
DPR Desak Target Energi Baru 23% Dikejar Meski Pandemi
Anisatul Umah, ²©²ÊÍøÕ¾
04 June 2020 12:12

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pandemi corona (Covid-19) berdampak pada semua lini, termasuk energi baru terbarukan (EBT). Meski terdampak, target bauran energi 23% di tahun 2025 terus dikejar. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan target bauran energi 23% adalah cita-cita yang harus direalisasikan.
"Kalau ada tantangan kendor ya enggak realistis, terlebih sekarang harga fossil murah. Tapi kalau negara ambil faktor biaya misalnya matahari, saya kira bisa optimistis," ungkapnya dalam diskusi daring, Rabu, (03/06/2020).
Menurutnya, konsumsi listrik berdasarkan pertumbuhan ekonomi untuk yang 35 MW saja harusnya 7%, namun hanya tercapai 5% sehingga terjadi over capacity khususnya di Jawa.
"Ganti saja pembangkit yang enggak efisien di luar Jawa saya hitung ada 5 GW, ini developnya cukup cepat. Jadi bagi saja ini sebuah cita-cita harus direalisasikan," tegasnya.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah ketika harga energi fosil terus anjlok. Ia menyebut energi terbarukan butuh insentif karena kadang tidak kompatibel secara harga dibandingkan dengan energi lain.
"Bagiamana membuat EBT harganya kompetitif dan handal secara teknis tapi ada masalahnya yaitu transisi. Ada peluang di saat kesusahan di hari ini. PLN misalnya kita tahu ada pembangkit yang enggak  efisien, misalnya di luar Jawa masih pakai diesel, ini bisa diganti dengan sumber EBT," paparnya.
Sementara, Praktisi Energi Global Sampe L. Purba mengatakan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah terkait dengan harga. EBT kita saat ini masih mahal, artinya ada 83% eksisting energi fosil. "Kita harus realistis," tegasnya.Â
(gus/gus) Next Article Terpukul Corona, Sederet Proyek Energi Baru RI Molor ke 2021
"Kalau ada tantangan kendor ya enggak realistis, terlebih sekarang harga fossil murah. Tapi kalau negara ambil faktor biaya misalnya matahari, saya kira bisa optimistis," ungkapnya dalam diskusi daring, Rabu, (03/06/2020).
Menurutnya, konsumsi listrik berdasarkan pertumbuhan ekonomi untuk yang 35 MW saja harusnya 7%, namun hanya tercapai 5% sehingga terjadi over capacity khususnya di Jawa.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah ketika harga energi fosil terus anjlok. Ia menyebut energi terbarukan butuh insentif karena kadang tidak kompatibel secara harga dibandingkan dengan energi lain.
"Bagiamana membuat EBT harganya kompetitif dan handal secara teknis tapi ada masalahnya yaitu transisi. Ada peluang di saat kesusahan di hari ini. PLN misalnya kita tahu ada pembangkit yang enggak  efisien, misalnya di luar Jawa masih pakai diesel, ini bisa diganti dengan sumber EBT," paparnya.
Sementara, Praktisi Energi Global Sampe L. Purba mengatakan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah terkait dengan harga. EBT kita saat ini masih mahal, artinya ada 83% eksisting energi fosil. "Kita harus realistis," tegasnya.Â
(gus/gus) Next Article Terpukul Corona, Sederet Proyek Energi Baru RI Molor ke 2021
Most Popular