²©²ÊÍøÕ¾

Terbang Makin Mahal, Mungkinkah Biaya Rapid Test Rp 50 Ribu?

Muhammad Choirul Anwar, ²©²ÊÍøÕ¾
12 June 2020 11:07
Sejumlah pesawat dari berbagai maskapai penerbangan di pelataran pesawat Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (4/1/2018)
Foto: Muhammad Sabki

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ Indonesia - Maskapai penerbangan hanya diperkenankan mengangkut 70-100% penumpang, tergantung jenis pesawatnya.ÌýSelain itu, kini maskapai juga dipersilakan mematok tarif termahal dalam beroperasi atau tarif batas atas (TBA) pada fase new normal.

Di sisi lain, penumpang ada beban tambahan biaya seperti tes kesehatan rapid test atau PCR. Ada wacana biaya tes ini bisa dipangkas, sehingga beban konsumen saat menggunakan jasa penerbangan tak semakin berat. Biaya tes tak murah, untuk PCRÌýsampai jutaan rupiah, dan rapid test ratusan ribu rupiah.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati memberikan lampu hijau bagi maskapai yang ingin memberikan banderol tiketnya lebih mahal dari biasanya. Asal, harga tiket masih sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Kemenhub.

"Kaitanya dengan tarif, sampai saat ini khusus untuk penerbangan ini sudah ada satu Keputusan Menteri tentang tarif batas atas dan saat ini memang kami membolehkan airline untuk memberlakukan tarif dengan tarif batas atas yang sudah diatur oleh Kementerian Perhubungan," kata Adita kepada ²©²ÊÍøÕ¾ Indonesia, Kamis (11/6/20).

Ketentuan tarif ini mengacu kepada Keputusan Menteri Perhubungan No KM 106 Tahun 2019. Regulasi itu mengatur secara rinci penetapan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) penerbangan niaga berjadwal.


TBA pada rute Jakarta-Denpasar misalnya, ditetapkan ditetapkan sebesar Rp 1.431.000. Sedangkan rute favorit lainnya yakni Jakarta-Yogyakarta (YIA), TBA dipatok dari Rp 848.000.

Adita mengaku, banyak masukan agar pemerintah menaikkan tarif pesawat. Hal ini tidak lepas dari kondisi bisnis maskapai yang terpukul dampak pandemi Covid-19.

"Kami dapat banyak masukan dan juga banyak permintaan soal insentif soal opsi kenaikan tarif dan sebagainya. Yang jelas, justru dengan kita menerapkan peraturan baru ini, ini sebenarnya sebuah upaya untuk bisa menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak," tandasnya.

"Kenaikan kapasitas ini sebenarnya juga salah satu cara untuk membantu operator agar mereka bisa menemukan satu titik yang equilibrium-nya di mana kemudian bisa tetap bisa menutup biaya operasi tapi juga tetap ada pembatasan. Physical distancing tetap diberlakukan," lanjut Adita.

Pemerintah tetap mempertimbangkan keberlangsungan dari para operator penerbangan agar tetap bisa melayani dengan layak dan memenuhi syarat-syarat kesehatan maupun keselamatan. Adita Irawati mengaku dapat banyak masukan untuk menaikkan tarif penerbangan. Kendati begitu, dia menegaskan, Kemenhub mempertimbangkan sejumlah aspek dalam menetapkan kebijakan.

Di satu sisi, dia memahami kondisi bisnis maskapai tengah terpukul dampak pandemi Covid-19. Karena itu, persoalan tarif ini turut jadi pertimbangan serius oleh Kemenhub.

"Kementerian Perhubungan sendiri kan regulator tidak hanya Kemudian meregulasi dari sisi penumpangnya tetapi juga dari sisi operator-operator dan stakeholder yang lain," ujarnya.

Dia menegaskan, penyelenggaraan angkutan udara tetap harus memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan. Di masa pandemi ini, faktor kesehatan bahkan menjadi syarat wajib yang harus diperhatikan melalui penerapan protokol yang sesuai.

"Kami juga tentu mempertimbangkan bagaimana keberlangsungan dari para operator agar mereka juga tetap bisa melayani dengan layak dan memenuhi syarat-syarat kesehatan maupun keselamatan. Nah ini kan diperlukan kekuatan juga dari pihak operator," katanya.

Karena itu, menurutnya maskapai harus mampu survive demi menjaga aspek kesehatan itu. Namun ada dilema, karena di lain pihak daya beli masyarakat juga ikut terdampak pandemi Covid-19. Lagi-lagi ini juga dipertimbangkan dalam menetapkan kebijakan terkait tarif.

"Namun apakah kemudian akan ada rencana kenaikan tarif, kami juga tentunya harus melihat bahwa saat ini kan masyarakat sendiri sebagai calon pengguna transportasi ini juga sedang dalam kondisi sama-sama juga terkena dampak kan secara ekonomi. Jadi memang belum ada rencana untuk itu," tegasnya.

Sederet fakta tersebut jadi salah satu pertimbangan dalam menambah kapasitas angkut penumpang pesawat dari 50% jadi 70-100%. Kendati begitu, Adita mengakui jika penambahan kapasitas tersebut belum tentu bisa menutup kerugian maskapai dalam beberapa waktu terakhir.

"Pesawat sebenarnya BEP (Break even point) itu ada di angka angka 65% kapasitas, artinya ini sedikit lah, sedikit di atas dari BEP-nya. Tapi kita harus sadari 3 bulan terakhir, mungkin 3-4 bulan terakhir ini kan memang transportasi penerbangan ini memang sudah sangat turun, baik volume maupun traffic-nya sangat turun. Jadi sekarang ini pun kalau pun bisa memenuhi 70% tentu belum bisa menutup secara ekonomi kerugian-kerugian yang sekarang ini dialami oleh airline," tuturnya.

"Jadi ini upaya kami dengan adanya ketetapan baru ini kapasitas bisa naik sehingga setidaknya daya tampung dari penumpang bisa naik. Dengan tarif yang belum bisa kita naikkan itu akhirnya ada satu solusi awal untuk operator transportasi ini," katanya.

Sejalan dengan itu, dokumen kesehatan yang jadi syarat naik pesawat terbang di kala new normal dinilai sempat membingungkan. Selain prosesnya yang lama, ongkos tes kesehatan yang cukup mahal berdampak pada menyusutnya minat orang untuk terbang.

Presiden Direktur Lion Air Group, Edward Sirait mengaku persoalan itu sempat jadi masalah bagi bisnis penerbangan. Hal ini terkait simpang siur sebelumnya mengenai kewajiban Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), rapid test, dan surat keterangan bebas Covid-19.

"Misalkan di daerah, tidak semua tersedia PCR, tetapi mereka membawa surat keterangan sehat dari Puskesmas atau dari rumah sakit. Tetapi ada bandara juga yang masih ngotot meminta rapid test," ujarnya kepada ²©²ÊÍøÕ¾ Indonesia, Kamis (11/6/20).

Kini simpang siur itu sudah diperjelas dengan terbitnya aturan terbaru dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Perhubungan. Menurut Edward, kini pemerintah sudah mengatur bahwa PCR bukan lagi jadi kewajiban.

Dalam aturan terbaru memang dijelaskan, jika tes kesehatan yang digunakan rapid test, maka masa berlaku adalah 3 hari, atau jika tes kesehatan yang digunakan PCR maka masa berlaku ialah 7 hari.

Apabila kedua metode tes di itu tidak tersedia di daerah asal, maka calon penumpang harus mendapatkan surat keterangan bebas gejala seperti influensa (influenza-like illness) dari dokter rumah sakit/ Puskesmas.

"Nah sekarang Perhubungan kan sudah mengatakan nggak perlu PCR, rapid test cukup, ini menurut saya sebenarnya yang harus dipikirkan untuk mempercepat normalnya itu bagaimana harga rapid test ini menjadi lebih murah," urainya.

Sehingga ia mengusulkan agar ada penyesuaian harga rapid test menjadi semurah mungkin. Dia juga bakal membicarakan hal ini dengan para pihak terkait untuk penyediaan rapid test yang lebih terjangkau. Selama ini pemeriksaan rapid test dan PCR mandiri masing-masing Rp 300 ribu dan Rp 2,5 juta sekali tes.

"Agar para pelaku bisnis, para pekerja ini cepat berputar, cepat melakukan perjalanan, menggairahkan angkutan udara dan tentunya harapan kita akan menggairahkan ekonomi," tuturnya.

"Kalau bisa misalkan Rp 50 ribu atau Rp 60 ribu saya pikir gairah orang untuk terbang akan lebih cepat. Karena beban mereka, dan kemudahannya juga dipikirkan untuk bisa rapid testnya mereka lakukan lebih murah," katanya.

Ìý

[Gambas:Video ²©²ÊÍøÕ¾]




(hoi/hoi) Next Article Lion Air & Batik Air Belum Pastikan Kapan Terbang Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular