²©²ÊÍøÕ¾

'Kesaktian' LPS Ditambah, Ekonom Ingatkan Risiko Moral Hazard

Syahrizal Sidik, ²©²ÊÍøÕ¾
17 July 2020 16:12
Lembaga Penjamin Simpanan (ist/LPS)
Foto: Lembaga Penjamin Simpanan (ist/LPS)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Ekonom Senior yang juga Kepala Eksekutif LPS Periode 2015-2020 Fauzi Ichsan, mengingatkan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki strategi dalam menanggulangi risiko moral hazard.

Hal ini merespons peran LPS melalui Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2020 yang diperluas dari sebelumnya otoritas bank gagal menjadi pemasok likuiditas bank yang belum gagal.

Menurutnya, hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko bank tetap gagal bayar dan harus ditangani LPS, sehingga nantinya akan mengeluarkan biaya yang besar. Untuk itu, perlu ada keterlibatan dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam mencegah risiko moral hazard tersebut.

"Risiko moral hazard bisa diperkecil dengan keterlibatan OJK dan BI dalam persetujuan, serta persyaratan jaminan, termasuk personal guarantee pemilik bank dan lending-limit yang ketat," kata Fauzi Ichsan, dalam diskusi daring, Jumat (17/7/2020) di Jakarta.

Dalam memilih opsi resolusi bank gagal, LPS, lanjut Fauzi, diharapkan tidak hanya mempertimbangkan opsi termurah (leats-cost-test/LCT) tapi juga aspek lainnya seperti kondisi perekonomian, kompleksitas bank, waktu penanganan dan ketersediaan investor. Namun, LPS membutuhkan masukan atas biaya ekonomi di luar perhitungan LCT.

Melalui PP No. 33 Tahun 2020, kata Fauzi, LPS punya kesaktian baru yang menyuntikkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas dengan batas tertentu dan kriteria tertentu. Prasyarat yang diberikan yaitu total limit penempatan ke perbankan 30% dari aset LPS, limit penempatan per bank individu 2,5% dari aset LPS, dan tenor 1 bulan bisa di roll-over untuk maksimum 5 bulan.

Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menganalisa kemampuan bank untuk membayar kembali dana LPS sebelum meminta penempatan. Nantinya, pengembalian dana LPS dijamin pemilik bank dan LPS bisa menolak permintaan penempatan dana, serta implikasinya jalur resolusi normal dijalankan.

"UU LPS menentukan penempatan dana di perbankan sebagai kebutuhan operasional misalnya dalam antisipasi biaya resolusi bank gagal, bukan bantuan likuiditas ke bank bermasalah. PP No. 33 Tahun 2020 berpayung pada UU No 2 Tahun 2020, di mana LPS adalah Otoritas ikut yang menangani krisis ekonomi Covid-19 dan menjaga SSK secara antisipatif maupun preventif," katanya lagi.



Mengenai risiko, paparnya, jika bank bermasalah tidak memenuhi prasyarat LPJP Bank Indonesia (BI), persyaratan LPS akan dituntut lebih lunak agar bank bermasalah dapat dana LPS. Kemudian jika 6 bulan setelah penempatan dana LPS, bank belum bisa akses ke pasar antar-bank, maka LPS terpaksa memperpanjang penempatan.

Hanya untuk Bank Gagal

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah memastikan, perluasan kebijakan LPS ini dibuat hanya untuk mengobati bank yang dinyatakan gagal dan sebelumnya masuk kategori Bank dalam Daftar Pengawasan Intensif (BPDI) oleh Otoritas Jasa Keuangan. Oleh sebab itu, kebijakan ini berbeda dengan kebijakan pemerintah yang menempatkan dana melalui skema bank jangkar.

"Penerbitan PP ini merupakan langkah antisipatif, sifatnya tidak biasa, dalam rangka mengantisipasi ancaman yang dapat membahayakan perekonomian nasional," kata Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah dalam pemaparan virtual, Jumat petang (10/7/2020).

"Kalau LPS tujuan utamanya untuk menolong bank dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan yang sudah tidak bisa lagi diberikan likuiditas oleh BI dan lebih berat dari sekadar masalah likuiditas," paparnya.


(dru) Next Article Jreeeng.. Aturan Baru Jokowi, LPS Bisa Selamatkan Bank Sakit!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular