Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indonesia sudah berusia 75 tahun, atau tiga perempat abad. Meski ketahanan energi masih dalam status aman, trennya cenderung menurun karena beberapa pekerjaan yang terbengkalai.
Kemerdekaan adalah satu hal yang bisa diproklamirkan. Namun, kedaulatan adalah hal lain, yang masih terus dieja karena merupakan proses yang belum usai. Di tengah usia kemerdekaan Indonesia yang mencapai 75 tahun, bangsa ini terus berjuang mewujudkan kedaulatan energi.
Kedaulatan energi dimaknai sebagai hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi. Sudah berdaulatkah Indonesia di energi? Pertanyaan ini bakal memicu perdebatan panjang.
Namun, kita bisa setidaknya mengukurnya dari ketahanan energi, yang berisikan empat indikator: ketersediaan pasokan energi (availability), kemampuan membeli (affordability), dan akses (accessibility) bagi pengguna energi, serta umur pakai dalam jangka panjang (sustainability).
Ada laporan menarik dari Global Energy Institute yang baru saja terbit. Lembaga riset energi US Chamber of Commerce (Kamar Dagang Amerika Serikat/AS) ini merilis "International Energy Index of Energy Security Risk: Assessing Risk in a Global Energy Market".
Di dalamnya terdapat analisis mengenai tingkat ketahanan energi negara yang menjadi pemain utama energi dunia, termasuk Indonesia. Di situ, peringkat ketahanan energi Indonesia berada di urutan 9, dari 25 negara pemain energi terbesar dunia.
Indonesia mengekor China dari sisi risiko ketahanan energi, dan mengalahkan Inggris yang berada di urutan 10. AS di posisi pertama alias paling wahid, alias paling tahan sektor energinya, diikuti Selandia Baru.
Sekilas, hal ini menunjukkan bahwa posisi ketahanan energi nasional kita masih lebih kuat dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun, jika laporan tersebut dibaca lebih cermat, kualitas ketahanan energi kita sebenarnya memburuk terkait posisi Indonesia sebagai net importer (pengimpor murni) minyak.
Wajar saja, indeks ini disusun dengan menggunakan matriks yang terkait erat dengan pasar minyak bumi. Tiga matriks penyumbang terbesar indeks itu adalah belanja energi (20%), impor minyak (17%), dan volatilitas harga (15%). Semakin rentan sebuah negara dengan volatilitas pasar minyak dunia, kian riskan pula dia.
Jika dibandingkan dengan tahun 1980-an, Global Energy Institute melaporkan hanya ada 15 negara pemain energi dunia yang mencatatkan skor risikonya menurun, alias kondisi ketahanan energinya membaik. AS, Rusia, dan China masuk di kategori ini.
Indonesia, sayangnya tidak. Bersama dengan beberapa negara dengan ekonomi yang bertumbuh pesat (emerging economies) lainnya, Indonesia justru membukukan skor yang lebih buruk pada tahun 2018, jika dibandingkan dengan skor pada tahun 1980.
Saat ini, skor risiko ketahanan energi Indonesia adalah 932, atau jauh lebih buruk dari skor pada tahun 1980 ketika Indonesia masih menjadi pengekspor murni (net exporter) minyak dengan skor 799. Peringkat ketahanan energi kita terus menurun, dari rangking 3 (1980) ke 9 (2018).
Beberapa persoalan yang memicu pemburukan itu terutama adalah masih rentannya ekonomi Indonesia terhadap volatilitas pasar minyak dunia. Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Buku Ketahanan Energi 2018 menyebutkan ada aspek ketersediaan energi kita yang menurun.
Memang, nilai Ketahanan Energi Indonesia masih stabil dalam status "tahan" yakni sebesar 6,16 (2014), 6,38 (2016), 6,4 (2017) dan 6,44 (2018). Nilai 8-10 menunjukkan kondisi "sangat tahan", 6-7,99 menunjukkan kondisi "tahan", dan 4-5,99 berarti "kurang tahan".
Namun, aspek ketersediaan energi (availability) kita cenderung menurun dengan tingkat kondisi "kurang tahan", yakni untuk cadangan bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG), cadangan dan sumber daya migas, impor BBM, LPG, dan minyak mentah.
Akibatnya meskipun tren nilai aspek ketersediaan energi Indonesia sedikit meningkat tetapi kondisinya berada pada tingkat kurang tahan. Bahkan, DEN menilai indikator Cadangan Penyangga Energi (CPE) masih dalam kondisi "rentan".
CPE adalah ketersediaan sumber energi dan energi yang disimpan secara nasional dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada waktu tertentu. Indonesia baru menerapkan CPE pada tahun 2016, meniru konsep strategic petroleum reserve di AS.
Sementara itu, aspek sustainability energi Indonesia meningkat dan berada pada tingkat "tahan" terutama menyusul pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Hanya saja, ketersediaan EBT ini masih berada pada status "kurang tahan".
Dalam hal accessibility, ada dua nilai indikator yang menurun dengan tingkat kondisi "kurang tahan", yaitu pelayanan distribusi gas bumi dan penyediaan BBM dan LPG. Semuanya adalah perkara klasik, tapi sejak era reformasi sampai sekarang, masih menjadi lubang yang menganga di jalan panjang bangsa ini.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA