Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) akhirnya sah juga menjadi Undang - Undang (UU) setelah diketok DPR pada sidang paripurna kemarin, Senin (5/10/2020).Â
Meski pada akhirnya disahkan, sidang paripurna di Kompleks Senayan kemarin tak lepas dari drama. Atas usulan dari Benny K Harman dari fraksi Partai Demokrat, sidang dimulai dengan menyampaikan pandangan serta aspirasi tiap partai.Â
Sebanyak enam fraksi menyetujui pengesahan RUU Ciptaker, satu partai menerima dengan catatan yakni Partai Amanat Nasional (PAN), dan dua menolak yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).Â
Fraksi PD terus menginterupsi jalannya rapat dan meminta adanya penundaan pengesahan RUU karena melihat adanya cacat di sana-sini. Namun karena merasa aspirasinya tidak diakomodir, geng rombongan dari fraksi PD akhirnya memilih walk out dari ruang sidang. PKS dan PD merupakan partai oposisi pemerintah.Â
Pasar hari ini merespons positif disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut. Pada sesi I perdagangan, IHSG menguat lebih dari 1% dan nilai tukar rupiah berhasil menguat 0,37% melawan dolar pada 12.00 WIB.
Para buruh di Tanah Air memprotes keras pengesahan UU kontroversial tersebut. Salah satu bentuk kekecewaannya terhadap para wakil rakyat, sebanyak 2 juta buruh dikabarkan melakukan aksi mogok kerja hari ni. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan mogok kerja akan dilakukan dari 6 hingga 8 Oktober 2020.
Aksi mogok kerja juga akan dibarengi dengan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasinya yang menentang pengesahan RUU Ciptaker. Demo ini akan diikuti buruh dari sejumlah sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, hingga elektronik dan komponen.
Sektor lainnya yakni industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.
Demo tersebut akan dilakukan oleh buruh yang berasal dari berbagai wilayah Tanah Air. Beberapa pasal dalam RUU Ciptaker menurut kalangan buruh dan serikat pekerja hanya akan merugikan bagi mereka dan menguntungkan satu pihak saja.
Beberapa yang menjadi sorotan para buruh adalah penghapusan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), pesangon yang berkurang, kontrak kerja tanpa batas waktu, outsourcing tanpa batas jenis pekerjaan, penetapan kompensasi berdasarkan waktu kerja minimal, waktu kerja yang eksploitatif hingga hak upah cuti yang hilang.
DPR sendiri mengaku telah mencurahkan sebagian besar waktunya untuk merampungkan pembahasan RUU Ciptaker tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas.
"Rapat 64 kali, 65 kali panja dan 6 kali timus timsin, mulai Senin-Minggu, dari pagi sampai malam dini hari, bahkan reses melakukan rapat di dalam atau di luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," katanya.
Bagi para pekerja pengesahan RUU Ciptaker dianggap merugikan. Sementara bagi para pemilik modal atau investor langkah pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan yang tercermin dari inisiatif pembentukan Omibus Law patut diapresiasi.
Sebagai negara yang serba defisit baik APBN maupun transaksi berjalan, serta rendahnya domestic saving membuat RI butuh pendanaan eksternal untuk membantu mendongkrak pertumbuhan ekonominya.
Namun sayang minat investor untuk menanamkan modalnya dan membangun pabrik di RI masih tergolong rendah. Pada September tahun lalu, saat relokasi besar-besaran terjadi dari China terjadi, Indonesia tak menjadi salah satu destinasi dari pemindahan pabrik itu. Hal ini tentu membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesal.
Bank Dunia menyampaikan dari 33 industri yang relokasi dari China, sebanyak 23 pindah ke Vietnam dan 10 lainnya terpencar ke negara Asia Tenggara lain seperti Kamboja, Myanmar, Thailand dan Malaysia. Namun tak ada satu pun yang ke Indonesia.
Fenomena decoupling AS-China dan pandemi Covid-19 semakin menjadi katalis bagi relokasi pabrik keluar dari China. RI tak mau kehilangan momentum ini untuk menggaet investor asing masuk ke dalam negeri.Â
Meski berhasil mengantongi komitmen investasi senilai US$ 37 miliar dari beberapa investor asing seperti Korea yakni LG Electronics dan perusahaan pembuat lampu solar asal AS yaitu Alpan Lighting Product, para pemilik modal masih melihat Ri sebagai destinasi yang kurang seksi untuk investasi.
Padahal RI punya segudang keunggulan seperti kaya akan sumber daya, populasi kerja yang berada di usia produktif di tengah masa-masa menikmati bonus demografi serta pertumbuhan kelas menengah yang pesat.Â
Hal yang dikeluhkan oleh investor sebenarnya banyak. Namun yang jadi sorotan di antaranya adalah aturan yang tumpang tindih, birokrasi yang berbelit-belit hingga masalah di sektor ketenagakerjaan.Â
Para pemilik modal menilai bahwa ongkos tenaga kerja di Tanah Air tergolong mahal karena aturannya yang kaku seperti banyaknya cuti, hingga uang pesangon yang sangat memberatkan karena nominalnya setara dengan 30-32 kali gaji per bulan.Â
Di sisi lain investor juga mengeluhkan bahwa produktivitas tenaga kerja RI yang pertumbuhannya rendah. Data APO Labor Productivity menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas tenaga kerja RI memang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara Asia lain dan tetangganya.Â
Di tengah rendahnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, upah per tahunnya rata-rata terus bertumbuh 10-12%. Padahal pertumbuhan produktivitasnya berada di bawah pertumbuhan upah.Â
Melihat kebutuhan akan investasi dan meningkatkan daya saing RI pemerintah berupaya membuat pembentukan Omnibus Law atau RUU Ciptaker ini. RUU disusun menggunakan metode omnibus law terdiri 15 bab dan 174 pasal yang berdampak terhadap 123 pasal dari 79 UU terkait terbagi 7.987 DIM.
Apabila dilihat memang ada perbedaan pandangan dan kepentingan yang tidak selaras di sini. Dari sisi buruh pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU sangat memberatkan dan merugikan, sementara dari sisi pemerintah butuh untuk menarik investor dengan segera 'mumpung' ada momentum sehingga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sementara dari pihak pemilik modal butuh efisiensi dan supply chain.Â
Pemerintah dan DPR seharusnya bisa lebih bijak dalam menyikapi hal ini. Keberpihakan dalam RUU Ciptaker ini sangatlah disorot oleh berbagai pihak terutama masyarakat pada umumnya.Â
Sebagai regulator seharusnya pemerintah bisa mengakomodasi kepentingan setiap pihak dengan dialog yang komprehensif untuk mewujudkan satu visi yang sama.
Namun yang sangat disayangkan oleh publik adalah adanya pengesahan yang terlihat tergesa-gesa, kurangnya tinjauan dan pembahasan yang komprehensif untuk sekelas RUU yang sangat krusial dan hajatnya besar ini hingga keterlibatan dari setiap representatif yang dipertanyakan.Â
Sebenarnya ada yang lebih krusial lagi untuk diprioritaskan saat ini lho. Apalagi kalau bukan perang melawan pandemi Covid-19. Seharusnya pemerintah fokus untuk menjinakkan wabah terlebih dahulu, baru memulihkan investasi dan kemudian menarik investasi.Â
Hal ini jelas harus diprioritaskan. Pasalnya siapa yang mau berinvestasi ke negara yang 'berpenyakitan'? Toh pandemi Covid-19 masih menjadi risiko yang paling besar dihadapi oleh RI.Â
Tanpa penanganan yang baik maka ekonomi susah untuk pulih kembali. Tanpa pulihnya ekonomi kan mustahil juga investor datang ke dalam negeri berbondong-bondong menggelontorkan uangnya? Waktu akan menjawab apakah omnibus law UU Ciptakan benar-benar jadi solusi penciptaan lapangan kerja.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾ INDONESIA