²©²ÊÍøÕ¾

Mengenal Perjanjian Dagang RCEP yang Katanya Untungkan China

Thea Fathanah Arbar, ²©²ÊÍøÕ¾
16 November 2020 07:44
KTT ASEAN (RCEP SUMMIT) Biro Setpers RI

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Sebanyak 15 negara Asia-Pasifik telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas terbesar di dunia, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP). Mereka adalah 10 negara anggota ASEAN, bersama dengan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.

Perjanjian yang ditandatangani secara virtual pada Minggu (15/11/2020) ini dipandang sebagai cara China dalam memperluas pengaruh dan dominasinya terhadap perdagangan Asia.



"Dalam keadaan global saat ini, fakta bahwa RCEP telah ditandatangani setelah delapan tahun negosiasi membawa secercah cahaya dan harapan di tengah awan," kata Perdana Menteri China Li Keqiang setelah penandatanganan virtual, dikutip dari AFP.

"Ini jelas menunjukkan bahwa multilateralisme adalah jalan yang benar, dan mewakili arah yang benar dari ekonomi global dan kemajuan umat manusia."



Lalu, apa itu perjanjian dagang RCEP?

Diluncurkan pada tahun 2012, RCEP adalah pakta perdagangan antara 10 negara anggota blok ASEAN, bersama dengan China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. India sedianya akan menandatangani tetapi menarik diri pada 2019 kemarin.

India keluar karena khawatir akan barang-barang murah China yang nantinya memasuki negara itu. Akan tetapi para pemimpin ASEAN mengatakan pintu tetap terbuka bagi siapa saja yang ada di Asia-Pasifik untuk bergabung.

Kesepakatan itu mencakup 2,1 miliar orang, dengan anggota RCEP menyumbang sekitar 30% dari produk domestik bruto (PDB) global. Tujuannya adalah untuk menurunkan tarif, membuka perdagangan jasa, dan mempromosikan investasi untuk membantu negara-negara berkembang mengejar ketertinggalan dunia.

Secara khusus, RCEP diharapkan dapat membantu mengurangi biaya dan waktu bagi perusahaan dengan memungkinkan mereka mengekspor produk ke mana pun di dalam blok tanpa memenuhi persyaratan terpisah untuk setiap negara.

Perjanjian RCEP ini juga menyentuh kekayaan intelektual, tetapi tidak akan mencakup perlindungan lingkungan dan hak tenaga kerja. Negara-negara yang tergabung dalam RCEP ini juga berjuang untuk sepenuhnya menyetujui beberapa ketentuan tentang perdagangan digital.

"Area prioritas utama untuk negosiasi RCEP lebih lanjut kemungkinan adalah e-commerce," kata Rajiv Biswas, kepala ekonom Asia Pasifik di konsultan bisnis global IHS Markit, dikutip dari Livemint.

Namun belum jelas kapan perjanjian RCEP itu akan diratifikasi, tetapi bisa jadi mulai berlaku tahun 2021 mendatang.

Perjanjian dagang RCEP penting karena menetapkan aturan perdagangan baru untuk kawasan itu, dan juga akan mendapat dukungan China tetapi tidak termasuk Amerika Serikat.

Para pengamat mengatakan RCEP akan memperkuat ambisi geopolitik China yang lebih luas di kawasan itu, di mana mereka menghadapi sedikit persaingan dari AS sejak Presiden Donald Trump menarik diri dari pakta perdagangannya sendiri.

Kesepakatan itu, yang disebut Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP), berada di jalur yang tepat untuk menjadi pakta perdagangan terbesar di dunia, sampai AS membatalkannya, dengan mengatakan itu menyalurkan pekerjaan AS.

Namun, pengamat mengatakan RCEP tidak seluas TPP, atau Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership/CPTPP).

"(Ini) bukan perjanjian yang sepenuhnya selesai dan dirasionalisasi sepenuhnya. Masalah dengan RCEP adalah Anda memiliki 15 negara yang sangat beragam pada tahap perkembangan yang berbeda dan dengan prioritas internal sepenuhnya," kata Alexander Capri, pakar perdagangan di National University of Singapore Business School.

Di sisi lain, ada kemungkinan pemerintahan baru AS di bawah Presiden terpilih Joe Biden akan lebih fokus pada Asia Tenggara, meskipun masih belum jelas apakah dia ingin bergabung kembali dengan CPTPP.Topik tersebut tetap menjadi masalah yang sensitif secara politik di AS, kata para analis.

"Pemerintah akan melihat ini dengan cermat," ujar Capri.

Hal 2>>

Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development on Economics (Indef) Bhima Yudhistira menilai RCEP bukan hanya soal liberalisasi perdagangan tapi juga arus tenaga kerja, dan permodalan asing. Ini, kata dia, bisa semakin merugikan Indonesia.

"Dalam hal liberalisasi perdagangan saja Indonesia bisa dirugikan dengan kehadiran raksasa China dan Australia. Hingga september 2020, neraca dagang Indonesia dengan China dan Australia masing-masing defisit US$ 6,6 miliar dan US$ 1,5 miliar," katanya saat ditanyai ²©²ÊÍøÕ¾.

"Ditambah adanya liberalisasi penurunan tarif maka defisit perdagangan Indonesia dengan negara mitra RCEP semakin melebar."

Ia pun menilai RCEP dapat menjadi ancaman bagi produk lokal. Sebelum ada RCEP saja produk impor dari China banjir baik di e-commerce maupun melalui perdagangan konvensional.

"Kemudian terkait soal penanaman modal punya dampak negatif terhadap dominannya modal asing diberbagai sektor. Sebelumnya saja Indonesia sudah meratifikasi AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) untuk mempermudah masuknya investasi asing di sektor keuangan," katanya.

"Apalagi ada RCEP, perbankan, asuransi hingga perusahaan dalam negeri makin didominasi modal asing."

Menurutnya ini akan berimplikasi cukup serius terhadap pelebaran defisit transaksi berjalan khususnya neraca pendapatan primer dan neraca jasa. Semakin banyak modal asing, ini pun akan melemahkan rupiah dalam jangka panjang.

"Setiap bagi-bagi dividen atau laba uangnya akan dikonversi ke mata uang asing. Ini bisa berisiko melemahkan rupiah dalam jangka panjang," jelasnya.

"Sepertinya Indonesia harus lakukan safeguard perdagangan yang lebih ketat, mengingat non-tarif barier Indonesia baru mencapai 272 jenis, sementara China 2.194 jenis, Jepang 1.294 jenis, dan Australia 789 jenis. Tanpa non-tarif barier khususnya bidang pangan, akan merugikan petani dan kemandirian pangan dalam jangka panjang."

Next Page
Dampak ke RI?
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular