
Mau Jadi Raja Baterai, Intip 'Harta Karun' Terbaru Nikel RI

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Indonesia bercita-cita menjadi raja baterai dunia di masa depan. Dengan pembentukan Holding BUMN Industri Baterai atau yang dikenal Indonesia Battery Corporation (IBC), Indonesia akan memenuhi kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik di dalam dan luar negeri.
Lalu, seberapa besar 'harta karun' nikel RI yang jadi bahan baku baterai?
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total sumber daya logam nikel pada 2020 mencapai 214 juta ton logam nikel, meningkat dari 2019 yang tercatat sebesar 170 juta ton logam nikel.
Sementara jumlah cadangan logam nikel pada 2020 mencapai 41 juta ton logam nikel, lebih rendah dari 2019 yang mencapai 72 juta ton logam nikel.
Sementara untuk bijih nikel, berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, total sumber daya bijih nikel mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.
Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.
Untuk rinciannya, cadangan bijih nikel kadar di atas 1,7% tereka sebesar 1,72 miliar ton, tertunjuk sebesar 1,26 miliar ton, terukur sebesar 954 juta ton, terkira sebesar 990 juta ton dan terbukti sebesar 772 juta ton.
Sementara untuk cadangan bijih nikel dengan kurang dari 1,7% tereka sebesar 2 miliar ton, tertunjuk 1,52 miliar ton, terukur sebesar 805 juta ton, terkira sebesar 1,30 miliar ton dan terbukti sebesar 589 juta ton.
Adapun nikel yang diperlukan untuk bahan baku baterai biasanya dengan kadar rendah di bawah 1,7%.
Sebelumnya, Ketua Tim Percepatan Baterai Kendaraan Listrik, Agus Tjahajana Wirakusumah, mengatakan bahwa pasar luar negeri menginginkan produk baterai kendaraan listrik berkualitas tinggi, sehingga ini akan menjadi perhatian bagi IBC untuk memproduksi baterai.
Untuk itu, menurutnya dibutuhkan penguasaan teknologi yang tinggi dan juga riset dan pengembangan baterai yang berkelanjutan.
Dia mengakui bahwa teknologi dalam negeri belum bisa secara mandiri untuk memproduksi baterai mobil listrik. Oleh karena itu, dibutuhkan mitra strategis yang menjadi anggota konsorsium untuk mengadaptasi teknologinya.
"Teknologi dalam negeri belum bisa, kita harus cari partner. Ada 11 perusahaan yang kita dekati, paling tidak ada dua perusahaan yang intens berbicara dengan kita. Teknologi itu nanti berasal dari partner kita, di mana dalam perjanjian kerja sama ada transfer teknologi yang dilakukan," kata Agus dalam program Energy Corner ²©²ÊÍøÕ¾, Senin (24/5/2021).
(wia) Next Article Sederet Proyek Bahan Baku Baterai RI yang "Mengancam" Dunia
