Sinyal terbaru datang dari laporan Bank Indonesia (BI). Pada Agustus 2020, pertumbuhan kredit perbankan tercatat hanya 1,04% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Ini menjadi catatan terendah setidaknya sejak 2003.
"Fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat karena kinerja korporasi yang tertekan dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19," sebut keterangan tertulis BI.
Di tengah lesunya permintaan kredit, yang melambangkan minimnya ekspansi ekonomi, Dana Pihak Ketiga (DPK) justru masih tumbuh cukup kuat. Pada Agustus, DPK mencatatkan pertumbuhan 11,64% YoY.
Data ini menegaskan bahwa ekonomi Indonesia seolah tidak berputar. Rumah tangga dan dunia usaha memilih mencari selamat masing-masing, mencari aman, sedikit yang masih mau berekspansi. Lebih baik menabung daripada konsumsi atau investasi.
Sebenarnya ini sangat bisa dimaklumi. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) berdampak sangat luar biasa. Penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini memaksa pemerintahan di berbagai negara menerapkan pembatasan sosial (social distancing).
Virus akan lebih mudah menular saat terjadi interaksi dan kontak antar-manusia. Oleh karena itu, sebisa mungkin manusia harus berjarak satu dengan lainnya. Jarak dalam arti sesungguhnya, minimal 1-2 meter. Jangan sampai ada kerumunan, apalagi di ruang tertutup.
Wabah virus corona membuat segalanya menjadi tidak normal. Siswa belum bisa belajar di kelas, pekerja di kantor sebagian masih menjalan tugas di rumah, restoran tidak boleh melayani mengunjung yang makan-minum di tempat, lokasi wisata belum boleh dibuka, dan sebagainya. Aktivitas masyarakat menjadi sangat terbatas.
Akibatnya, pandemi ini memukul dua sisi ekonomi sekaligus, penawaran (supply) dan permintaan (demand). Penawaran seret karena proses produksi terganggu akibat jumlah pekerja yang terbatas dan hambatan distribusi. Sementara permintaan turun drastis karena apa yang mau dibeli kalau gegoleran #dirumahaja?
Di sisi dunia usaha, penjualan anjlok seanjlok-anjloknya. Ini tercermin dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) yang turun drastis. PPh dibayarkan ketika Wajib Pajak (WP) Badan atau Orang Pribadi mendapatkan tambahan penghasilan. Penerimaan PPH masih didominasi oleh setoran dan Badan atau perusahaan sehingga mencerminkan kondisi keuangan dunia usaha.
Pada Januari-Juli 2020, penerimaan PPh ambles 16,03% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Lebih parah ketimbang penurunan Januari-Juni yang sebesar 12,24%.
Dalam kondisi seperti ini, dunia usaha tentu memilih mengamankan arus kas ketimbang berekspansi. Sebab hari esok serba tidak pasti, kemungkinan investasi tidak akan menghasilkan keuntungan sangat tinggi. Wajar saja permintaan kredit menjadi minim.
Lalu dari sisi konsumen atau rumah tangga, kelesuan permintaan terlihat dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pos ini mencerminkan transaksi yang terjadi di masyarakat, karena hampir setiap transaksi dikenakan PPN yang 10% itu.
Selama Januari-Juli 2020, penerimaan PPN (dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah/PPnBM) ambles 11,99% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lebih parah ketimbang penurunan Januari-Juni yakni 10,74%.
Penurunan penerimaan PPN mencerminkan masyarakat enggan berbelanja. Mengapa demikian? Ini terkait dengan kondisi dunia usaha yang sudah disebutkan sebelumnya.
Selain tidak ada ekspansi, dunia usaha juga dihadapkan pada keharusan efisiensi untuk bertahan hidup. Salah satu cara efisiensi adalah dengan merumahkan karyawan atau menjatuhkan vonis Pemutusan Hubungan Kerja.
Per 27 Mei, jumlah pekerja yang menjadi korban PHK dan dirumahkan mencapai 3,06 juta orang. Semakin hari jumlahnya tentu bukannya berkurang tetapi akan bertambah.
"Akibat pandemi, angka pengangguran diperkirakan bertambah 3-5%. Masalah ini tentu menjadi tantangan besar pemerintah," sebut Ida Fauziah, Menteri Ketenagakerjaan, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Ketidakpastian apakah besok masih bisa bekerja atau tidak membuat rumah tangga juga mencari aman. Lebih baik menabung untuk jaga-jaga akan kemungkinan terburuk. Menjadi korban PHK (amit-amit) dan tidak punya uang simpanan adalah mimpi buruk bagi semua orang.
Pada Agustus 2020, konsumen mengalokasikan 20,42% pendapatan mereka untuk ditabung. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2018.
Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, masyarakat tentu berpandangan bahwa langkah terbaik adalah menabung. Ya itu tadi, Selamatkan Diri Masing-masing (SDM), harus berjaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti PHK.
Namun kalau uang masyarakat terkumpul di bank, maka tinggal sedikit yang tersisa untuk berputar di sektor riil. Pada akhirnya peningkatan jumlah tabungan menciptakan paradoks, yaitu membuat ekonomi tidak bergerak. Semakin banyak pengusaha yang tumbang, semakin banyak pekerja yang menjadi korban PHK.
Perkembangan ini menunjukkan perekonomian Indonesia sedang tidak sehat, sedang sakit, sedang tidak baik-baik saja. Ketika rumah tangga dan dunia usaha enggan berekspansi, maka output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) akan menyusut, tumbuh negatif, terkontraksi.
Indonesia sudah merasakan kontraksi ekonomi 5,32% pada kuartal II-2020, kontraksi pertama sejak 1999. Apabila kontraksi kembali terjadi pada kuartal III-2020, yang kemungkinan besar seperti itu, maka Indonesia resmi mengalami resesi.
Kalau konsumsi dan investasi tidak kunjung pulih, maka ekonomi akan sangat sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil) untuk bangkit. Resesi bisa berkepanjangan, dan resesi yang terjadi dalam waktu lama disebut depresi.
Kunci untuk membalikkan semua derita ini adalah mengatasi akar permasalahannya, ya virus corona itu. Sebab walau pemerintah dan bank sentral mau jungkir-balik, kaki di kepala dan kepala di kaki, kalau virus corona masih berkeliaran akan sama saja bohong. Produksi dan distribusi akan terhambat, dan permintaan lesu karena orang-orang belum berani untuk beraktivitas di luar rumah.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa kelas menengah Indonesia, yang masih dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi yang tinggi, akan terus menahan diri untuk tidak membeli dan memilih untuk menabung. Selama kasus Covid-19 terus meningkat, maka 2020 bagi orang Indonesia akan tetap menjadi The Year of Spending Cautious," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Sepanjang belum ada vaksin, obat, atau metode lain untuk mengenyahkan virus corona, maka situasi masih tetap sulit. Katanya vaksin anti-virus corona sudah tersedia dalam waktu dekat, akhir tahun ini atau awal tahun depan. Namun tentu butuh waktu untuk mendistribusikan dan menyuntikkan vaksin ini kepada lebih dari 270 juta rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Memang susah, sangat susah. Akan tetapi inilah kenyataan, dan kita sepertinya harus berdamai dengan itu untuk waktu yang agak lama. Entah berapa bisa bertahan dan berapa yang akhirnya tumbang...
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA