
Kisruh Nikel, Smelter Setuju Pakai Surveyor Terdaftar di ESDM

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Pemerintah telah mengatur tata niaga nikel melalui Peraturan Menteri No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara. Dalam peraturan ini diatur bahwa Harga Patokan Mineral (HPM) logam menjadi acuan harga penjualan bijih nikel bagi penambang nikel ke perusahaan smelter di dalam negeri.
Namun sayangnya, dalam penerapannya hingga saat ini masih ada 40% pengusaha smelter melanggar aturan HPM. Perselisihan harga bijih nikel ini akhirnya menjadi sengketa antara penambang dan perusahaan smelter.
Lebih rendahnya harga jual bijih nikel dibandingkan HPM tersebut karena juga terkait dengan kadar logam dalam bijih nikel yang diterima pihak smelter.
Kebanyakan smelter di Indonesia hanya membeli nikel dengan kadar tinggi di atas 1,7%. Namun, saat diterima di smelter, setelah dicek kembali oleh surveyor dari pihak smelter, kadar yang diterima disebutkan lebih rendah dibandingkan kadar yang diinginkan, sehingga pihak smelter membayar dengan potongan harga tertentu.
Untuk menengahi masalah ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan sekitar dua minggu lalu Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM telah menerbitkan surat edaran yang menginstruksikan bahwa surveyor yang melakukan verifikasi kadar nikel harus terdaftar di Kementerian ESDM terlebih dahulu.
"Penggunaan surveyor itu harus surveyor yang sudah terdaftar di ESDM. Bagi yang tidak terdaftar di ESDM, tidak dapat melakukan verifikasi terkait dengan kualitas dan kuantitas nikel," ungkapnya dalam wawancara bersama ²©²ÊÍøÕ¾, Rabu (28/10/2020).
Yunus mengatakan pihaknya pun telah mengundang dan mempertemukan para surveyor dengan pihak smelter. Setelah pertemuan ini menurutnya perusahaan smelter pun akhirnya menyetujui dan akan patuh terhadap peraturan tersebut. Mulanya, imbuhnya, perusahaan smelter tidak sepakat dan masih menginginkan menggunakan surveyor tertentu yang pihaknya tunjuk.
"Sekarang mereka sudah ganti semua surveyor sesuai yang terdaftar di kita. Jadi, tidak ada lagi perbedaan data surveyor tentang kadar nikel yang dihasilkan tambang," jelas Yunus.
Permasalahan yang terjadi sebelumnya, imbuh Yunus, karena menggunakan surveyor yang tidak terdaftar.
"Surveyor yang tidak terdaftar dipakai oleh smelter, akhirnya menurunkan kandungan atau kadar dan sekaligus volume, wah itu bahaya kan jadi berbeda, akhirnya terjadi dispute seperti itu," tuturnya.
Kemudian, karena barang terlanjur di kirim ke smelter dan hasil dari surveyor menyebutkan kadar nikelnya lebih rendah, maka mau tidak mau penambang menjual nikel yang diklaim memiliki kadar lebih rendah kepada smelter, sehingga ini juga memengaruhi harga jual nikel.
"Kalau itu terjadi ya akhirnya kalah tambangnya, karena barangnya sudah sampai ke smelter, kemudian tidak diakui segitu, ya mau tidak mau dijual juga, masak diangkut balik lagi. Tapi sekarang sudah gunakan surveyor yang independent dan terdaftar di Kementerian ESDM," tegasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyampaikan harapannya agar pihak surveyor bisa adil dan tidak memihak dalam melakukan analisa.
Untuk itu, Asosiasi menyarankan agar dalam pengambilan sampel harus langsung dibagi menjadi empat bagian yaitu untuk surveyor, penjual, pembeli dan duplikat jika terjadi dispute.
"Surveyor sebagai ujung nyawa penambang juga harus fair dalam melakukan analisa," paparnya.
(wia) Next Article Tim Satgas Harga Nikel Terbentuk, Sudah Ada Temuan?
