²©²ÊÍøÕ¾

Industri Tekstil Masih Runyam, Ada Tarik-Tarikan Soal Impor

Ferry Sandi, ²©²ÊÍøÕ¾
10 November 2020 18:15
A woman works at a workshop of a textile manufacturer in Binzhou, Shandong province, China February 11, 2019.   China Daily via REUTERS  ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY. CHINA OUT.
Foto: Seorang wanita bekerja di bengkel produsen tekstil di Binzhou, provinsi Shandong, China 11 Februari 2019. (China Daily via REUTERS)

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sengkarut industri tekstil terkait masalah impor masih belum berkesudahan. Saat ini ada tarik-tarikan kepentingan antara pelaku usaha industri soal mekanisme impor bahan baku yang efeknya bisa berbeda dari masing-masing industri hulu dan hilir.

Kementerian Perdagangan dikabarkan bakal merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) mengenai aturan main importasi tekstil. Hal ini tidak lepas dari dorongan industri dalam negeri yang meminta adanya perubahan regulasi dari aturan-aturan yang lama. Maklum, beberapa revisi Permendag yang mengatur impor sejak tahun 2015 dinilai selalu pro barang impor.

"Kita dapat info dari teman-teman Kemendag waktu meeting dua minggu lalu, prosesnya sedang di Kemenkumham. Kita tanya udah sampai mana, kok lama banget dari Maret sampai sekarang belum keluar-keluar. Memang ada tarik-tarikan," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Selasa (10/11).

Tarik-tarikan yang dimaksud adalah alotnya proses persetujuan kebijakan antara pengusaha dalam negeri yang ingin impor diperketat dengan pelaku usaha yang menghendaki sebaliknya.

Redma menyebut pada revisi draft awal masih dicantumkan pelabuhan berikat (PLB) dalam proses impor. Sementara industri dalam negeri menolak karena dinilai menjadi titik celah untuk impor ilegal.

Keluhan itu disampaikan agar bisa dievaluasi pada Permendag terbaru. Sayang, Ia belum menerima draft terakhir Permendag tersebut sebelum diajukan ke Kemenkumham. Diminta ke pihak Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun tidak ada jawaban yang membantu banyak.

"Kita harapnya clear yang dikasih impor API-P (izin impor untuk produsen) aja. API-P pun yang diverifikasi, jangan kasih API-P bodong lagi. Kita liat data, jadi tahu mana pengimpor yang dapat sekian puluh juta meter. Kita cek ternyata perusahaan lahan kosong. Ada juga perusahaan di ruko. Kalau 30 juta yard harusnya listrik berapa. Minimal tenaga kerja di atas 1.000 orang. Kok cuma ruko doang, yang jaga hanya berapa orang. Perusahaan-perusahaan gitu banyak," sebut Redma.

Selama ini, aturan verifikasi yang belum terlaksana menjadi titik celah bagaimana perusahaan bodong menjalankan aksinya. Dalam beberapa Permendag sebelumnya, yakni Permendag 85 tahun 2015, Permendag 64 tahun 2017, dan Permendag 77 tahun 2019 disebut Redma belum mengatur hal itu.

Padahal, proses verifikasi diantaranya datang ke tempat menjadi bagian penting untuk membuktikan bahwa perusahaan tersebut memang ada dan layak diberikan izin impor. Anehnya, itu tidak diatur selama ini. Sehingga tidak aneh jika banyak perusahaan bodong diduga mendapat izin impor tersebut.

"Kita minta verifikasi. Kemendag ngga mau, bilangnya ngga ada budget. Oke kalau ngga ada budget wajibkan surat pembayaran PLN sama BPJS. Jadi kalo mau izin impor harus dilampirin pembayaran listrik sama BPJS, ketahuan kan. Misal dikasih izin impor 3 juta meter, dilihat dari pembayaran listrik butuh berapa orang kan clear. Kemendag nggak mau juga," sebutnya.

Cara tersebut memang mudah untuk 'dimainkan'. Sekedar dokumen memang bisa untuk dibuat mirip atau bahkan serupa. Namun, aturan lampiran itu perlu diatur dengan jelas.

"Memang bisa dimainkan, tapi kita bisa kroscek PLN sama BPJS, kalau palsu bisa kriminal. Karena dari PLN kemarin kontak Kemenperin sama kita asosiasi, kok pemakaian tekstil turun, dia juga tau kan," sebutnya.


(hoi/hoi) Next Article RI Kok Masih Doyan Impor APD? Pabrik Lokal Teriak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular