
Beli Minyak Tanpa Dolar, Ini Dampaknya bagi Dunia & Indonesia

Jakarta, ²©²ÊÍøÕ¾ - Eskalasi global antara Rusia dan Ukraina membawa gejolak perdagangan internasional, salah satunya adalah menjauhi pembayaran minyak dengan dolar Amerika Serikat (AS).
Pasalnya, Rusia yang juga salah satu eksportir energi terbesar dunia, saat ini juga memaksa negara lain membayarnya dengan mata uang Rusia, rubel, karena akses devisa Moskow yang saat ini terblokir.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan akan menjual gas Rusia dalam rubel, bukan dengan dolar atau euro. Ini merupakan "balas dendam" terbaru Putin ke negara-negara pemberi sanksi.
Pernyataan ini diutarakannya pada pekan lalu, Rabu (23/3/2022) malam, dalam pertemuan dengan para menteri tinggi pemerintah yang disiarkan televisi. Sejumlah negara, apalagi Eropa, memang bergantung pada energi dari Rusia.
"Rusia akan terus, tentu saja, untuk memasok gas alam sesuai dengan volume dan harga... tetap dalam kontrak yang disepakati sebelumnya," tegas Putin, dikutip dari ²©²ÊÍøÕ¾ International, Kamis (24/3/2022).
"Mata uang pembayaran... akan diubah ke rubel Rusia."
Dalam sebuah pernyataan, Gal Luft, Co-Director Institute for the Analysis of Global Security, mengatakan bahwa hukuman ekonomi AS kepada Rusia dapat mendorong negara-negara menjauh dari dolar.
Ada konsekuensi dari kebijakan perdagangan minyak tanpa dolar yang dapat mengubah ekonomi global.
Kebijakan ini jadi pukulan bagi Eropa, karena akan berdampak ke para pedagang yang akan lebih takut untuk membeli gas dari Rusia. Hal ini membuat banyak pedagang takut untuk bertransaksi dengan segala hal yang berhubungan dengan Rusia. Ujung-ujungnya, pasokan jadi terbatas.
Uni Eropa sendiri bergantung pada 41% impor gas dan 27% minyak dari Rusia. Pasokan yang terbatas akan membuat harga energi kian mahal. Setelah pernyataan Putin, harga gas Eropa melonjak 18,49% menjadi Euro 117 per MWh. Alhasil, inflasi Uni Eropa diperkirakan meroket 6,5% year-on-year pada bulan Maret.
Di sisi lain, keputusan tersebut bisa menjadi bumerang bagi Rusia. Pemerintah Rusia mendapatkan dolar yang dihasilkan melalui penjualan energi. Saat dolar dibatasi untuk perdagangan, Rusia akan kehilangan kemampuan menghasilkan dolar dan bisa berdampak pada penggunaan untuk impor. Sebab, cadangan devisa yang disimpan memiliki mata uang dolar.
Indonesia mungkin mengalami dampak yang tidak signifikan. Sebab, impor minyak mentah Indonesia terbesar bukan lah dari Rusia, melainkan dari Arab Saudi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) volume impor minyak mentah Indonesia terbesar dari Arab Saudi mencapai 4,42 juta ton dengan nilai US$ 2,27 miliar. Sumber minyak mentah Indonesia juga berasal dari Nigeria (US$ 1,94 miliar), Australia (US$ 809,3 juta), Angola(US$ 432 juta).
Dengan demikian, transaksi dengan rubel - jika Rusia memberlakukan untuk perdagangan minyak mentah - nilainya tidak besar.
TIM RISET ²©²ÊÍøÕ¾Â INDONESIA
(ras/ras) Next Article Eropa Masih Pikir-Pikir Untuk Embargo Minyak Rusia