²©²ÊÍøÕ¾

Internasional

Ramai Negara Berebut Jadi 'Mini China', Indonesia Juga!

Rehia Sebayang, ²©²ÊÍøÕ¾
13 November 2019 06:16
Misteri negara asia yang bisa dapat manfaat dari perang dagang as-china
Foto: Pertemuan Jokowi dan Xi Jinping di G20 (Biro Pers Kesekretariat Presiden/Laily Rachev)
Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Perang dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat (AS) dengan China masih menyimpan misteri mengenai negara berkembang mana di Asia yang kira-kira akan bisa mendapat manfaat.

Namun, menurut laporan Bloomberg Economics yang diterbitkan pada hari Selasa (12/11/2019), tidak ada satu negara pun yang dapat meniru China dalam mentransformasikan ekonominya.


Alasan negara-negara berkembang di Asia tidak bisa menjadi duplikat China atau "mini China" adalah karena terhambat oleh masalah struktural seperti infrastruktur yang tidak memadai atau ketidakstabilan politik, kata laporan itu.

China memiliki jaringan pabrik, pemasok, layanan logistik, dan infrastruktur transportasi yang rumit, yang didukung oleh uang dan teknologi dari Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Negara itu juga memiliki tenaga kerja yang banyak, murah, cerdas dan mendapatkan akses hampir tanpa batas ke pasar global selama tiga dekade ini.

"Tidak ada ekonomi tunggal yang memiliki sarana untuk menggantikan China," tulis Chang Shu dan Justin Jimenez dalam laporan tersebut.

"Banyak yang memiliki keunggulan berbiaya rendah. Dengan pengecualian India, semua tidak memiliki skala China. Dan semua menghadapi tantangan pada aspek daya saing lainnya."

Namun begitu, dengan memperhatikan ancaman yang diberikan perang dagang, Bloomberg Economics mempertimbangkan enam metrik untuk mengidentifikasi 10 negara berkembang yang bisa mendapatkan porsi lebih besar dari 'kue' manufaktur Asia. Beberapa aspek itu mulai dari peraturan ketenagakerjaan hingga bisnis.


Hasilnya, India menduduki peringkat teratas dalam peringkat potensi ekspor berkat populasinya yang sangat besar, meskipun masih berada jauh di bawah Guangdong, proxy yang digunakan untuk China dalam analisis. Sementara negara kedua adalah Indonesia, diikuti oleh Vietnam.

Namun begitu analis lokal asal China Will Huang menilai negara-negara ini masih jauh di bawah China. Misalnya saja Vietnam, yang meski gaji pekerjanya lebih murah, namun kualitas pekerjanya juga lebih rendah.

"Buruh lebih murah di Vietnam, tetapi budaya kerjanya sangat berbeda," kata Huang di sebuah stan di Canton Fair, pameran perdagangan terbesar di dunia, di Guangzhou, bulan lalu. Dia juga mengatakan pekerja China lebih terampil dan bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pesanan sesuai jadwal.

"Di Vietnam, orang tidak akan melakukan itu." jelasnya, mengutip South China Morning Post.

Sementara untuk Indonesia, laporan ini menyebut Indonesia memiliki infrastruktur yang buruk. Selain itu, Indonesia juga telah diabaikan banyak investor karena mengadopsi peraturan lokal yang rumit, seperti yang telah diakui Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada bulan September.

China juga makin sulit ditandingi atau ditiru karena negara ini memiliki keunggulan lain, termasuk kepemimpinan yang kuat dan stabil, pasar domestik yang besar, dan akses modal yang relatif baik. Pabrik-pabriknya juga telah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk dapat terus bersaing, memangkas biaya, merampingkan produksi dan meningkatkan efisiensi transportasi.

Harga manufaktur China juga telah menurun sejak Juli, ditambah biaya energi yang lebih murah, membuatnya lebih sulit lagi bagi pabrik-pabrik di luar negeri untuk bersaing. Bahkan, sedikitnya kemajuan untuk menghasilkan gencatan senjata perdagangan antara AS dan China diperkirakan dapat membantu mengurangi sedikit tekanan pada produsen China, kata laporan itu.

[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]




(sef/sef) Next Article Inggris Ancam Organisasi yang Sembunyikan Koneksi ke Xinjiang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular