnam, ongkos yang harus dikeluarkan investor di Kamboja dan Myanmar lebih murah daripada Indonesia. Bahkan lebih murah dari Vietnam. Salah satu indikatornya adalah upah di sektor manufaktur untuk semua level per tahun memang Kamboja dan Myanmar jauh lebih miring.



Selain upah, pajak korporasi di Kamboja dipatok 20% seperti halnya Vietnam. Sedangkan Myanmar mematok angka yang sama seperti Indonesia.

Namun dari segi geografis, Kamboja dan Myanmar juga masuk dalam rantai pasok poros Vietnam, Kamboja, Myanmar dan China. Lokasi yang strategis ini juga menguntungkan Kamboja dan Vietnam mengingat investor strategis ASEAN salah satunya China.

Selain itu, ditinjau dari segi profil potensi bencana alam yang berdampak pada kerugian, Indonesia termasuk negara Asia Tenggara yang paling rentan dibandingkan dengan negara tetangganya. 

Rilis laporan The World Bank Group, Indonesia memiliki risiko sangat tinggi untuk terdampak bencana seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus hingga tsunami. 
Sebagai tambahan, berdasarkan profil risiko bencana alam, Kamboja sangat rentan terhadap banjir saja sedangkan Myanmar sangat rentan terhadap banjir dan juga badai (typhoon)

Dari sisi stabilitas politik, Kamboja lebih unggul daripada Indonesia. Namun Myanmar masih di bawah Indonesia dalam indeks stabilitas politik. Dilansir dari data The Global Economy. Indonesia berada di peringkat 135 dengan indeks -0,51.

Kamboja di peringkat 87 dengan indeks 0,17. Myanmar berada di bawah Indonesia dan bertengger di peringkat 168 dengan skor -1,08. Vietnam merupakan yang paling stabil secara politik dibandingkan Indonesia, Kamboja dan Myanmar. Vietnam berada di peringkat 74 dengan skor indeks 0,31.

Nilai indeks bernilai positif mengindikasikan tingkat kestabilan politik yang tinggi pula. Bagaimanapun juga tingkat kestabilan politik suatu negara juga menjadi salah satu pertimbangan investor dalam berinvestasi.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

ASEAN sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru, memang sedang berlomba-lomba jadi primadona untuk menarik perhatian para investor. Berbagai insentif dan juga reformasi kebijakan digalakkan di setiap negara. 

Namun tampaknya berbagai kebijakan terkait reformasi kebijakan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia belum begitu berdampak. Buktinya dengan berbagai stimulus seperti Online Single Submission (OSS) dan revisi daftar negatif investasi belum mampu berdampak pada pertumbuhan PMA yang agresif seperti Vietnam, Kamboja dan Myanmar.

Ditambah PMA/FDI ini digadang-gadang dapat membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Namun faktanya, dari 2014- 2018 data serapan tenaga kerja akibat penanaman modal asing mengalami tren penurunan.

Berdasarkan data BKPM, di tahun 2014 saja tercatat serapan tenaga kerja akibat PMA di Indonesia mencapai angka 1 juta orang. Namun tren terus menurun hingga tahun 2018. PMA hanya mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebanyak 490 ribu orang saja.Hal tersebut diakibatkan oleh pergeseran dari investasi yang padat karya menjadi padat modal.

Tantangan ke depannya adalah ekonomi digital. Walaupun proporsi masih kecil, tetapi ekonomi digital memiliki growth rate yang tinggi. Supaya jadi primadona pemerintah perlu serius menggarap sektor ekonomi digital ini tidak hanya dari segi kebijakan dan insentif fiskal. Namun peningkatan kapabilitas tenaga kerja untuk mendongkrak produktivitas juga mutlak diperlukan. 


TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular