
Perang Rusia-Ukraina, RI Dapat 'Durian Runtuh' Rp 111 Triliun

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Harga minyak dunia terus mendidih, imbas atau efek perang Rusia dan Ukraina. Tak tanggung-tanggung, pada Senin (7/2/2022) pukul 7:34 WIB harga minyak dunia jenis Brent berada pada level US$ 128,99 per barel.
Tentunya lonjakan harga minyak dunia ini berdampak pada lonjakan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Februari mengerek harga ICP menjadi US$ 95,72 per barel dari Januari 2022 yang hanya US$ 85,89 per barel.
Tentunya harga ICP itu jauh lebih tinggi dibandingkan asumsi dalam APBN 2022 yang ditetapkan hanya sebesar US$ 63 per barel. Jelas, kenaikan ICP ini menyebabkan harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) meningkat, sehingga menambah beban subsidi BBM dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), serta kompensasi BBM dalam APBN.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi memaparkan, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel, akan berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun.
Sebagaimana diketahui, subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 sebesar Rp 77,5 triliun. Subsidi tersebut dengan asumsi ICP sebesar US$ 63 per barel.
Kendati demikian, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, dalam simulasi sensitivitas APBN 2022, setiap kenaikan harga ICP US$ 1 per barel, akan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun dan di sisi belanja negara ada tambahan Rp 2,6 triliun, sehingga diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp 400 miliar.
Berdasarkan skenario ICP US$ 100 per barel, artinya ada selisih dengan asumsi ICP dalam APBN 2022 sebesar US$ 37 per barel. Selisih ini akan berdampak pada peningkatan tambahan pendapatan negara sebesar Rp 111 triliun, namun di sisi lain juga akan berdampak pada peningkatan tambahan belanja negara sebesar Rp 96,2 triliun.
Dengan demikian, dalam skenario ICP pada harga US$ 100 per barel, diperkirakan negara masih surplus anggaran sebesar Rp 14,8 triliun.
"Dalam simulasi sensitivitas APBN 2022, setiap kenaikan harga ICP US$ 1/barel akan menambah pendapatan negara Rp 3 triliun dan di sisi belanja negara ada tambahan Rp 2,6 triliun. Namun secara net masih ada potensi surplus Rp 400 miliar," jelasnya kepada ²©²ÊÍøÕ¾, Selasa (02/03/2022).
Bahkan, dengan skenario ICP pada US$ 120 per barel maupun US$ 150 per barel, anggaran negara diperkirakan masih akan surplus hingga Rp 22,8 triliun hingga Rp 34,8 triliun.
Dengan skenario ICP US$ 120 per barel, tambahan pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 171 triliun, namun tambahan belanja negara sebesar Rp 148,2 triliun. Sementara bila ICP pada level US$ 150 per barel, tambahan pendapatan negara diperkirakan mencapai 261 triliun, namun tambahan belanja negara Rp 226,2 triliun.
Dengan potensi adanya penambahan pendapatan negara akibat harga minyak naik ini, maka menurutnya ini juga bisa dialokasikan untuk meningkatkan subsidi energi di masyarakat.
"Mau nggak mau anggaran subsidi harus ditambah, karena dari skenario sensitivitas kenaikan harga minyak, masih ada ruang pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Kelebihan pendapatan dari kenaikan harga minyak ini harus dialokasikan kembali untuk menambah subsidi energi. Kalau tidak, daya beli masyarakat akan semakin tergerus," tuturnya.
Namun demikian, pemerintah menurutnya juga harus tetap berhati-hati dalam menyalurkan subsidi. Hal ini melihat realisasi belanja subsidi energi pada 2021 yang mencapai Rp 140,4 triliun atau 127,04% dari pagu APBN 2021.
Selain itu, hingga saat ini pemerintah juga masih menerapkan penyaluran subsidi berdasarkan pada komoditas, bukan langsung pada orang yang berhak menerima. Dengan demikian, barang subsidi yang dijual bebas di pasaran berpotensi mengalami peningkatan permintaan akibat selisih harga dengan barang non subsidi yang semakin besar.
Penjualan LPG misalnya. Dengan kembali naiknya harga LPG non subsidi seperti tabung 5,5 kilo gram (kg) dan 12 kg pada 27 Februari 2022 menjadi Rp 15.500 per kg dari Rp 13.500 per kg sejak akhir Desember 2021, membuat selisih dengan harga LPG bersubsidi tabung 3 kg semakin jauh. Pasalnya, hingga saat ini harga LPG tabung 3 kg tidak mengalami kenaikan.
"Ini momentum yang tepat agar pemerintah segera menerapkan sistem subsidi LPG tertutup atau subsidi langsung ke orang yang berhak menerima, supaya alokasi subsidi LPG tidak jebol. Dengan gap harga LPG subsidi dan non subsidi semakin besar, ini rawan shifting (peralihan) dari pengguna LPG non subsidi ke subsidi," pungkasnya.
(pgr/pgr) Next Article Forum Kapasitas Nasional, Kejar Target 1 Juta Bph Migas 2030