
Diam-diam Menlu China & Iran Kian Mesra, Sindir Biden?

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Mohammad Javad Zarif dan mitranya Menlu China Wang Yi menandatangani perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif Sino-Iran (Sino-Iranian Comprehensive Strategic Partnership) pada 27 Maret lalu, setelah dilakukan pembicaraan intensif selama lebih dari 5 tahun.
Dilansir dari Twitter resmi Zarif, Menlu Iran telah menyampaikan beberapa poin krusial dari kesepakatan kerja sama penting kedua negara yang disepakati baru-baru ini antara Beijing dan Teheran.
Dalam pesan yang diunggah di akun Instagram dan Twitter, @JZarif, Menlu Zarif menggarisbawahi bahwa Kemitraan Strategis Komprehensif China-Iran fokus pada promosi praktis hubungan bilateral dan memberikan "peta jalan dan cakrawala jangka panjang" menuju hubungan semacam itu.
Menurut dia, kesepakatan tersebut membuka jalan bagi kolaborasi penuh antara kedua belah pihak di bidang politik, ekonomi, perdagangan, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Menlu Iran menambahkan bahwa perjanjian tersebut mempertimbangkan prinsip-prinsip "saling menghormati dan mengejar kepentingan bersama secara win-win mengenai hubungan bilateral, regional, dan internasional."
"Dokumen ini bukan kontrak dan konvensi. Ini tidak menimbulkan kewajiban bagi salah satu pihak, melainkan menggambarkan perspektif hubungan [Beijing-Teheran]," kata Zarif, dilansir Sputniknews, Jumat (2/4/2021).
Dia melanjutkan, kesepakatan itu "tidak menetapkan wilayah atau bahkan lokasi apa pun dan tidak menciptakan hak eksklusif di bidang apa pun."
"Penyebaran kekuatan militer tidak masuk dalam dokumen ini dan tidak ada kemungkinan untuk mengambilalih basis [militer]," tegasnya.
Diplomat top Iran ini juga mencatat bahwa dalam hal hubungan ekonomi bilateral, perjanjian tersebut menetapkan kerja sama kedua belah pihak di sektor minyak, pertambangan, dan terkait energi, serta kontribusi Iran untuk Belt and Road Initiative China (BRI).
Sebagai catatan, proyek BRI dulu bernama proyek OBOR (One Belt One Road). Proyek OBOR ini merupakan program yang diinisiasi Presiden China Xi Jinping pada 2013 lalu yang bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran untuk meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya.
Kelebihan program ini sendiri adalah menyediakan dana yang besar bagi anggotanya. China bahkan dikabarkan menggelontorkan dana sebesar US$ 150 miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun per tahun. Dana itu bisa dipinjam negara peserta program tersebut untuk membangun infrastruktur mereka.
Lebih lanjut, Zarif mengatakan, mengenai bidang budaya, dokumen tersebut berisi antara lain untuk mempromosikan pariwisata, media, organisasi non-pemerintah, dan kerja sama akademis.
Zarif memuji penandatanganan perjanjian itu karena menjadi peta jalan strategis yang berhasil dicapai dalam 25 tahun yang bersejarah.
Kesepakatan ini juga didorong oleh Presiden Iran Hassan Rouhani, yang menyatakan pemerintah Iran berterima kasih atas dukungan Beijing terhadap Teheran di arena internasional dalam menghadapi sanksi sepihak AS terhadap Republik Islam Iran.
Terkait dengan kesepakatan ini, media AS sebagian besar mencap kesepakatan Beijing-Teheran ini sebagai tantangan langsung kepada Washington di bawah pemerintahan Joe Biden.
The Wall Street Journal misalnya menyebut kesepakatan ini adalah contoh dari "pembangkangan upaya AS untuk mengisolasi Iran" dan kedua negara.
The New York Times juga menilai deal itu " dapat memperdalam pengaruh China di Timur Tengah dan melemahkan upaya AS untuk menjaga Iran terisolasi ".
Bloomberg, menyebut perjanjian itu sebagai "tantangan bagi pemerintahan Presiden AS Joe Biden saat ia mencoba untuk mendekati sekutunya untuk melawan China".
Kampanye Biden tahun 2020 berjanji untuk membawa Washington kembali ke dalam kesepakatan nuklir Iran 2015, juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)), telah gagal di tengah desakan Teheran bahwa mereka tidak akan membatalkan kegiatan pengayaan uraniumnya kecuali AS menghentikan kegiatan ilegalnya.
Pada Mei 2018, Presiden AS saat itu Donald Trump mengumumkan penarikan sepihak Washington dari kesepakatan nuklir, juga menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, yang setahun kemudian mulai menurunkan kewajiban JCPOA-nya.
(tas/tas) Next Article Iran, Cina, Rusia Makin Mesra Gelar Latihan Perang Bersama
